Oleh Lunyka Adelina Pertiwi
PADA 10 April lalu, masyarakat Thailand harus berduka karena terjadi kerusuhan berdarah antara massa ”Kaus Merah” (massa antipemerintah) dengan aparat yang melukai delapan ratus orang dan menewaskan dua puluh orang, termasuk wartawan asing asal Jepang yang sedang bertugas. Dan kini Negeri Gajah Putih tersebut harus kembali bergejolak. Pemicunya adalah terjadi penembakan terhadap salah seorang jenderal pendukung Kaus Merah pada Kamis (13/5), disusul bentrokan pada Jumat (14/5) yang menyebabkan lima orang tewas dan lebih dari empat puluh luka-luka.
Tidak bisa dipungkiri, demokrasi di Thailand kini sedang menghadapi ujian terberatnya. Sejak adanya kudeta oleh junta militer terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2006, masyarakat dan pemerintah pun seperti berada di dua kutub berlawanan yang sulit disatukan baik secara prinsip maupun pemahamannya. Tak pelak kondisi Thailand seriring waktu demi waktu, semakin mencekam dan mendaki pada level puncak yaitu a state of emergency (negara dalam keadaan darurat). Bahkan, kini pemerintah yang dipimpin oleh PM Abhisit mengancam, tak segan-segan lagi untuk bertindak tegas terhadap siapa pun yang melakukan perlawanan.
Dengan adanya ancaman ini seolah-olah memperlihatkan bahwa Pemerintah Thailand tidak didera rasa takut bila secara terpaksa harus terlibat dalam pusaran kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, yang tentunya cepat atau lambat akan mendapat reaksi kritis dari masyarakat internasional.
Sikap pemerintah Thailand yang terkesan nekat dan otoriter ini, memang bukan yang pertama kalinya.
Meskipun Thailand sudah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu), tetapi pada kenyataannya masih banyak pihak yang mengungkapkan bahwa pelanggaran terhadap HAM, khususnya hak/kebebasan berekspresi tetap saja ada. Memang, hal itu dianggap sebagai salah satu cara jitu yang dilakukan pemerintah Thailand, demi mengalahkan kelompok-kelompok perlawanan dan menjaga stabilitas nasional.
Contohnya, pascakudeta pada 2006, sensor yang kian ketat selalu diberlakukan terhadap media-media massa lokal, untuk tidak menyiarkan berita negatif mengenai militer maupun kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Jika ada yang coba-coba melanggar peraturan ini, media massa yang bersangkutan harus rela menjadi ”korban” yang berakhir tragis seperti P-TV (People Television) yang dibredel dan wewenangnya diambil alih pemerintah, karena menyiarkan terus-menerus perlawanan massa Kaus Merah pada April lalu.
Selain itu, menurut Reporters Without Borders, salah satu organisasi internasional nonpemerintah yang melakukan penelitian mengenai kebebasan pers di dunia, kurang lebih ada 50.00 situs web dan blog yang telah diblokir pemerintah Thailand karena dituduh memusuhi pemerintah. Yang lebih mencengangkan lagi, Departemen Informasi dan Teknologi Informasi Thailand telah meminta alokasi dana sebesar 50 juta baht (lebih dari 1 juta euro), yang bertujuan sebagai dana untuk kegiatan pengawasan dan sensor internet hingga 2011 (sumber: http://www.ifex.org/thailand/2010/04/01/asia_sentinal_blocked/). Fakta miris ini pun, menempatkan Thailand dalam hal indeks kebebasan pers pada peringkat 130 dari 175 negara.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, masyarakat Thailand kini benar-benar hidup penuh tekanan. Pemberlakuan Internal Securty Act/ISA (Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri) memberi hak penuh bagi aparat dan militer, untuk melakukan tindakan preventif terhadap aksi-aksi antipemerintah. Dengan kata lain, secara tidak langsung hak-hak warga sipil akan tereduksi, karena pemerintah leluasa menangkap bahkan kalau perlu bertindak anarkistis bagi siapa saja yang (dicurigai) bersuara menentang pemerintah.
Lalu, apakah yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia, melihat kekacauan yang masih tak berujung di Thailand saat ini? Apakah Indonesia harus bersikap sama seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda yang sudah lebih dulu menutup kedutaan besarnya di Thailand?
Untuk hal ini, terpendam keyakinan kuat bahwa pemerintah Indonesia memiliki komitmen sangat tinggi untuk selalu melindungi warga negara Indonesia, yang berada di Thailand dengan tetap membuka kedutaan besarnya di sana.
Selain itu, dengan pertimbangan untuk menyelamatkan kemanusiaan dan melindungi HAM, dibukanya Kedutaan Besar Indonesia di Thailand, menurut hemat penulis, bukan sesuatu yang merugikan. Sebab, gedung kedutaan besar memiliki hak istimewa untuk tidak diinvasi oleh aparat, sehingga mampu memberikan political asylum (perlindungan politik) jika dibutuhkan bagi siapa saja tanpa terkecuali, termasuk bila mereka warga Thailand sekalipun.***
Penulis, lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan.
opini pikiran rakyat 19 mei 2010