18 Mei 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Lulus Bahasa Indonesia

Lulus Bahasa Indonesia

Oleh Lie Charlie

PEMBACA yang sudah lulus SMA, cobalah jawab pertanyaan-pertanyaan pelajaran bahasa Indonesiaa berikut: 1. Bisa yang berarti dapat atau sanggup dan bisa yang berarti racun, hubungan makna keduanya disebut: a. sinonimi, b. homonimi, c. homofon, d. homograf, e. polisemi. 2. Menurut etimologi, kata bidadari berasal dari bahasa: a. Inggris, b. Portugis, c. Belanda, d. Arab, e. Sansekerta. 3. Termasuk gaya bahasa apakah ungkapan ”sudah lama tak tampak batang hidungnya”? a. Eufemisme, b. Litotes, c. Sinekdoke, d. Hiperbol, e.Metonimia.


Anda tidak dapat menjawabnya dengan pasti? Anda tidak dapat menjawabnya dengan benar? Maka Anda tidak lulus Ujian Nasional pelajaran bahasa Indonesiaa! Sulitkah soal-soal ujian bahasa Indonesiaa seperti yang dipercontohkan di atas? Bisa sulit bisa tidak, tergantung siswa sudah belajar (menghafal) dengan sungguh-sungguh atau tidak. Pentingkah soal-soal tersebut? Bisa penting bisa tidak. Bermanfaatkah menjawab soal-soal itu? Mungkin bermanfaat, mungkin tidak.

Semua bergantung kepada tujuan diselenggarakannya ujian bahasa Indonesiaa. Banyak penutur bahasa Indonesiaa memahami perbedaan makna kata ”bisa”, baik yang menyatakan ”dapat” maupun ”racun”, tetapi tidak tahu apa nama hubungan makna keduanya. Kata bidadari niscaya dipahami, tetapi soal dari mana asal-usulnya tidak banyak orang tahu, kecuali siswa siswi yang membaca buku teks. Perkara berkata-kata menggunakan gaya bahasa, kita paling suka, biarpun nama majasnya kita tidak tahu.

Penutur bahasa Indonesiaa yang fasih sekalipun, belum tentu sanggup menjawab seluruh pertanyaan UN dengan benar. Namun, mengingat soal-soal tadi diujikan kepada siswa-siswi yang sudah mempelajari materinya, mereka diharapkan lulus. Masa mendapat nilai 5,5 saja tidak mampu? Mengenai tepat atau tidak tepat menguji penguasaan bahasa Indonesiaa dengan cara seperti tadi, itulah yang perlu dipermasalahkan.

Bahasa Inggris

Bahasa Indonesiaa berbeda dengan bahasa Inggris, misalnya, yang mengenal perubahan kata kerja. Dalam bahasa Inggris, mudah saja menyusun soal pilihan berganda dengan mempertanyakan bentuk kata kerja yang benar. Contoh: John … to school yesterday. Untuk melengkapi kalimat tersebut, siswa siswi dipersilakan memilih: a. go, b. went, c. goes, d. is going, e. was gone. Siswa siswi yang memilih dengan benar diyakini sudah memahami bahasa Inggris dan sebaliknya.

Kata kerja dalam kalimat bahasa Inggris harus dipasangkan dengan betul, supaya kalimat itu disebut benar. Kalimat yang penggunaan kata kerjanya salah, pasti salah. Normalnya, pilihan kata kerja yang benar dalam kalimat bahasa Inggris hanya ada satu; tidak bisa lain. Kalimat contoh tadi cuma memiliki satu jawaban benar, yaitu: b. went (past tense).

Di sini kita melihat perbedaan. Soal bahasa Indonesiaa yang diujikan seperti pada paragraf pertama, tidak menunjukkan seseorang menguasai bahasa Indonesiaa atau tidak, sementara soal ujian bahasa Inggris yang dipercontohkan di atas, jelas, dapat membuktikan penguasaan bahasa Inggris kita.

Sekarang kita mengerti sebabnya siswa-siswi memperoleh angka lebih tinggi untuk pelajaran bahasa Inggris, dibandingkan dengan bahasa Indonesiaa. Belum disebut bahwa pada pertanyaan tentang makna kata bisa, umpamanya, ada kebingungan antara memilih homonimi, homofon, atau homograf. Penyusun pertanyaan mesti lebih teliti agar tak membuat pilihan berganda yang ”banci”.

Mengarang

Tidak gampang menyelami masalah yang sesungguhnya terjadi dengan pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesiaa, apalagi mencari jalan keluarnya. Penguasaan teoritis perlu, tetapi sebaiknya tidak dipakai sebagai markah untuk menentukan kelulusan. Semakin banyak pertanyaan teoritis, semakin sulit siswa-siswi lulus.

Seandainya guru-guru bahasa Indonesiaa sepakat untuk lebih rajin memeriksa dan mengoreksi hasil ujian, meminta siswa siswi membuat karangan adalah salah satu cara menguji bahasa Indonesiaa (dan bahasa lain) yang terbaik. Siswa-siswi barangkali tidak mengenal nama-nama gaya bahasa atau majas, tetapi mereka biasa menulis ”angin membelai pipiku” (personifikasi), ”Indonesia kalahkan Malaysia” (pars pro toto), atau ”bagai kadal merindukan kecoa” (metafora).

Jika demikian, situasi bisa berbalik. Siswa-siswi yang jagoan menghafal dan lulus UN dengan nilai tinggi, mungkin berkeringat dingin bila disuruh mengarang. Maka perlu diupayakan keseimbangan supaya semua siswa-siswi lulus pelajaran bahasa Indonesiaa. Teori-teori tetap penting diajarkan, tetapi tidak diujikan untuk semata-mata menentukan kelulusan. Susunlah soal ujian yang berimbang antara penguasaan teori (pilihan berganda) dan pengembangan keterampilan (mengarang).

Sebenarnya, salah memasukkan pelajaran bahasa Indonesiaa menjadi salah satu mata pelajaran yang menentukan kelulusan siswa-siswi. Pandai berbahasa Indonesiaa atau tidak, tak menentukan apa-apa dalam kehidupan nyata. Maka, wahai siswa-siswi, janganlah kalian gantung diri gara-gara tidak lulus pelajaran bahasa Indonesiaa dalam UN. Generasi Blackberry cuma butuh bahasa Indonesia mutakhir yang ringkas, seperti: ”elodmn?” (baca: eh, elo di mana?”).***

Penulis, sarjana Tata Bahasa Indonesiaa, Universitas Padjadjaran, Bandung.
opini pikiran rakyat 19 mei 2010