Drama politik khas Indonesia, dengan disiapkannya exit strategy  bagi menteri terbaik yang lagi tersandung masalah hukum Bank Century,  Sri Mulyani Indrawati, sang Menteri Keuangan, untuk menjadi Direktur  Eksekutif Bank Dunia yang prestisius. Sebagai Menteri Keuangan Kabinet  Indonesia Bersatu (KIB) I, ia pernah dinobatkan Financial Minister of  the Year di Asia maupun dunia karena prestasinya mempertahankan  stabilitas makro ekonomi Indonesia. Jika lebih rinci, pencapaiannya di  antaranya pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi single digit,  tingkat bunga dan kurs rupiah yang stabil. Di kala melewati krisis  ekonomi global 2008, ekonomi Indonesia bersama China dan India masih  mampu tumbuh positif, sedangkan negara-negara lain termasuk  negara-negara maju justru negatif. Bahkan ada yang pertumbuhan  ekonominya minus di atas 10% seperti Singapura dan Malaysia dan umumnya  negara-negara dengan kontribusi ekspornya di atas 50%.  
Ekspor Indonesia sendiri kurang 30% sehingga faktor itulah  sebenarnya yang lebih menjelaskan kesuksesan Indonesia yang berbeda  dengan China dan India yang ekspornya tinggi, tapi di kala krisis  pertumbuhan ekonominya pun masih tetap tinggi. Juga Sri Mulyani mencatat  kesuksesan dengan melakukan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan  yang dipimpinnya dengan program remunerasi (baca: penggajian tinggi).  Kalaupun ada catatan kuantitatif, banyak pemerhati mengkritik soal  target pencapaian pajak yang relatif masih lamban bahkan tak spektakuler  seperti zamannya Mar'ie Muhammad. Lebih ironis lagi, di akhir  jabatannya sebelum mundur, terbongkar berbagai 'mafia pajak': Gayus,  Jawa Timur, dan banyak lagi serta yang langsung melilit Sri Mulyani  sendiri yang dianggap langsung bertanggung jawab terhadap kerugian  negara ratusan miliar yang diungkap Asosiasi Pembayar Pajak menyangkut  kasus Paulus Tumewu. 
Mazhab ekonomi 
Yang lebih mendasar lagi adalah terkait dengan debat publik yang  mengualifikasikan Sri Mulyani sebagai penganut mazhab neoliberalisme  yang selama ia berada dalam pusaran kekuasaan hampir satu dasawarsa dan  mengendalikan arah pembangunan. Misalnya ketika pencapaian pertumbuhan  ekonomi yang cukup tinggi, yakni rata-rata sekitar 6% waktu Kabinet  Indonesia Bersatu I. Ketika kritik disampaikan kepada Sri Mulyani,  mengapa sektor riil belum juga bergerak dan kemiskinan serta  pengangguran masih tetap tinggi. Jawabannya adalah karena hal itu  merupakan tanggung jawab menteri yang lain (Menteri Perindustrian,  Perdagangan, Pertanian, dan yang menyangkut sektor riil lainnya). Jadi  perhatiannya adalah tetap pada stabilitas ekonomi makro dan pengendalian  moneter. Itu seperti umumnya mereka yang meyakini cara berpikir neolib  sebagaimana Milton Friedman--semacam nabinya--yang dalam tesis besarnya  bahwa sektor riil, kemiskinan, dan problem sosial lainnya diyakini akan  terselesaikan dengan sendirinya dengan stabilitas ekonomi makro dan  campur tangan pemerintah seminimal mungkin supaya tak mendistorsi pasar. 
Juga ketika krisis global 2008, program yang diunggulkannya pun  untuk mengatasi krisis adalah dengan program stimulus fiskal lebih dari  Rp40 triliun agar sektor swasta (terutama swasta besar) tetap menjadi  lokomotif dalam mengatasi krisis. Artinya bukan dengan program ala  Keynesian yang memerankan negara dalam mengatasi krisis, misalnya dengan  memacu pasar dalam negeri lewat pemberdayaan pertanian dalam arti luas  dan UKM serta program padat karya seperti dilakukan Thaksin yang sukses  dalam mengatasi krisis 1997/8 di Thailand. Juga seperti di AS sewaktu  Presiden Roosevelt dalam mengatasi Depresi Besar tahun 1930-an justru  dengan politik fiskal (pemerintah) yang melakukan program-program padat  karya dalam kerangka meningkatkan efective demand. Yang lebih  mutakhir, Presiden Obama dengan program bailout perusahaan swasta  yang bangkrut, kontrol terhadap pasar finansial yang superliar, program  jaminan kesehatan, dan lain-lain yang prinsipnya negara lebih  mengendalikan pasar dan pelaku swasta dalam menghadapi krisis ekonomi  global 2008.  
Ironisnya, mazhab neolib dalam ekonomi di Indonesia telah  menghegemoni dalam pelbagai kehidupan di Indonesia secara lebih luas  termasuk dalam kehidupan demokrasi politik dan media massa. Lihat  misalnya bagaimana ekonomi pasar bebas berbasiskan uang dan transaksi  untung rugi telah menjadi kendali utama dalam pengelolaan kekuasaan dan  pemilu baik pusat maupun daerah. Akibatnya, makelar kasus tak hanya  marak dalam patgulipat pajak, tapi telah sangat lazim dalam memenangkan  calon pemimpin, termasuk ketika memenangkan Miranda Gultom sebagai  Deputi Senior Gubernur BI dan ratusan kasus lainnya di pemilu pusat  maupun daerah. 
Dalam kehidupan media massa, misalnya, betapa rating acara  yang terkait dengan iklan telah menjadikan publik terpenjara oleh  acara-acara tak berkualitas. Misalnya sinetron, pemberitaan bad news  is hot news, infotainment yang menjual gosip bahkan fitnah,  tak peduli lagi prinsip both cover stories, pornografi dan porno  aksi makin menghiasi pelbagai acara. Di balik belasan media cetak,  elektronik maupun berbasis web umumnya telah dikontrol para  pemilik modal baik nasional bahkan global sehingga sulit sekali agenda  kerakyatan, pendidikan, moralitas, keagamaan dan kepentingan nasional  mendapat porsi yang sewajarnya dengan dalih rating-nya rendah.  Namun begitu, tampaknya dalam dunia media lebih bernuansa liberalisme  primitif karena di negara-negara Barat sendiri, media dengan tayangan  yang berkualitas masih terjaga meski harus dilandasi kalkulasi untung  rugi secara finansial. 
Secara teoritis, paham neolib dalam kehidupan bangsa menempatkan  negara lebih sebagai fasilitator bagi kepentingan publik yang terbatas  dalam hal pertahanan keamanan, politik luar negeri, pengendalian  moneter, dan stabilitas ekonomi makro. Pelaku pasar dianggap sebagai  pilar utama pencipta pertumbuhan yang dipercaya dapat menetes ke bawah  sehingga kemiskinan dan pengangguran (kesejahteraan) dengan sendirinya  dapat terselesaikan. Dalam 'ekonomi dan politik virtual' di alam  globalisasi dalam negara-bangsa yang masih terbelakang seperti Indonesia  dewasa ini, hasil-hasil Sri Mulyani dengan stabilitas ekonomi makro dan  demokrasi politik di Indonesia yang baru dalam tahap prosedural telah  memperoleh pujian internasional sangat luar biasa termasuk disimbolkan  terpilihnya Sri Mulyani menjadi Direktur Eksekutif Bank Dunia.  
Namun, dari sisi substansi pembangunan yang harus terjadi,  seyogianya terdapat relasi yang signifikan antara demokrasi politik,  kebebasan media serta stabilitas makro ekonomi dan tingginya kualitas  pemimpin, tayangan media dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kita butuh  sebuah negara yang aktif dan demokratis seperti tuntutan konstitusi UUD  1945 serta mazhab ekonomi yang lebih bertanggung jawab tidak hanya  terciptanya stabilitas makro ekonomi, tapi terutama relasi terhadap  terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial. Kiranya itulah makna  tuntutan pascamundurnya Sri Mulyani sebagai Menkeu. Semoga. 
Oleh Didin S Damanhuri Guru Besar Ekonomi-Politik IPB, Pengajar STEI  Tazkia
opini media indonesia 19 mei 2010