Di antara banyak penyebab, agama lebih cenderung bermegah-megah diri, lebih fokus menekuni ikhwal perkara kiamat
TERORISME dengan mengatasnamakan agama dikutuk oleh peradaban yang santun. Tapi sudah menjadi pengetahuan umum juga, perbuatan itu didukung dan disetujui dengan sikap dan cara yang tidak bisa ditampung akal budi oleh kaum fanatik radikal di mana saja dan kapan saja.
Itu salah satu tanda bahwa agama apapun dan bagaimanapun argumen pendukung itu dinyatakan dan ditafsirkan sungguh-sungguh bermasalah dalam arti menjadi pekerjaan rumah. Dalam rangka ini, God is not Great pantas dipikirkan.
Buku tersebut terbit sudah lebih tiga tahun lalu. Namun karya Christopher Hitchens (New York, 2007) ini kiranya tetap relevan sampai sekarang, khususnya bagi bangsa Indonesia yang dikenal memeluk agama-agama. Hitchens mengisahkan pengalaman pribadinya menghadapi agama dan merumuskan dengan mendalam penelusuran intelektualnya berdasar nalar dan ilmu pengetahuan.
Dari 19 bab dalam buku 309 halaman ini, catatan kecil ini hanya fokus pada 7 bab yang cocok bagi situasi dan kondisi Indonesia. Yakni bab II, IX, XIII, XV, XVI, XVIII, dan bab XIX. Bab II adalah undangan bagi manusia yang serius dan konsekuen menggunakan akal budinya untuk menelusuri bahwa agama itu bikinan manusia. Bab ini mengupas perjalanan rasio menelusuri banyak absurditas dalam agama. Atas dasar itu, Hitchens menyimpulkan: agama membunuh! Apa atau siapa dibunuh? Rasio atau akal sehat! Padahal, akal sehat itu dasar insan yang paling utama.
Bab IX menceritakan kelahiran Kitab Suci yang terikat sejarah dan sosial budaya zamannya. Berdasar sejumlah buku di antaranya Introducing Mohammed (Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik,1994) dan Islam: A Short History (Karen Amstrong 2000), sang penulis menunjukkan iman itu, jika dihayati tanpa akal budi, bisa cenderung membungkam kemerdekaan bertanya dan segala ikutannya.
Bab XIII menelusuri fakta dan kejadian dalam jagat agama dan khususnya para pemukanya. Atas dasar itu, sang penulis menyimpulkan: agama tak selalu membuat orang menjadi lebih baik, bahkan bisa sebaliknya. Bab ini disusun dari banyak buku, di antaranya The Letters of William Lloyd Garrrison (Walter M Merril 1973), Freethinkers: A History of American Secularism (Susan Jacoby 2004), Stories from Rwanda (Philip Gourevitch 1998), dan Zen at War (Brian Victoria 1997).
Bab XV menunjukkan imoralitas tidak masuk akal dari agama dalam banyak ajaran aslinya secara apa adanya. Misalnya melukiskan gambaran keliru tentang dunia kepada anak-anak kecil, doktrin cucuran darah sebagai pengorbanan suci, dan banyak doktrin kejam yang lain.
Bab XVI melukiskan keyakinan sang penulis agama cenderung menyalahgunakan anak-anak yang polos. Keyakinan itu berdasar dari banyak sumber juga, di antaranya: Memories of a Catholic Girlhood (Mary McCarthy 1946), Capitalism, Socialism, and Democracy (Joseph Schumpeter 1976), dan Marked in Your Flesh: Circumcision from Ancient Judea to Modern America (Leonard B Glick 2005). Bab XVIII melukiskan perjalanan berabad-abad kaum rasionalis. Konflik keraguan versus keyakinan tanpa dasar, secara hakiki tak berubah sejak berabad-abad silam sampai kini.
Dalam pada itu, tidak sulit menemukan agama sebagai sumber kebencian dan konflik di antara mereka yang mendasarkan sikapnya pada ketidaktahuan dan tahyul. Bab ini disusun dari banyak sumber, di antaranya: Doubt: A History (Jennifer Michaelís Hecht, 2003), The Philosophy of Spinoza: Selections from His Works (Joseph Ratner 1927), dan Atheism from the Reformation to the Enlightenment (Michael Hunter and David Wooton 1992).
Bab XIX menegaskan keyakinan Hitchens bahwa semua insan di bumi butuh pencerahan baru di luar agama. Masalahnya, di antara banyak penyebab, agama lebih cenderung bermegah-megah diri, lebih fokus menekuni ikhwal perkara kiamat, yakni hanya merindu-rindukan lenyapnya segala benda duniawi dan alami.
Agar mendapat gambaran utuh God is not Great, berikut ini 12 bab lainnya: Bab I: Putting It Mildly, III: A Short Digression on the Pig; or, Why Heaven Hates Ham, IV: A Note on Health, to Which Religion Can Be Hazardous, V: The Methaphysical Claims of Religion Are False, VI: Arguments from Design, VII: Revelation: The Nightmare of the ”Old” Testament, VIII: The ”New” Testament Exceeds the Evil of the ”Old” One, X: The Tawridness of the Miraculous and the Decline of Hell, XI: The Lowly Stamp of Their Origin: Religions Corrupt Beginnings, XII: A Coda: How Religions End, XIV: There Is No ”Eastern” Solution, dan bab XVII: An Objection Anticipated: The Last-Ditch ”Case” Against Secularism.
Alhasil, kita bebas untuk setuju atau marah atas buku ini tetapi argumen dalam buku ini kiranya tetap bernilai untuk dipikirkan. Kita mungkin berbeda sikap dalam banyak hal, namun God is not Great adalah buku tentang kemerdekaan bertanya, terus terang, dan ditulis dengan semangat penggumulan gagasan demi gagasan itu sendiri. Karena itu, buku ini menuntut kehati-hatian dan kedewasaan berpikir bagi setiap pembacanya. (10)
— L Murbandono Hs, peminat dan pengamat peradaban, tinggal di Banyubiru, Kabupaten Semarang
Wacana Suara Merdeka 19 Mei 2010