M Sabeth Abilawa
Peneliti Senior Institut Studi Rekayasa Sosial
GM Advokasi Dompet Dhuafa
Tak terasa satu tahun sudah kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina (ACFTA) diberlakukan. Jika setahun yang lalu saat perjanjian ini dilaksanakan banyak sekali terjadi pro kontra dan perang wacana di media. Kini setelah setahun berlangsung, suara-suara sumbang dan kritik tajam tampak semakin redup.
Kesepakatan ACFTA, diawali dari makin mesranya hubungan antara Cina dan negara-negara ASEAN, terutama setelah ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-24 pada Juli 1991 di Kuala Lumpur Malaysia. Hubungan ini semakin erat setelah Deklarasi Kerja Sama Strategis untuk Perdamaian dan Kesejahteraan yang ditandatangani dalam ASEAN-Cina Summit di Bali, tujuh tahun silam. Ujungnya, Zona Perdagangan Bebas ASEAN-Cina ini diimplementasikan pada 1 Januari 2010. Pada tahap pertama, hanya melibatkan Cina dan enam negara ASEAN, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Suara-suara kekahwatiran dari para pelaku usaha di Indonesia saat itu di antaranya adalah kekhawatiran akan serbuan produk-produk Cina yang akan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
Kecemasan-kecemasan itu muncul bukan tanpa alasan. Meski ekonomi Indonesia sudah teruji dalam menghadapi krisis, namun kita tidak dapat menyangkal bahwa daya saing ekonomi kita masih sangat mengkhawatirkan. Mulai dari kelemahan produk kita dalam melakukan penetrasi ke pasar global, rendahnya tingkat upah, hingga disparitas inflasi dengan negara asing. Kesemuanya itu menunjukkan ketidaksiapan kita menghadapi perdagangan, yang sebenarnya memiliki pangsa pasar total 1,9 miliar orang.
Namun, benarkah semua kekhawatiran itu terjadi setelah satu tahun ACFTA diberlakukan? Misalnya, produk Cina lebih menguasai di pasar domestik? Banyak industri kecil yang gulung tikar, dan angka pengangguran semakin besar?
Memang, sebagian besar dari kita adalah konsumen, bukan pihak produsen. Kita tidak merasakan perbedaan yang mencolok antara sebelum dan setelah pemberlakuan ACFTA. Kita tidak pernah tahu, bagaimana dampak dari serbuan produk asing, khususnya Cina di pasar tempat kita berbelanja, karena kita hanya peduli untuk memilih barang yang murah dengan kualitas yang baik. Dalam perspektif konsumen, semakin banyak pilihan barang dan harga, maka hal itu semakin baik. Namun, apakah sisi positif ACFTA juga berlaku bagi produsen kita?
Sebenarnya kita bisa menjawab salah satu pertanyaan di atas dari data yang dirilis oleh Kementerian Perdagangan (Kemdag) Republik Indonesia. Data neraca perdagangan Indonesia-Cina menunjukkan, sebelum diberlakukannya ACFTA (2009), nilai ekspor Indonesia ke Cina sebesar Rp 7,97 triliun dan impor Rp 9,73 triliun.
Sedangkan setelah diberlakukannya ACFTA, nilai ekspor kita meningkat menjadi Rp 10,21 triliun, dan impor kita juga melonjak drastis menjadi Rp 14,82 triliun (52 persen). Peningkatan ekspor barang dan jasa kita masih kalah dengan impor dari Cina. Artinya, Cina memang lebih agresif dan lebih banyak melakukan serbuan ke pasar domestik dalam negeri Indonesia dibanding produk kita yang laku di sana.
Sekadar gambaran, produksi sepatu Cibaduyut oleh Koperasi Bina Usaha Angkatan Muda Indonesia Bersatu (AMIB) Jawa Barat, anjlok hingga lebih dari 60 persen pascapemberlakuan ACFTA (Republika, Juli 2010). Dan, industri sepatu yang dibina koperasi AMIB sulit bersaing dengan sepatu-sepatu yang berasal dari Cina.
Hal yang sama terjadi di Batang, Jawa Tengah, di mana ratusan pekerja garmen tingkat rumahan terpaksa menganggur terkena pemutusan hubungan kerja. Sebab, makin merosotnya pesanan dan berhentinya pesanan garmen, terutama celana jin setelah produk Cina membanjiri pasar dengan harga lebih murah.
Bukan tidak mungkin, jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut angka pengangguran akan terus meningkat, walaupun data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan per Agustus 2010, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan sebesar 0,27 persen dibanding Februari 2010 atau awal pemberlakuan ACFTA.
Sebagaimana prinsip dasarnya, pemberlakuan ACFTA adalah untuk memberikan peluang berkompetisi bagi sektor industri. Artinya, jika kita mampu memanfaatkan peluang pasar yang sedemikian besarnya, dengan jumlah penduduk yang hampir dua miliar, dan GDP hampir enam triliun dolar AS, kita bisa mendapatkan keuntungan yang berlimpah.
Sayangnya, kita belum mampu memanfaatkan ACFTA dengan segala peluang dan keuntungannya. Daya tahan ekonomi dan kemampuan industria kita masih sangat lemah, ditambah political will pemerintah yang masih setengah-setengah. Bagaimana industri dalam negeri, utamanya UMKM akan berkembang dan bersaing dengan produk Cina yang lebih murah, jika fasilitas untuk memperoleh pinjaman atau kredit saja masih sangat sulit dan berbelit-belit. Kalaupun fasilitas pinjaman itu disetujui, bunga yang dibebankan terlalu tinggi dari bunga untuk pengusaha menengah dan besar.
Belum lagi kondisi infrastruktur yang belum memadai. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL), kekhawatiran membubungnya harga BBM, semakin membuat industri manufaktur dalam negeri terjepit, karena modal yang harus dikeluarkan semakin bengkak.
Namun, kita tidak bisa terus-menerus meratapi kelemahan-kelemahan hingga sampai terjerembab. Kesepakatan untuk memberlakukan ACFTA sejak satu tahun lalu adalah sebuah fakta yang harus kita hadapi, dan kita tidak bisa mundur. Untuk itu, sudah seharusnya kita berusaha agar tidak tersingkir dari persaingan. Indonesia harus bisa mengambil manfaat dari sini untuk meningkatkan kualitas produk-produk dalam negeri, sehingga bisa disejajarkan dengan produk dari luar.
Pemerintah juga harus proaktif menjembatani dan mengusahakan perkembangan idnsutri dalam negeri, termasuk UMKM. Kebijakan debottlenecking yang didengung-dengungkan di awal pemerintahan SBY, harus benar-benar dijalankan dengan memangkas pungutan liar, penyediaan infrastruktur yang memadai, dan menunjang kegiatan industri.
Peneliti Senior Institut Studi Rekayasa Sosial
GM Advokasi Dompet Dhuafa
Tak terasa satu tahun sudah kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina (ACFTA) diberlakukan. Jika setahun yang lalu saat perjanjian ini dilaksanakan banyak sekali terjadi pro kontra dan perang wacana di media. Kini setelah setahun berlangsung, suara-suara sumbang dan kritik tajam tampak semakin redup.
Kesepakatan ACFTA, diawali dari makin mesranya hubungan antara Cina dan negara-negara ASEAN, terutama setelah ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-24 pada Juli 1991 di Kuala Lumpur Malaysia. Hubungan ini semakin erat setelah Deklarasi Kerja Sama Strategis untuk Perdamaian dan Kesejahteraan yang ditandatangani dalam ASEAN-Cina Summit di Bali, tujuh tahun silam. Ujungnya, Zona Perdagangan Bebas ASEAN-Cina ini diimplementasikan pada 1 Januari 2010. Pada tahap pertama, hanya melibatkan Cina dan enam negara ASEAN, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Brunei Darussalam.
Suara-suara kekahwatiran dari para pelaku usaha di Indonesia saat itu di antaranya adalah kekhawatiran akan serbuan produk-produk Cina yang akan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
Kecemasan-kecemasan itu muncul bukan tanpa alasan. Meski ekonomi Indonesia sudah teruji dalam menghadapi krisis, namun kita tidak dapat menyangkal bahwa daya saing ekonomi kita masih sangat mengkhawatirkan. Mulai dari kelemahan produk kita dalam melakukan penetrasi ke pasar global, rendahnya tingkat upah, hingga disparitas inflasi dengan negara asing. Kesemuanya itu menunjukkan ketidaksiapan kita menghadapi perdagangan, yang sebenarnya memiliki pangsa pasar total 1,9 miliar orang.
Namun, benarkah semua kekhawatiran itu terjadi setelah satu tahun ACFTA diberlakukan? Misalnya, produk Cina lebih menguasai di pasar domestik? Banyak industri kecil yang gulung tikar, dan angka pengangguran semakin besar?
Memang, sebagian besar dari kita adalah konsumen, bukan pihak produsen. Kita tidak merasakan perbedaan yang mencolok antara sebelum dan setelah pemberlakuan ACFTA. Kita tidak pernah tahu, bagaimana dampak dari serbuan produk asing, khususnya Cina di pasar tempat kita berbelanja, karena kita hanya peduli untuk memilih barang yang murah dengan kualitas yang baik. Dalam perspektif konsumen, semakin banyak pilihan barang dan harga, maka hal itu semakin baik. Namun, apakah sisi positif ACFTA juga berlaku bagi produsen kita?
Sebenarnya kita bisa menjawab salah satu pertanyaan di atas dari data yang dirilis oleh Kementerian Perdagangan (Kemdag) Republik Indonesia. Data neraca perdagangan Indonesia-Cina menunjukkan, sebelum diberlakukannya ACFTA (2009), nilai ekspor Indonesia ke Cina sebesar Rp 7,97 triliun dan impor Rp 9,73 triliun.
Sedangkan setelah diberlakukannya ACFTA, nilai ekspor kita meningkat menjadi Rp 10,21 triliun, dan impor kita juga melonjak drastis menjadi Rp 14,82 triliun (52 persen). Peningkatan ekspor barang dan jasa kita masih kalah dengan impor dari Cina. Artinya, Cina memang lebih agresif dan lebih banyak melakukan serbuan ke pasar domestik dalam negeri Indonesia dibanding produk kita yang laku di sana.
Sekadar gambaran, produksi sepatu Cibaduyut oleh Koperasi Bina Usaha Angkatan Muda Indonesia Bersatu (AMIB) Jawa Barat, anjlok hingga lebih dari 60 persen pascapemberlakuan ACFTA (Republika, Juli 2010). Dan, industri sepatu yang dibina koperasi AMIB sulit bersaing dengan sepatu-sepatu yang berasal dari Cina.
Hal yang sama terjadi di Batang, Jawa Tengah, di mana ratusan pekerja garmen tingkat rumahan terpaksa menganggur terkena pemutusan hubungan kerja. Sebab, makin merosotnya pesanan dan berhentinya pesanan garmen, terutama celana jin setelah produk Cina membanjiri pasar dengan harga lebih murah.
Bukan tidak mungkin, jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut angka pengangguran akan terus meningkat, walaupun data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan per Agustus 2010, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan sebesar 0,27 persen dibanding Februari 2010 atau awal pemberlakuan ACFTA.
Sebagaimana prinsip dasarnya, pemberlakuan ACFTA adalah untuk memberikan peluang berkompetisi bagi sektor industri. Artinya, jika kita mampu memanfaatkan peluang pasar yang sedemikian besarnya, dengan jumlah penduduk yang hampir dua miliar, dan GDP hampir enam triliun dolar AS, kita bisa mendapatkan keuntungan yang berlimpah.
Sayangnya, kita belum mampu memanfaatkan ACFTA dengan segala peluang dan keuntungannya. Daya tahan ekonomi dan kemampuan industria kita masih sangat lemah, ditambah political will pemerintah yang masih setengah-setengah. Bagaimana industri dalam negeri, utamanya UMKM akan berkembang dan bersaing dengan produk Cina yang lebih murah, jika fasilitas untuk memperoleh pinjaman atau kredit saja masih sangat sulit dan berbelit-belit. Kalaupun fasilitas pinjaman itu disetujui, bunga yang dibebankan terlalu tinggi dari bunga untuk pengusaha menengah dan besar.
Belum lagi kondisi infrastruktur yang belum memadai. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL), kekhawatiran membubungnya harga BBM, semakin membuat industri manufaktur dalam negeri terjepit, karena modal yang harus dikeluarkan semakin bengkak.
Namun, kita tidak bisa terus-menerus meratapi kelemahan-kelemahan hingga sampai terjerembab. Kesepakatan untuk memberlakukan ACFTA sejak satu tahun lalu adalah sebuah fakta yang harus kita hadapi, dan kita tidak bisa mundur. Untuk itu, sudah seharusnya kita berusaha agar tidak tersingkir dari persaingan. Indonesia harus bisa mengambil manfaat dari sini untuk meningkatkan kualitas produk-produk dalam negeri, sehingga bisa disejajarkan dengan produk dari luar.
Pemerintah juga harus proaktif menjembatani dan mengusahakan perkembangan idnsutri dalam negeri, termasuk UMKM. Kebijakan debottlenecking yang didengung-dengungkan di awal pemerintahan SBY, harus benar-benar dijalankan dengan memangkas pungutan liar, penyediaan infrastruktur yang memadai, dan menunjang kegiatan industri.
Opini Republika 8 Januari 2011