09 Januari 2011

» Home » Opini » Suara Merdeka » Otoritas Perizinan Liga Primer Indonesia

Otoritas Perizinan Liga Primer Indonesia

TERKAIT dengan digelarnya pertandingan Liga Primer Indonesia (LPI) di Stadion Manahan Solo pada 8 Januari besok, PSSI sudah menyatakan tidak akan memenuhi undangan tersebut. Publik mafhum, organisasi induk persepakbolaan nasional tersebut tidak merestui LPI. Adapun masyarakat pecinta sepak bola nasional menanti kompetisi yang diharapkan akan memberi warna dan perubahan atmosfer persepakbolaan kita.

Ketidaksetujuan PSSI pada LPI tersebut menebar persoalan, antara lain ancaman terhadap klub yang selama ini bermain di Liga Super Indonesia, pemain dan wasit yang bergabung dengan LPI akan dikenai sanksi. Namun sepertinya hal ini tidak begitu digubris oleh klub, pemain, dan wasit yang memilih berseberangan dengan PSSI. Selesaikan persoalannya?

Belum, karena ada satu hal lagi yang masih belum terpecahkan. Yaitu berkaitan dengan otoritas perizinan penyelenggaraan LPI. Tanpa izin dari kepolisian, kompetisi tersebut tidak bisa dilaksanakan. Inilah yang masih ditunggu oleh khalayak, akankah penyelenggaran kompetisi terjegal hanya karena regulasi?

Pihak konsorsium LPI memiliki keyakinan tetap bisa tergelarnya acara tersebut. Sementara PSSI yakin, Polri tidak akan memberikan izin karena Pasal 5 UU Nomor 3 Tahun 2003 tentang Sistem Keolahragaan Nasional menyebutkan bahwa tiap penyelenggaraan turnamen olahraga harus mendapatkan rekomendasi atau izin dari induk olahraga tersebut, dalam hal ini PSSI.

Mabes Polri, seperti disampaikan Kadiv Humas Irjen Bachrul Alam (04/01/11) menyatakan belum mengizinkan penyelenggaraan LPI. Polri masih menunggu rekomendasi dari induk organisasi sepak bola nasional, yaitu PSSI. Sementara, Kabareskrim Komjen Ito Sumardi pada hari yang sama mengatakan Polri tidak melarang pertandingan yang diselenggarakan LPI.
Persoalan izin ini memunculkan pertanyaan, bila Polri tetap tidak mengizinkan penyelenggaraan LPI (terlepas dari kehadiran Presiden atau Menpora),

apakah akan membubarkan kegiatan tersebut, dengan dasar Pasal 5 UU Nomor 3 Tahun 2003?
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengharapkan Polri tidak mempersulit perizinan penyelenggaraan LPI. Jika mempersulit izin, dikhawatirkan justru memicu amarah dan tindakan anarkis suporter. Seandainya hal itu terjadi, Polri akan dikecam masyarakat (04/01/11). Polri diminta bersikap arif dan tidak terjebak dalam konflik antara PSSI dan LPI.

Kepentingan Bangsa

Harapan senada disampaikan anggota Komisi X DPR Hanif Dhakiri yang mengatakan bahwa kemunculan LPI merupakan meluasnya bentuk keresahan terhadap dunia sepak bola nasional, khususnya dengan kondisi PSSI. Di tengah harapan dan optimisme masyarakat terhadap persepakbolaan nasional, sudah semestinya Polri memahami dan  membantu mencarikan solusi terbaik. Jangan hanya memakai logika hitam putih.

Kondisi itu ibarat buah simalakama bagi Polri. Apakah tetap pada pendirian untuk tidak memberikan izin dengan alasan regulasi yang ada atau memberikan izin dengan alasan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar?
Apabila landasan kebijakan yang akan dipakai Polri berada dalam bingkai konstektual-positivisme, maka untuk kepastian hukum, adanya ketentuan dalam UU No 3 Tahun 2003 menjadi sebuah keniscayaan. Namun Polri juga tidak bisa mengesampingkan efek dari keniscayaan ini bila menjadi sebuah ancaman faktual. Artinya, harus ada prediksi seandainya izin tidak diberikan karena mungkin muncul kecaman, kemarahan, bahkan  tindakan anarkis.

Dengan asas proporsional dan kemanfaatan atas keputusan yang akan diambil dalam kapasitasnya sebagai pemegang otoritas perizinan, Polri tidak boleh mengesampingkan alasan-alasan yang sudah terprediksikan dan kaku secara konseptual. Karena sejatinya, apapun keputusan yang diambil oleh Polri akan berujung pada keamanan dan ketertiban masyarakat itu sendiri secara luas, tidak hanya pada keamanan dan ketertiban sekelompok golongan.

Ini berarti setiap kebijakan atas tindakan kepolisian memuat akuntabilitas publik, bukan pada akuntabilitas golongan atau kelompok, meskipun ada regulasi di belakangnya. Sebab regulasi yang dijalankan dengan mengabaikan asas kemanfaatan, menjadi sebuah formal-tekstual yang tidak mengabdi pada kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa dan negara. (10)

— Herie Purwanto, Kepala Subbagian Hukum Polres Pekalongan Kota 
Wacana Suara Merdeka 7 Januari 2011