13 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Hegemoni II Golkar

Hegemoni II Golkar

ABURIZAL Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar pilihan Munas di Riau tahun 2009, sungguh cerdik membuat kesepakatan politik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bermodalkan kecerdikan membaca peta politik di Tanah Air dan karakter personal SBY, Ical  berhasil meluluhkan hati Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang harus menerima kenyataan bahwa hanya dengan menggandeng Golkar, duet SBY dan Boediono akan selamat sampai 2014.

Meski timbul kecaman, Ical panggilan akrab Aburizal Bakrie, bergeming, menerima posisi Ketua Harian Sekber Partai Koalisi. Posisi sebagai ketua harian sekber akan memberi kesempatan luas Golkar mengulang sukses sebagai partai hegemonik, yang sangat perkasa pada era Orde Baru.


Masih jelas dalam ingatan, sejak reformasi dikumandangkan para mahasiswa 12 tahun silam, sebagai akibat tekanan pengerdilan terhadap partai politik pada era Orde Baru, satu-satunya partai yang kokoh secara institusional, organisasional, dan kepemimpinan hanyalah Golkar. Demikian kokohnya Golkar dalam hampir semua bidang kelembagaan hingga Partai Beringin ini tetap tegak dan menang dalam pemilu legislatif 2004.

Dengan terpilihnya Aburizal sebagai Ketua Harian Sekber Koalisi, secara tersirat meminjam istilahnya Tamrin Amal Tomagola, dapat dimaknai sebagai kudeta halus Partai Golkar. Dalam perumusan kebijakan-kebijakan nanti, Sekber Koalisi ini praktis akan menjadi tunggangan politik untuk kembali berkuasanya Golkar pada Pemilu 2014.

Selain itu, bersatunya Golkar dengan partai lain seperti Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa sekarang ini menunjukkan kembalinya partai hegemonik jilid II Golkar.

Salah satu ciri hegemonik yang akan dimainkan Golkar adalah dengan mempertahankan warisan budaya politik Orde Baru, yang sangat menekankan pada kepentingan negara dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Doktrin stabilitas nasional merupakan doktrin keamanan-kedaulatan negara, tetapi bukan doktrin keamanan masyarakat dan kedaulatan rakyat.

Padahal, dalam konteks politik global, bahaya yang mengancam keselamatan NKRI, sesungguhnya jauh lebih kecil dibanding bahaya yang mengancam kedaulatan tiap-tiap warganya. Pembentukan Sekber Koalisi ini, akan menjadi bukti, apakah Yudhoyono dan Aburizal, sekarang hanya warisan rezim Orde Baru atau menempuh jalan sendiri yang lebih sejalan dengan cita-cita reformasi, yang justru telah membawa mereka pada tampuk kekuasaan.

Melihat Kembali  

Mencoba melakukan pemikiran terhadap perkembangan budaya politik ke depan, utamanya membangun demokrasi dan demokratisasi, baik secara prosedural maupun substantif. sosiolog Ignes Kleden (2009), pernah melakukan evaluasi, yang sampai kesimpulan bahwa, ‘’reformasi yang telah berlangsung lebih dari satu dekade tidak menunjukkan hadirnya efektivitas penggunaan kekuasaan atau pembangunan politik, kecuali pada perspektif perebutan (bancakan)’’.

Dalam fokus politik makro lebih didominasi hubungan antaraktor-aktor politik. Bahkan secara keseluruhan politik di Tanah Air masih terkonsentrasi pada kepentingan negara dibanding kepentingan masyarakat. Begitu pula tentang kebijakan desentralisasi yang dilandasi semangat reformasi, hanya memindahkan sentralisme politik dari pemerintahan pusat ke pemerintahan di daerah.

Sehingga, era reformasi sekarang ini membawa pada dua arus utama konflik. Pertama, pada tarikan konflik kepentingan dari perebutan kekuasaan. Kedua, ketegangan ideologis yang kentara pada gerakan Islamic state dari sebagian kelompok muslim yang berseberangan dengan kelompok nasionalis (nasionalists state). Di samping itu pada dimensi perebutan kekuasaan terdapat pola hubungan internal partai-partai di mana pola hubungan pascareformasi, eksistensi partai menjadi keharusan dalam kehidupan politik di Tanah Air.

Lebih dari itu, di tengah kemerebakan gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia, salah satu konsekuensi yang kurang diperhitungkan belakangan ini adalah menguatnya kembali gerakan politik identitas. Penguatan demokrasi dan proses demokratisasi yang tidak disertai penegakan hukum-keadilan, dan kesejahteraan yang merata, maka politik identitas akan semakin menguat.

Apa yang penulis bicarakan akan menjadi test case  bagi pemerintahan SBY setelah membentuk sekber koalisi. Apakah negara bersiteguh mempertahankan hak, kemerdekaan, dan kedaulatan sendiri, dengan mengorbankan hak hidup warganya yang sedang berada dalam kesulitan politik, hukum, dan ekonomi, akibat ketidakadilan ulah penguasa atau persekongkolan jahat antara hakim, jaksa, dan polisi seperti terlihat dalam berbagai kasus mafia hukum dan mafia pajak yang membuncah setelah ditiupkan Susno Duadji.

Kalau tuntutan masyarakat akan keadilan dianggap sebagai perlawanan rakyat terhadap penguasa, sesungguhnya kemerdekaan bangsa ini masih merupakan proyek jangka panjang, karena kemerdekaan negara belum disertai kemerdekaan warganya, dan stabilitas nasional belum dibarengi stabilitas sosial, serta kedaulatan pemerintah belum diperkuat kedaulatan rakyatnya. Itulah PR yang harus kita lawan dan ganyang bersama. (10)

— FS Swantoro, peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta

Wacana Suara Merdeka 14 Mei 2010