Sudah 12 tahun dan dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya, yang mungkin sudah pergi, mungkin juga sudah mati. Namun, bangkai ruko-ruko berwarna hitam itu masih dapat ditemukan di Cempaka Putih, Daan Mogot, juga di Glodok. Mereka tegak di sana seolah ingin mengingatkan apa yang terjadi 12 tahun silam.
Beruntunglah bahwa banyak ruko yang sudah dibangun lagi. Memang orang Tionghoa pelan-pelan telah membangun lagi rumah-rumah mereka atau menjualnya kepada yang berminat dan direnovasi. Kenang-kenangan akan peristiwa brutal itu terhapus sedikit demi sedikit, seiring dengan perjalanan waktu.
Orang Tionghoa dapat dikatakan sudah berhenti menangis. Memang tidak ada gunanya menangis terus-menerus. Mereka membangun kembali bisnis mereka selama 12 tahun terakhir. Ada yang mendirikan partai politik walau kandas, banyak pula yang mendirikan organisasi atas dasar marga dan asal-usul desa di daratan China, dan berbagai organisasi sosial lainnya, seperti INTI. Ada juga orang Tionghoa yang terpilih jadi anggota DPR/ DPRD, bupati, bahkan menteri.
Di bidang kebudayaan, antusiasme orang Tionghoa juga tidak kalah mencolok. Kini di mana-mana dapat ditemukan aksara-aksara Han di pintu-pintu toko dan restoran. Koran beraksara Han yang dulu hanya ada satu saja kini berjumlah banyak. Setiap perayaan tahun baru (Imlek), mereka bisa mengadakan festival secara terbuka di ruang-ruang publik, sambil mementaskan tarian naga dan barongsai.
Agama Khonghucu yang sem- pat dilarang kini juga dinyatakan sebagai salah satu agama resmi yang diakui negara. Sejak tahun 2009, orang Tionghoa boleh merasa bangga karena John Lie diakui sebagai pahlawan nasional. Pengakuan yang paling mengesankan adalah pengakuan yang ada dalam UU Kewarganegaraan 2006. Di dalamnya (Pasal 2) dikatakan bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia asli.
Maka dari itu, orang Tionghoa selama 10 tahun terakhir ini telah keluar dari perangkap meratapi diri sendiri, suatu hal yang sangat mungkin terjadi mengingat begitu dahsyatnya trauma yang mereka alami.
Hanya di satu pokok saja masih terdengar tangis lirih, yaitu soal pemakaian kata ”Cina”. Kata ini mereka alami sebagai bagian dari trauma masa lampau ketika Orde Baru memerintahkan memakai kata ini untuk merendah- kan mereka. Kata-kata padanan—Tionghoa dan Tiongkok—dilarang untuk dipergunakan. Tidak heran begitu reformasi bergulir, kata ”Cina” mereka tolak.
Kata ”Tionghoa” dan ”Tiongkok” paling mendapat sambutan. Dalam beberapa sambutan tahun baru Imlek, Presiden SBY juga memakai ”Tiongkok”. Ada surat kabar nasional juga memakai kata ini. Namun, mungkin kata ini terasa tidak nyaman bagi orang bukan dari suku Hokien, tiba-tiba muncul kata dari bahasa Inggris ”China” (diucapkan ”caina”) untuk menggantikan ”Cina”.
Tidak sedikit surat kabar dan stasiun TV mendukung kata ini. Padahal, pemakaian kata ”China” jelas merupakan pelanggaran kaidah bahasa Indonesia. Mengapa memasukkan kata bahasa Inggris? Konon, ini tuntutan dari masyarakat Tionghoa, tetapi ko- non pula ini tuntutan Pemerintah Republik Rakyat China (!)
Janganlah menangis lagi orang Tionghoa! Dua belas tahun setelah Tragedi Mei 1998 ada begitu banyak hal positif yang dapat dirayakan.
Opini Kompas 14 Mei 2010