13 Mei 2010

» Home » Kompas » Episode "Kadal" Pasca-"Cicak-Buaya"

Episode "Kadal" Pasca-"Cicak-Buaya"

Ruang publik politis kembali disuguhi kekerasan simbol/ tanda tatkala sehari pasca-mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Partai Demokrat segera membentuk sekretariat bersama koalisi dengan Partai Golkar yang diketuai Aburizal Bakrie.
Publik tentu sah untuk mempertanyakan, ada apa di balik fenomena itu? Benarkah dendam pribadi Aburizal pada masa lalu kepada Sri Mulyani berada di balik sikap garang Partai Golkar yang selama ini memotori sikap kritis Pansus Century? Akankah sekber ala Partai Demokrat dan Partai Golkar mengarah pada terbentuknya kartel politik, sesuatu yang dalam ranah ekonomi akan diberikan sanksi tegas, tetapi tidak di ranah politik meskipun itu sebenarnya telah menyelewengkan suara konstituen/rakyat?
Jika hal itu benar, era perpolitikan di Tanah Air kini sedang memasuki episode ”kadal” saat petinggi partai bisa memperdayakan partainya untuk meng-kadal-i (baca: membohongi) publik dengan memainkan drama antiklimaks Century, saat suara rakyat/konstituen bisa dibarter untuk sebuah kepentingan koalisi, dan seterusnya.


Era deliberasi politik yang dimulai saat episode cicak versus buaya harus berakhir antiklimaks dengan tampilnya episode kadal. Parlemen yang selama ini sibuk memoles citra mulai tampil secara telanjang saat dua partainya, Partai Demokrat dan Partai Golkar yang sebelumnya berhadapan sebagai lawan politik di DPR, kini telah bergandengan mesra dan menari diiringi ”air mata” Sri Mulyani yang dikorbankan demi langgengnya kekuasaan sebuah rezim.
Kelihaian yang melampaui moralitas adalah ajaran Machiavelli. Menurutnya, seorang pangeran harus bisa memainkan peranan sebagai manusia ataupun sebagai binatang buas. Seorang penguasa, menurut ajaran Machiavelli, tak perlu memerhatikan pertimbangan moralitas. Penguasa bisa saja terlihat moralistis dalam bertindak dengan menunjukkan sikap murah hati, memperjuangkan kejujuran dan keadilan, tetapi semua itu tak lebih bersifat utiliaristis, yaitu harus berfungsi untuk motif-motif tertentu dari sang penguasa. Jika dituntut keadaan, penguasa dibenarkan mengambil sikap antimoralitas. Masih menurut Machiavelli, dalam struktur pemerintahannya, penguasa yang cerdik akan menyingkirkan orang- orang potensial untuk tampil sebagai saingannya dalam kancah politik, dan sebagai ganti mengangkat orang-orang yang mematuhinya di sekelilingnya.
Menghalalkan segala cara
Dengan antiklimaks kasus Century, politik machiavellis masih sangat kuat dianut sebagian politisi di gedung miring Senayan. Pansus Century ibarat filsafat aforisme Nietzche (1844- 1900) yang dalam salah satu bukunya, Jenseits vom Guten und Bosen (melampaui baik dan buruk), mengibaratkan moralitas seperti fakta astronomis. Menurut Nietzche, di dekat matahari terdapat ”benda-benda” gelap. Aforisme itu ibarat moralitas, yaitu bahwa di belakang soal baik dan buruk terdapat sebuah kenyataan gelap. Moralitas, menurut kacamata Nietzche, harus dianggap semacam hiroglif, yaitu tanda-tanda yang menyembunyikan rahasia kegelapan, yang hanya bisa dibongkar dengan metode penafsiran genealogi. Genealogi merupakan upaya penyingkapan topeng-topeng nafsu, kepentingan individualistik, kebencian, ketakutan, dan keinginan-keinginan yang diungkapkan melalui sebuah pandangan tertentu mengenai fenomena, yaitu sebuah ”moralitas”. Moralitas, menurut pandangan Nietzche, menyembunyikan keterbatasan sudut pandang penganutnya.
Filsafat Machiavelli tentang sang penguasa yang menghalalkan segala cara atau filsafat aforisme Nietzche sudah sekian lama mengintimidasi publik karena menampilkan budaya kekerasan politik kepada publik yang menjadi pelajaran tidak sehat saat menonton kiprah sebagian politisi gedung miring. Kehidupan politik saat ini ditangkap publik sebagai kehidupan yang bersandar pada interpretasi tanpa akhir yang menggunakan pendekatan-pendekatan dengan mengakomodasi ciri-ciri ketidakstabilan, ketidakpastian, ketidakberaturan, diskontinuitas, dan keterputusan.
Ciri politik riil di Indonesia kini adalah chaotic-disorder, yang di atas pentas politiknya selalu terjadi perang tanda (war of sign). Publik perlu belajar hermeneutika kritis untuk bisa sampai pada penafsiran di balik tanda-tanda yang ditampilkan melalui topeng moralitas. Dalam bahasa Habermas, publik perlu mengetahui apa yang sebenarnya tersembunyi di balik konsensus dan bagaimana diskontinuitas dalam makna dan topeng moralitas perlu dijelaskan. Dari sinilah, publik sebenarnya masih bisa sampai pada sebuah harapan seberapa pun tipisnya, bahwa masih akan terwujud masyarakat ideal saat institusi-institusi politik tak lagi sekadar menjadi daya upaya guna mencari keuntungan sendiri, tetapi menjadi tujuan untuk sungguh-sungguh mewujudkan bonum commune.
W RIAWAN TJANDRA Direktur Pascasarjana Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

Opini Kompas 14 Mei 2010