Oleh Muh. Khamdan
Presiden sudah silih berganti sampai empat kali sejak Soeharto lengser dua belas tahun lalu. Setiap pemerintahan tentu mengaku sudah membuat kebijakan dan program pengentasan masyarakat perdesaan dan perkotaan dari kemiskinan dengan alokasi anggaran triliunan rupiah. Namun angka kemiskinan ternyata tidak mampu terbendung untuk turun secara berarti sehingga berbagai program menjadi tidak efektif. Dengan demikian, amanat konstitusi tentang kewajiban negara atas orang miskin dan anak telantar seolah hanya isapan jempol.
Pembukaan UUD 1945 jelas mengamanatkan pentingnya kesejahteraan umum sekaligus terwujudnya kecerdasan bangsa yang menyeluruh sebagai bagian dari tujuan berdirinya negara Indonesia. Amanat demikian semakin dipertegas dalam batang tubuh UUD 1945 dan perlu didorong dengan aturan hukum yang jelas dalam lingkup pelaksanaannya. Dalam situasi seperti itu, RUU Fakir Miskin yang kemudian berubah nama menjadi RUU Percepatan Pengentasan Kemiskinan merupakan keharusan.
DPR RI telah menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan ditetapkan target pembahasan 247 RUU, ditambah dengan 5 kategori RUU kumulatif terbuka. Dari Prolegnas itu, 58 RUU ditambah 5 kategori RUU kumulatif terbuka ditetapkan sebagai RUU prioritas 2010. RUU Fakir Miskin tengah menjadi salah satu RUU prioritas yang harus diselesaikan Komisi VII DPR.
Program dan kebijakan pengentasan kemiskinan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seolah berjalan tanpa perencanaan matang untuk jangka waktu panjang. Hal itu dapat terlihat dari pelaksanaan program yang hanya bersifat bantuan sosial sehingga terkesan bagi-bagi dana segar dan mengalami kemandulan pengentasan kemiskinan. Kenyataan tersebut setidaknya dipahami dari dua paradigma.
Pertama, adanya politisasi kewajiban menjadi pencitraan kedermawanan oleh pemerintah. Pencitraan kedermawanan tersebut seolah menggambarkan kepedulian sosial pemerintah, padahal mestinya adalah tanggung jawab negara atas rakyatnya. Bantuan model ini semacam bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan kelompok usaha bersama (KUBE) dengan tajuk utama sebagai perlindungan sosial yang ditujukan pada keluarga atau komunitas miskin. Fenomena BLT menjadikan dana yang didapatkan hanya menjadi pemuas konsumsi, menyuburkan konsumerisme, serta ketergantungan masyarakat miskin.
Kedua, pencitraan angka statistik lebih dikedepankan daripada data kemiskinan faktual di tengah masyarakat. Pengalaman karut-marutnya program dan kebijakan, ataupun persoalan-persoalan lainnya yang menjadi parameter kemiskinan selalu didasarkan pada kurangnya koordinasi atas data kemiskinan. Mesti diakui, data kemiskinan yang menjadi dasar bagi intervensi program penanggulangan kemiskinan belum tersedia secara komprehensif sesuai dengan kebutuhan. Satu-satunya lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kesediaan data adalah Badan Pusat Statistik (BPS) walaupun BPS banyak dikritik sehubungan data yang semrawut.
Berdasarkan data BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia pada 2008 (15,42 persen) menurun sekitar 2 persen dibandingkan dengan 1996 (17,47 persen). Jika dilihat dari jumlah absolut, penduduk miskin justru meningkat dari 34,01 juta (1996) menjadi 34,96 juta (2008). Perkembangan kemiskinan masyarakat justru terjadi sampai di depan istana dengan maraknya anak jalanan dan fakir miskin di kolong jembatan.
Pemerintah telah mengeluarkan serangkaian kebijakan pengentasan kemiskinan, seperti BOS, Askeskin, dan Jamkesmas, yang membutuhkan alokasi anggaran besar. Untuk 2009, anggaran pengentasan kemiskinan secara agregat di dalam APBN mencapai sekitar Rp 66 triliun. Meskipun demikian, kemiskinan menjadi masalah yang tak berkesudahan.
Hal itu karena penyebab kemiskinan selalu didasarkan pada jawaban makro yang tunggal, padahal penyebab kemiskinan berbeda-beda sesuai dengan lingkup lokalitas yang ada. Kesemrawutan data tidak akan dapat mencerminkan gambaran tingkat kemiskinan masyarakat yang memiliki keragaman akibat wilayah Indonesia berbeda secara geologi, sosial, budaya, sumber daya alam, ataupun bentuk ekonomi yang berkembang.
Akhirnya, kemiskinan dan kecerdasan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab bersama. Jika RUU Pengentasan Kemiskinan dijadikan sebagai tonggak awal pembenahan program dan kebijakan yang selama ini dianggap mandul, penting dirumuskan kejelasan hubungan antara pemerintah di semua level, lembaga-lembaga kemasyarakatan, serta masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan agar tidak ada pengkhianatan atas konstitusi.
Menjelang usia 65 tahun Indonesia merdeka, bangsa ini semakin tersadar betapa sulitnya menagih amanat konstitusi bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dapat dipelihara oleh negara. Untuk menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab atas rakyat miskinnya sebagai amanat UUD 1945, segera menyelesaikan RUU tentang Fakir Miskin menjadi UU merupakan suatu keniscayaan.***
Penulis, fungsional Widyaiswara BPSDM Kementerian Hukum dan HAM RI.
opini pikiran rakyat 14 mei 2010