Oleh Mohammad Cahya
Sebagaimana kita tahu, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dari sekitar 5.000 bahasa yang bertebaran di seluruh dunia, salah satu yang tercatat adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, yang dulunya Bahasa Melayu, tumbuh dan berkembang pesat seiring dengan kemajuan zaman.
Baru-baru ini, hasil UN SMA/SMK/MA dan SMP/MTs telah diumumkan. Alhasil, tingkat kelulusan UN 2009-2010 mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan banyak siswa tidak lulus mata pelajaran bahasa Indonesia. Kemendiknas menyatakan tiga alasan ketidaklulusan siswa: 1. Proses belajar mengajar (PBM) tak efektif, 2. kurangnya kesadaran siswa, dan 3. kurangnya sarana pendukung.
Menanggapi pernyataan itu (khusus mata pelajaran bahasa Indonesia), penulis rasa alasan Kemendiknas kuranglah tepat. Mengapa demikian?
Proses belajar mengajar (PBM) pasti dilakukan sekolah secara maksimal. Khusus mengenai tingkat keterpahaman siswa dalam menjawab soal-soal yang dibuat/diberikan oleh guru (dengan komposisi 34 persen standar kompetensi lulusan (SKL) UN Percakapan, 33 persen UN Ketatabahasaan, dan 33 persen UN Kesusastraan), mereka dapat menjawab hampir 100 persen. Hal ini menandakan bahwa PBM berjalan baik. Kemudian, kesadaran siswa dalam mengikuti PBM pun terlihat sangat tinggi. Sebagai bukti (pengalaman penulis), tidak pernah dalam satu hari pun absensi siswa di sekolah di suatu kelas mencapai 50 persen. Selain PBM yang kondusif, sarana pendukung PBM pun dirasa sudah cukup tersedia. Sebagai bukti, di sekolah disediakan buku BOS, buku pengetahuan populer, ataupun buku-buku karya sastra (bahasa Indonesia). Lantas mengapa ada siswa yang tidak lulus?
Menurut pengamatan penulis, hal urgen dari ketidaklulusan siswa (khusus mata pelajaran bahasa Indonesia) disebabkan dua hal, yaitu opsi jawaban soal UN (bahasa Indonesia) yang homogen dan pemerintah beserta BSNP salah menerapkan muatan SKL UN.
Opsi jawaban homogen merupakan salah satu kriteria yang harus dipatuhi oleh penulis soal PG. Namun celakanya, opsi jawaban homogen dapat fatal jika diterapkan pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang bermuatan SKL UN Percakapan. Contoh sederhana, suatu soal menginginkan jawaban: krisis mata pelajaran bahasa Indonesia. Di samping jawaban itu, ada pula opsi jawaban lain, yaitu: krisis bahasa Indonesia. Dengan adanya opsi jawaban homogen di atas, siswa merasa bingung karena opsi itu maknanya mirip. Dengan adanya kasus seperti itu, penulis bersaran agar opsi jawaban homogen tidak diterapkan pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang bermuatan SKL UN Percakapan secara 100 persen, tetapi terapkan saja 34 persen. Kemudian 66 persen diterapkan pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang bermuatan SKL UN Ketatabahasaan dan Kesusastraan, seperti, imbuhan ber-/be-, huruf f/v/p, tanda baca titik/koma, kata baku/tak baku, kalimat aktif/pasif, subjek/objek/pelengkap, makna konotasi/denotasi, majas ironi/antitese, atau rima awal/tengah/akhir.
Penerapan muatan SKL UN bahasa Indonesia selama ini terlalu menitikberatkan pada segi pragmativitas. Akibatnya, kompetensi percakapanlah yang mendominasi muatan SKL UN (pada mata pelajaran bahasa Indonesia) ketimbang kompetensi ketatabahasaan dan kesusastraan. Memang dapat dipahami bahwa muatan SKL UN Percakapan di sekolah banyak diberikan kepada siswa, maka siswa akan cakap berbicara bahasa Indonesia. Namun, pemerintah dan BSNP jangan lupa dengan salah satu ciri dari ilmu pengetahuan, yakni ciri unik. Dengan adanya ciri unik, sudah seharusnya penerapan muatan SKL UN bahasa Indonesia yang dilakukan pemerintah dan BSNP menyeimbangkan antara muatan SKL UN Percakapan dengan muatan SKL UN Ketatabahasaan dan Kesusastraan, karena dengan penyeimbangan ini, tentu saja siswa akan cakap berbicara bahasa Indonesia dan sudah barang tentu pula percakapannya pun akan disertai dengan kaidah-kaidah ketatabahasaan yang baik dan benar serta sesekali dibalut dengan sastra nan indah. Penyeimbangan muatan SKL UN bisa diterapkan pada soal UN ulangan (mata pelajaran bahasa Indonesia, SMP), yakni tanggal 17-20 Mei 2010. Di samping itu, sudah barang tentu pula dengan penyeimbangan SKL UN, opsi jawaban homogen akan dapat terhindar.
Di samping penyeimbangan muatan SKL UN, penulis pun menyarankan agar pemerintah taat pada UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat 1 dan 2 yang mengisyaratkan bahwa pendidik dan lembaga mandiri (BSNP) yang harus menentukan evaluasi terhadap siswa. Namun demikian, pemerintah boleh-lah menentukan evaluasi terhadap siswa asal sebatas penentuan kelulusan siswa untuk seleksi masuk jenjang sekolah (negeri) yang lebih tinggi.
Kapankah waktu yang tepat untuk merevisi muatan SKL UN mata pelaran bahasa Indonesia dan merevisi penentuan sistem kelulusan UN? Penulis kira, Mei 2010 inilah momentum yang tepat bagi pemerintah dan BSNP untuk merevisi muatan SKL UN bahasa Indonesia dan merevisi penentuan sistem kelulusan UN karena Mei adalah bulan lahirnya pemikiran-pemikiran baru/reformasi.
Sebagai penutup, penulis berharap agar pemerintah (Kemendiknas) dan BSNP legawa merevisi muatan SKL UN bahasa Indonesia dan hasil revisinya dapat efektif di kalangan siswa. Dan tak lupa, pemerintah pun berani mengubah penentuan sistem kelulusan UN, dari yang semula diatur pemerintah menjadi diatur pendidik. Amin.***
Penulis, praktisi pendidikan di Yayasan Pendidikan Umum, YLPM Muslimin 3, Yayasan Pendidikan Nasional Bandung, dan praktisi pendidikan di Nurul Hasan College Bandung, serta anggota Asosiasi Guru Penulis PGRI Jawa Barat.
opini pikiran rakyat 14 mei 2010
13 Mei 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » Benarkah Ada Krisis Bahasa Indonesia?
Benarkah Ada Krisis Bahasa Indonesia?
Thank You!