Dalam rapat koordinasi Presiden dengan para menteri kabinet dan gubernur se-Indonesia di Tampaksiring, 19-21 April, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tegas menyatakan bahwa Indonesia tetap berpegang pada sistem demokrasi hasil Reformasi 1998 dan tak tergoda menoleh kembali pola otoriter Orde Baru.
Presiden menegaskan hal itu menjawab lontaran saya tentang berkembangnya wacana The China Model atau The Beijing Consensus yang membandingkan kemajuan Tiongkok, penganut satu partai monolit, dengan kelambanan pola demokrasi India dan Indonesia.Kemajuan pesat Tiongkok dalam satu dasawarsa terakhir—sejak Deng Xiaoping menggulirkan reformasi (1979) merangkul ekonomi pasar bebas sambil tetap mempertahankan sistem partai penguasa tunggal—telah menumbuhkan teori dan paradigma baru. Dalam satu dasawarsa setelah reformasi, Tiongkok mengalami ujian berat dalam bentuk insiden Tiananmen, yang diselesaikan dengan tank besi menggilas pendemo. Sesudah itu Tiongkok bagaikan terkucil melawan arus demokratisasi yang melanda dunia setelah Tembok Berlin runtuh dan Uni Soviet bubar.
Secara ajaib, Tiongkok justru sintas dan secara tak langsung jadi penyangga saat krisis moneter Asia Timur (1997-1998) melanda seluruh Asia tepi Pasifik, termasuk Jepang akibat Yendaka. Tiongkok mempertahankan kurs yuan di tengah kemerosotan semua mata uang Asia Timur, mulai dari won sampai rupiah. Pada dasawarsa ketiga, secara mengejutkan tetap sintas meski adikuasa AS jadi episentrum krisis moneter 2008.
Ketahanan dan ketangguhan Tiongkok ini jadi gumpalan teori tentang alternatif pembangunan di luar jalur demokrasi liberal Barat dan pasar bebas ekonomi politik. Joshua Copper Ramo dan Stephan Hardley melontarkan istilah The Beijing Consensus. Ramo adalah direktur pelaksana Kissinger Associates, perusahaan konsultan mantan Menlu AS Henry Kissinger, yang terkenal dengan buku The Age of the Unthinkable.
Ramo menulis monograf yang menyatakan bahwa keberhasilan Tiongkok meraih kinerja ekonomi luar biasa tanpa sistem demokrasi liberal Barat menjadi alibi untuk mengklaim: demokrasi parlementer liberal Barat dengan oposisi dan jatuh bangun kabinet berakibat tidak adanya efisiensi dalam pembangunan nasional.
PM Wen Jiabao merumuskannya dengan pidato politik pada Kongres Rakyat Nasional, Maret 2007. Dia mengatakan bahwa untuk Tiongkok barangkali perlu 100 tahun lagi untuk siap berdemokrasi tuntas seperti AS dengan pemilihan presiden langsung antara petahana (incumbent) dan oposisi. Pidato Wen Jiabao itu secara tak langsung merupakan sanggahan terhadap teori Boediono yang dilontarkan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Gajah Mada, 24 Februari 2007.
Mengutip banyak teoretikus tentang kaitan demokrasi, stabilitas, dan kemajuan ekonomi, Boediono menyatakan, demokrasi hanya akan optimal bila pendapatan per kapita sudah rata rata 6.600 dollar AS per kapita. Adapun Indonesia menurut statistik yang dipakai sebagai dasar Raker Tampaksiring baru berada pada tingkat 1.000 dollar AS dan tahun 2014 ditargetkan 4.500 dollar AS. Dilihat dari paritas daya beli, sebetulnya sebagian besar Tiongkok, terutama kota besar dan daerah pesisir, pendapatan per kapita sudah sekitar 6.000 dollar AS per tahun.
Debat Wen Jiabao-Boediono ini bergulir pada tingkat wacana intelektual global yang tentu saja bergema juga di Indonesia. Sebagian pengagum Orde Baru dengan sinis dan sikap ”I told you so” menyatakan ”nah, betul, kan, kalau rakyat masih miskin mereka tidak butuh demokrasi, tetapi kestabilan dan kemantapan ekonomi”. Sebetulnya apa yang salah dalam reformasi dan demokrasi yang menjadi pilihan sistem kita sejak lengsernya Soeharto, 1998.
Belajar dari India, kita harus meyakini, dalam jangka panjang, demokrasi akan lebih sustainable ketimbang pola otoriter analog dengan Orde Baru. Setelah 32 tahun bangkit di bawah Soeharto ternyata mendadak bangkrut tahun 1998 hingga Indonesia seolah harus mulai dari nol lagi.
Pada hakikatnya sistem demokrasi yang mengandalkan meritokrasi memerlukan kepastian hukum yang didukung transparansi publik dengan informasi berimbang serta perimbangan kekuatan yang setara antara kekuatan yang bersaing secara otonom dan tidak terbajak oleh kartel politik ataupun fragmentasi sub-gang makelar politik yang tidak berwawasan nasional.
Dalam sistem demokrasi mapan, tercapai suatu perimbangan kekuatan antara petahana dan oposisi yang secara integral menghormati dan mengakui serta menempatkan kepentingan nasional, bipartisan, nonpartisan dalam pengambilan putusan yang dilakukan secara fair, rasional, dan obyektif. Juga batasan waktu bisa mencegah absolutisme kekuasaan petahana. Dalam sistem otoritarian yang mengandalkan kepemimpinan seperti Singapura, ketergantungan kepada oknum, figur, serta tokoh karismatis dan individualis sangat dominan. Adapun dalam sistem otoritarian Partai Komunis Tiongkok, oligarki Politbiro Partai menjadi diktator kolektif yang secara sepihak memutuskan apa yang terbaik untuk negara. Mirip dengan Dewan Ayatollah Iran yang menentukan siapa yang bisa maju menjadi caleg dan capres. Amerika Serikat dan Eropa Barat telah mengalami sistem demokrasi dengan persaingan petahana dan oposisi sekitar dua abad sejak AS memperkenalkan republik dan suksesi melalui pemilu menggantikan suksesi yang terkadang berdarah dalam monarki absolut di seluruh dunia dan segala bangsa.
Apakah tingkat keberhasilan Tiongkok selama tiga dasawarsa ini akan mampu bertahan lebih lama dari Soeharto meniru Kim Il Sung ayah dan anak yang terus mengangkangi Korea Utara via kultus individu. Apakah suksesi dengan voting internal Partai Komunis yang menentukan pengaderan kepemimpinan capres dan calon perdana menteri akan terus lancar tanpa gejolak ala Tiananmen atau konfrontasi ala Bangkok, Thailand, sekarang ini.
Barangkali nasionalisme, semangat bersatu padu membangkitkan Tiongkok melalui sukses Olimpiade Beijing 2008 dan Expo Shanghai 2010, bisa jadi landasan integrasi dan integritas elite dan rakyat Tiongkok untuk satu-dua generasi. Juga pembatasan masa jabatan dua periode yang berlaku sejak Jiang Zemin, Zhu Rongji dan Hu Jintao, Wen Jiabao. Sudah disiapkan calon duet baru Xi Jinping dan Li Keqiang dengan metode mengikuti kearifan George Washington. Kita sudah membatasi masa jabatan presiden dan Yudhoyono juga tak akan berperan lagi 2014.
Tantangan bagi elite Indonesia pasca-SBY memasuki Pemilu 2014 adalah apakah demokrasi Indonesia akan bersinar bersama India jadi model pembangunan negara berkembang jadi negara maju sehingga Konsensus Tampaksiring bisa jadi alternatif lain dari The Beijing Consensus. Model China, oligarki politik menaungi pasar bebas. Model Indonesia, Konsensus Tampaksiring, harus percaya diri, asertif bahwa legacy SBY adalah demokrasi hasil perjuangan reformasi. Dalam jangka panjang model Tampaksiring, model demokrasi, akan lebih sustainable dari model otoriter daur ulang Orde Baru Soeharto atau rezim otoritarian model China. Tentunya bila demokrasi itu tak dibajak jadi anarki oleh money politics kartel oligarki ”penguasaha” (pengusaha merangkap penguasa).
Opini Kompas 14 Mei 2010