Aturan yang sangat kaku seperti dalam KUHP, misalnya, boleh disimpangi meski dengan alasan terbatas: keselamatan ibu dan atau bayinya serta alasan kehamilan karena perkosaan.
Alasan yang terakhir sesungguhnya bukan hal baru sebab sejak 1947 Mahkamah Agung telah melepaskan seorang dokter dari tuntutan hukum karena melakukan aborsi dengan alasan kehamilan tak dikehendaki akibat perkosaan oleh segerombolan laki-laki (gang rape). Sejak 1960-an, pengaturan menstruasi juga diizinkan Departemen Kesehatan. Demikian pula dengan Keluarga Berencana, yang semula banyak ditolak agamawan, sudah diterima sebagai way of life. Ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai alat kontrasepsi yang efektif ataupun pengobatan terhadap infertilitas.
Komitmen anggota PBB untuk melindungi dan memenuhi hak seksual dan reproduksi telah dideklarasikan di Kairo (1994), diperkuat dalam Deklarasi Beijing (1995), dan diperbarui dalam MDGs (2000) terutama untuk mengatasi kendala-kendala utama penghapusan kemiskinan.
Meski demikian, banyak pihak meragukan apakah target Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/ MDGs) untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) sampai 102/100.000 kelahiran hidup bisa dicapai. Ini karena banyak kendala: anggaran, tak cukup sarana dan prasarana, termasuk profesional yang membantu kelahiran, serta rendahnya akses perempuan dalam pengambilan keputusan terutama di tingkat keluarga.
Pasal 76 UU Kesehatan mensyaratkan izin suami untuk melakukan aborsi dengan alasan kedaruratan medis. Seperti juga UU Perkawinan dan UU lainnya, suami sebagai kepala keluarga ditempatkan sebagai pengambil keputusan atas seksualitas, tubuh, dan nyawa istrinya. Meski pemerintah wajib melindungi perempuan dari aborsi tidak aman, angka kematian ibu akibat aborsi tak aman sangat tinggi, bahkan menyumbang 30-50 persen AKI (Widyantoro dan kawan-kawan, 2010).
Dengan kata lain, negara tak mampu melindungi perempuan dari aborsi tidak aman, tetapi tak mau bertanggung jawab atas kematian ibu karena secara legal telah menyerahkan kewenangan ke suami. Kebijakan ini jelas merupakan cara negara menghindar dari tanggung jawab yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan negara terhadap perempuan.
Tidak seperti yang diperkirakan banyak pihak, yaitu aborsi dilakukan oleh mereka yang berhubungan seks di luar perkawinan, hasil survei pada tahun 2000 menunjukkan, 2/3 aborsi dilakukan ibu yang telah kawin dengan pendidikan SMA dan separuhnya telah mempunyai dua anak. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa para istri tidak memiliki kontrol apa pun atas integritas tubuhnya.
Kehamilan yang tak dikehendaki diperkirakan terjadi karena ketidakberdayaan istri menegakkan hak seksual dan reproduksi terhadap suaminya, baik dalam penggunaan alat kontrasepsi maupun menolak berhubungan seksual. Hubungan seksual itu mungkin memang tanpa paksaan sebagaimana didefinisikan UU Kesehatan. Namun, norma, budaya, dan tafsir agama menempatkan perempuan pada posisi bukan pengambil keputusan dalam keluarga sehingga mereka tidak merasa bahwa itu adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan. Inilah yang disebut symbolic violence (Wieringa, 2009).
Kekerasan simbolik bersumber pada ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki, yang diinternalisir masyarakat, sehingga perempuan tak menyadari kehidupannya terancam akibat diskriminasi dan kekerasan.
Kenyataan ini tampaknya tak menjadi perhatian para pembuat UU dan kebijakan, apalagi penegak hukum. Studi oleh Widyantoro dan kawan-kawan (2010) menunjukkan, aparat penegak hukum umumnya sangat legalistik, kurang sensitif jender, serta lemah pengetahuan dan kesadaran hukumnya tentang perubahan ketentuan aborsi dalam yurisprudensi ataupun UU Kesehatan baik lama maupun baru (UU No 26/2009).
Meski UU Kesehatan memberi kelonggaran untuk aborsi dengan alasan medis ataupun kehamilan akibat perkosaan, aparat penegak hukum masih juga menggunakan KUHP yang sangat rigid. Maka, hak seksual dan kesehatan reproduksi disosialisasikan terutama pada instansi penegak hukum.
Saat ini, persoalan juga terkait dengan paradigma dalam UU Kesehatan yang masih menempatkan hak seksual dan reproduksi dalam kerangka keluarga sah sehingga suami menjadi pengambil keputusan. Padahal, hak seksual dan kesehatan reproduksi adalah hak individual yang terkait pada mati hidup perempuan itu sendiri. Dengan demikian, pada perempuanlah seharusnya kontrol dan keputusan diberikan.
Jika dilihat hak seksual dan kesehatan reproduksi berada sepanjang siklus kehidupan manusia, perempuan sudah seharusnya mempunyai hak otonomi atasnya. Hanya dengan memberi penghormatan atas integritas tubuh dan otonomi pada perempuan diikuti tersedianya sarana dan prasarana serta anggaran cukup, angka kematian ibu dapat ditekan pada titik nol.
Opini Kompas 21 April 2010