20 April 2010

» Home » Republika » Perempuan untuk Kesadaran Lingkungan

Perempuan untuk Kesadaran Lingkungan

Hari Kartini (21 April) dan Hari Bumi (22 April) datang berimpitan. Kedua momentum ini menghadirkan refleksi kemanusiaan yang penting. Perempuan menempati puncak refleksi sebagai subjek dan objek. Pada jejak sejarah Kartini, perjuangan kesetaraan perempuan terbaca sebagai gerakan peradaban dan kemanusiaan. Hari Bumi memungkinkan tafsir atas perempuan ditempatkan pada titik equilibrium yang menarik. Perempuan sebagai Ibu bagi peradaban, Bumi layak direnungi sebagai rumah peradaban.

Inilah refleksi penting atas kedua momentum yang saling beriringan. Perempuan berada pada titik strategis untuk memperjuangkan nasib bumi. Di rumah tangga, segala persoalan dan solusi bermuara. Rumah juga menjadi inspirasi lahirnya kesadaran untuk perjuangan kemanusiaan di tengah krisis ekologis dan finansial global.

Gerakan perempuan untuk meredam bencana perlu dihadirkan dan direvitalisasi kembali. Musibah kerusakan lingkungan menjadi refleksi untuk mengetengahkan reaksi atas persoalan bencana di negeri ini. Tragedi bencana alam menjadi ruang penderitaan yang menyedihkan, di samping badai krisis ekonomi berkepanjangan.

Di tahun harapan ini, paradoks kehidupan semakin mengerikan. Krisis ekologis yang dialami bangsa Indonesia telah mencapai titik puncak. Pada tahapan ini, bagaimana kaum perempuan merespons krisis ekologis?. Apa peran positif perempuan dalam membendung kerusakan lingkungan yang semakin parah?

Gerakan kesetaraan yang berdenyut di ranah publik memberi tuntutan wanita untuk lebih aktif, berpikir kritis, bekerja cepat, dan memiliki visi progresif. Selain itu, gerakan emansipasi yang memiliki gaung kencang di berbagai ranah kehidupan, hendaknya dikontekstualisasikan dalam alam faktual. Feminisnya pada hakikatnya tak hanya sebatas ide, yang menyembul di berbagai forum diskusi, ruang kuliah, maupun perdebatan panjang di kafe-kafe penuh inspirasi. Emansipasi wanita hendaknya tak hanya membangkitkan image positif perempuan di media massa. Justru, gerakan strategis kaum hawa hendaknya kontekstual dengan tantangan krisis ekologis warga negeri ini.

Gerakan perempuan dalam membendung krisis ekologis inilah yang ditunggu publik negeri ini. Aksi konkret inilah yang disebut sebagai 'ekofeminisme'. Wacana ekofeminisme yang pertama kali diperkenalkan feminis Perancis, Francoise d'Eaubonne (dalam karyanya  Le Feminisme ou La Mort , 1974). Lewat buku ini, Francoise berusaha melepaskan diri dari logika dualistik yang berkembang, dengan menunjukkan tinjauan kritisnya tepat pada salah satu pilar utama modenisme, yakni paradigma Cartesian-Newtonian.

Menurut Francoise, ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya memfokuskan diri pada subordinasi perempuan, tetapi subordinasi alam-lingkungan di bawah kepentingan manusia. Dengan demikian, ekofeminisme sekaligus mengkritisi pilar-pilar modernisme yang lain, yakni 'antroposentrisme' dan 'androsentrisme'. Gerakan inilah yang sebaiknya diembuskan dalam labirin kehidupan kaum hawa. Usaha faktual dalam mengelola dan mencintai kesejukan alam, tidak hanya didominasi laki-laki, tetapi menjadi basis gerakan perempuan.

Dengan demikian, konsep perempuan sebagai 'ibu' yang menebarkan keramahan kepada lingkungan menjadi kontekstual. Sifat keibuan ini bukanlah menunjukkan kelemahan, tetapi nilai kasih sayang dan kepedulian pada lingkungan yang menjadi fokus perhatian. Maka, kaum perempuan dapat mengedepankan gagasan progresif tentang kesetaraan dan hak di ranah publik, sambil menjadi tokoh sentral yang berada di garda depan ( avant garde ) dalam penyelamatan lingkungan.

Gerakan ekofeminisme merupakan alternatif untuk menyelamatkan perempuan dan lingkungan. Vandana Shiva and Maria Mies (1993) menandaskan bahwa gerakan kapitalisme global mendorong pemiskinan pada perempuan dan lingkungan. Sistem politik dan ekonomi internasional pun masih menandakan bayang hitam penindasan perempuan dan perusakan lingkungan. Untuk itu, gerakan ekofeminisme strategis diletupkan.

Nestapa Ekologis
Kondisi alam negeri ini telah sampai pada titik kritis yang mengkhawatirkan. Kerusakan lingkungan yang terjadi di negeri ini, semakin hari bertambah parah. Ancaman  global warming membuat badai bencana memuncak, alam menampakkan wajah mengerikan.

Bagaimanapun, kerusakan alam menjadi tanggung jawab manusia. Kerakusan manusia membabat hutan ( illegal logging ), menggerus bukit dan eksplorasi mata air yang tiada henti menjadikan siklus kehidupan berubah drastis.

Bangsa ini juga mengidap cara pandang yang keliru dalam memperlakukan alam. Manusia menganggap dirinya sebagai penguasa alam dan bebas melakukan eksploitasi. Paradigma negatif ini dalam bahasa A Sony Keraf (2002) berasal dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, alam dan segala isinya sekadar alat pemuasan kepentingan manusia. Inilah yang menyebabkan eksploitasi lingkungan gencar dilakukan.

Di belantara negeri ini, kerusakan hutan hampir mencapai titik nadir, dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebagaimana dikutip dari World Resource Institute, negeri ini telah kehilangan hutan sebesar lebih dari 72 persen. Pada 1985-1997, kerusakan hutan melaju sekitar 1,6 juta hektare per tahun. Sedangkan, pada periode 1997-2000, meningkat 3,8 juta hektare per tahun. Untuk saat ini, angka kerusakan hutan berkisar pada titik sama. Inilah sekelumit potret buram kerusakan lingkungan menyedihkan.

Opini Republika 21 April 2010