20 April 2010

» Home » Solo Pos » Antara pasar & program kesejahteraan

Antara pasar & program kesejahteraan

Debat calon walikota Solo yang bagi kalangan awam kelihatan kurang menarik, sebenarnya mengandung pertarungan pemikiran penting. Pasangan incumbent, Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo (Jo-Dy), mempertahankan program utamanya memajukan pasar dan sang penantang, Eddy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi(Wi-Di), mengajukan program kesejahteraan atau bantuan langsung.

Dengan memajukan pasar, sebagaimana dipertahankan incumbent, Solo yang terkenal sebagai kota perdagangan dan industri akan membuka kesempatan bagi rakyat untuk memperoleh perbaikan ekonomi. Hal itu diperoleh melalui ramainya perdagangan, para pengusaha akan memperoleh keuntungan yang dapat direinvestasi yang selanjutnya memperbesar kapasitas produksi daerah dan rakyat akan memperoleh pekerjaan sebagai buruh industri dan perdagangan. Minimal rakyat akan memperoleh UMK (upah minimum kota). Dengan demikian akan membantu rakyat untuk memenuhi kebutuhan dan akhirnya keluar dari kemiskinan.

Incumbent yang kebetulan berlatar belakang pengusaha yang terbiasa mandiri dari bantuan pemerintah, sadar atau tidak sadar, terwarnai oleh latar belakang tersebut dalam pilihan programnya. Antitesis dari logika pasar adalah negara kesejahteraan (welfare state). Fungsi dan peran negara bukan hanya pada menjaga kesehatan pasar, misalnya dari praktek monopoli dan oligopoli, tetapi bertanggung jawab langsung memenuhi kebutuhan (dasar) rakyat.

Di dalam negara kesejahteraan—yang dipelopori Eropa—negara terlibat jauh dalam berbagai bantuan langsung. Amerika yang secara ideologis liberal dan kapitalistik, tahun ini memilih Obama yang membawa program welfare state—salah satunya tentang reformasi santunan kesehatan.

Program welfare state—baik di Eropa, Australia, Amerika dan negara maju lainnya—umumnya berbentuk empat pilar. Pertama, OAI (old age insurance = program pensiun) bagi para pekerja yang memenuhi pensiunnya dengan sistem asuransi dan melalui skema social security bagi masyarkat marginal yang pensiunnya bergantung dari keuangan daerah. Kedua, HI (health insurance = asuransi program kesehatan ) bagi orang yang bekerja dengan baik atau melalui medicaid bagi kelompok marginal yang juga bersumber dari keuangan daerah. Ketiga, UEI (unemployment insurance = asuransi PHK, bagi orang bekerja) dan program padanannya bagi penganggur dari dana pemerintah. Keempat, bagi para penyandang cacat berupa disability insurance (jaminan orang cacat).



Pasar saja tak cukup

Program bantuan langsung kepada rakyat di negara maju sebenarnya berideologi ekonomi pasar. Mereka menyadari terdapat orang yang tersisih dan tidak dapat berkompetisi dalam pasar. UU tentang social security ditulis pertengahan tahun 1930-an. Itulah sebabnya pasal-pasal ekonomi dan sosial banyak dirumuskan dalam UUD 1945.

Bung Hatta yang tentu saja banyak membaca literatur Eropa juga merasakan bahwa pasar tidak cukup menyelesaikan masalah sosial. Program pensiun yang diangkat oleh kubu penantang (Wi-Di) sebenarnya bukan hal baru di Eropa dan UUD 1945. Hanya saja para pemimpin ragu dengan selalu merasa bahwa uang atau anggaran masih kurang. Landasan hukum yang lebih operasional adalah disahkannya UU Jaminan Kesejahteraan Sosial pada tahun 2009 yang lalu.

Umumnya para pemimpin membandingkan anggaran negara maju yang besar dan anggaran kita yang kecil. Anggaran masih kurang, tidak memungkinkan memulai sekarang. Solo sebagai kota yang pertama kali mewacanakan social security bisa menjadi contoh. Bukan besarnya anggaran yang penting tetapi sistem yang baik. Dengan kata lain ada anggaran besar memberi besar ada anggaran kecil memberi kecil. Yang penting bangunan sistem solidaritas dan kohesifitas sosial yang tinggi .

Social security memiliki landasan nilai luhur ketika bangsa kita masih tradisional. Pada waktu itu kita kenal sambatan, gotong royong dan sebagainya. Ketika modernisasi menggantikan relasi sambatan dengan relasi berbasis uang, dan negara tidak siap menggantikannya dengan skema modern dengan alasan APBD yang kurang, maka rakyat kehilangan sesuatu.

Relasi dan sistem yang lama sudah ditinggalkan, sistem modern yang baru tidak kunjung datang. Kesalahan para pemimpin yang menolak program kesejahteraan modern yang berbasis negara, karena para birokrat berkepentingan dengan penggunaan anggaran untuk program lain. Bantuan langsung kepada rakyat kurang disukai oleh birokrasi. Mengapa? Karena dengan bantuan tidak langsung berupa proyek ini dan itu dana pemerintah akan mengucur ke birokrasinya sendiri.

Apakah antara ekonomi pasar dan program kesejahteraan langsung harus bertentangan? Jawabannya tidak demikian. Di banyak negara sekarang menyatakan sebagai ekonomi campuran. Negara pasar atau negara liberal kapitalistik juga menyelenggarakan bantuan langsung program kesejahteraan. Jika Indonesia tidak melaksanakan maka Indonesia akan terjatuh menjadi negara paling liberal dan kapitalistik di dunia. - Oleh : Bambang Setiaji Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta



Opini Solo Pos 21 April 2010