Sangat tidak pas Satpol PP ditugaskan mengamankan pelaksanaan eksekusi atau terlibat langsung. Apalagi eksekusi tanah yang tak ada urusannya dengan aset pemda.
TRAGEDI Tanjung Priok 14 April lalu sungguh patut kita sesalkan bersama. Tidak perlu ada bentrok massa dengan personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Polri, serta tidak perlu ada korban luka atau meninggal kalau anggota Satpol tidak diperintahkan melakukan tugas melampaui kewenangannya.
Short message system (SMS) Tajudin, salah satu anggota Satpol PP yang meninggal, yang dikirim kepada salah kerabatnya sebelum bertugas pada hari naasnya, sungguh patut dicermati bersama. SMS dia berisi permintaan maaf pada umat Islam kalau harus membongkar makam ulama Mbah Priok karena dia hanya melaksanakan tugas.
Menurut Pasal 136, 137, 138, 139,140, 147, 148, dan 149 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja, Satpol PP merupakan perangkat pemda dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman, ketertiban umum, serta menegakkan perda.
Dalam hal ini, Satpol PP merupakan aparatur yang melaksanakan tugas kepala daerah dengan berbagai kebijakannya dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman, ketertiban umum, menegakkan perda dan keputusan kepala daerah sekaligus membina masyarakat demi tegaknya perda.
Tugas dari kepala daerah inilah yang terkadang melampaui batas. Sangat tidak pas Satpol PP ditugaskan untuk mengamankan pelaksanaan eksekusi atau terlibat langsung dalam eksekusi. Apalagi untuk eksekusi tanah lain yang tidak ada urusannya dengan aset pemda.
Pemberian tugas seperti itu sangat rawan menjadikan posisi Satpol PP terjepit dan kadang harus bentrok dengan masyarakat Lebih ironis kalau tugas diberikan berdasarkan putusan pengadilan, kepentingan kapitalis, sedangkan tentang kebenaran sejarah tanah, perlindungan situs-situs sejarah, dan perlindungan hak-hak masyarakat, dikesampingkan.
Sama halnya ketika Satpol ditugaskan menertibkan pedagang kaki lima (PKL), sedangkan solusi tepat di balik penertibannya tidak ada sehingga memicu terjadinya bentrok. Ironisnya, instansi yang menangani PKL, justru banyak melemparkan tugas penertiban kepada Satpol PP, sedangkan mereka sebenarnya punya petugas penertiban dan ada biaya operasionalnya yang tidak kecil.
Semua itu jelas sangat tidak menguntungkan Satpol PP yang cenderung dijadikan alat yang sering harus berbenturan dengan masyarakat secara langsung. Muncullah kemudian kesan buruk pada Satpol PP dan terkadang memunculkan kebencian.
Oknum yang Nakal Lebih tidak menguntungkan ketika dalam tugas, banyak oknum Satpol PP nakal dan over acting, termasuk main pukul, dan keroyok. Malah ada pula yang memerintahkan melakukan penyerangan, penyerbuan, dan perusakan. Parahnya, ketika anggota Satpol terlibat bentrok dengan massa atau terdesak, pimpinan tidak ada dan tidak ada perintah mundur mencegah benturan.
Lebih parah ketika bentrok, ada perintah yang justru berbalikan dengan perintah sebelumnya. Muncullah kesan Satpol PP diadu dengan massa. Seperti di Tanjung Priok kali ini, atau penertiban PKL di kawasan Johar beberapa tahun lalu.
Kalau sekarang ini ada tragedi berdarah Tanjung Priok II dan jatuh banyak korban di pihak Satpol, tentu keberadaan Satpol PP dan tugas pokok serta fungsinya perlu ditinjau ulang. Minimal soal tugas yang terkait pelaksanaan tugas kepala daerah dan berbagai kebijakannya harus diberi batasan yang jelas.
Batasan ini penting agar tidak ada lagi Satpol PP ditugaskan melakukan kegiatan yang lebih pas sebenarnya menjadi tugas Polri, atau tugas yang berbenturan dengan aturan hukum yang sebenarnya harus lebih dihormati. Termasuk dalam eksekusi tanah, pembongkaran makam dan situs-situs yang dilindungi undang-undang.
Satpol PP dengan semua anggotanya sebagai perangkat pemda bukanlah robot. Jangan rusak hati nurani mereka, jangan rusak akal sehat mereka, dan jangan benturkan mereka dengan masyarakat melalui pemberian tugas yang melampaui batas kewenangannya. Jangan adalagi anggota Satpol PP yang jadi korban perintah, apalagi sampai luka dan meninggal dunia.
Satpol PP sudah saatnya dipimpin oleh mereka yang memang mumpuni, cerdas, tegas, berani, bertanggung jawab, dan tahu yang dibutuhkan anggota. Jangan ada pimpinan Satpol PP hanya bisa ‘’siap’’ tanpa berani menyatakan ‘’tidak’’ ketika diperintahkan untuk mengerahkan anggota melaksanakan tugas yang melampaui kewenangan.
Kalau personel Satpol PP punya risiko besar di tengah tugas yang kadang tidak dapat diterima akal sehat dan nurani, sudah saatnya mereka mendapat perlindungan dan kesejahteraan secara baik. Termasuk asuransi kesehatan, jiwa, dan biaya perawatan serta jaminan hari tua atau bagi keluarga bila risiko buruk sampai terjadi dalam pelaksanaan tugas. (10)
— M Issamsudin, PNS dan peminat masalah hukum, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 21 April 2010