Perjuangan Kartini untuk meningkatkan pendidikan ternyata belum banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup perempuan dan bangsa secara keseluruhan. Padahal, pendidikan merupakan jendela peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dimaksud.
Capaian pendidikan perempuan saat ini hampir seimbang dengan laki-laki. Hal ini antara lain terdeteksi dari rata-rata lama sekolah perempuan yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan laki-laki. Tercatat, rata-rata lama sekolah untuk laki-laki sebesar 7,9 tahun dan perempuan sebesar 7,0 tahun pada 2006 (BPS, 2007). Ini berarti rata-rata lama sekolah untuk laki-laki ekuivalen dengan kelas dua sekolah menengah pertama (SMP), dan perempuan setara dengan kelas satu SMP. Namun, celakanya, capaian pendidikan perempuan itu belum termanfaatkan secara optimal sehingga mengakibatkan potensi mereka hilang, baik secara ekonomi maupun sosial.
Aspek ekonomi
Potential loss dalam kegiatan ekonomi yang paling menonjol adalah dalam soal partisipasi angkatan kerja. Hasil Sakernas Februari 2008, misalnya, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan hanya sebesar 51%, jauh lebih rendah daripada TPAK laki-laki yang besarnya mencapai 83%.
Rendahnya TPAK perempuan bukan berarti perempuan tidak melakukan kegiatan, namun kegiatannya bersifat domestik, yakni mengurus rumah tangga. Sebagian di antaranya memang tidak melakukan kegiatan ekonomi dan domestik atau menganggur. Tercatat, angka pengangguran perempuan sebesar 9,69%, sedangkan laki-laki sebesar 7,59%.
Meski perempuan (juga laki-laki) memperoleh pendidikan yang beragam, yang bekerja terkonsentrasi pada empat sektor utama, yakni pertanian (39%), industri pengolahan (14%), perdagangan (27%), dan jasa kemasyarakatan (14%). Tidak tersebarnya perempuan yang bekerja pada sektor-sektor lain menyebabkan mismacth antara pendidikan dan lapangan pekerjaan, yang juga berpotensi menimbulkan potential loss.
Secara keseluruhan, besarnya potential loss akibat tidak optimalnya kontribusi perempuan dalam kegiatan ekonomi di Tanah Air mencapai sebesar US$2,4 miliar setahun (ESCAP, 2007). Tingginya potential loss itu bukan semata karena kurang aktifnya perempuan dalam kegiatan ekonomi, melainkan karena kecilnya kesempatan untuk berpartisipasi. Untuk melakukan kegiatan ekonomi di sektor perdagangan, misalnya, perempuan kerap terbentur soal permodalan, sedangkan untuk melakukan pinjaman ke bank terkendala soal nonteknis, seperti adanya persetujuan suami.
Aspek sosial
Sementara itu, potential loss dalam aspek sosial yang paling menonjol adalah berkaitan dengan kualitas hidup ibu dan generasi yang dilahirkan. Hal ini termanifestasi dari tingginya angka kematian neonatum (usia satu bulan), bayi dan balita, serta kematian ibu.
Hasil SDKI tahun 2007, misalnya, menunjukkan bahwa angka kematian neonatum masih terbilang tinggi, yaitu sekitar 19 per 1.000 kelahiran hidup. Selanjutnya, angka kematian bayi dan balita masing-masing sebesar 34 dan 44 per 1.000 kelahiran hidup.
Sementara itu, angka kematian ibu (AKI) menurut laporan Unicef terbaru tercatat sebesar 230 per 100 ribu kelahiran hidup. AKI sebesar itu menempatkan Indonesia pada urutan ke-58 tertinggi dari166 negara. Adapun urutan terendah atau ke-166 dicapai Swedia dengan AKI hanya sebesar 2 per 100 ribu kelahiran hidup.
Menurut Mehrotra dan Jolly (2000), aspek pendidikan bagi perempuan seharusnya dapat memperkecil risiko kematian neonatum, bayi, balita, dan ibu. Namun, dengan melihat masih tingginya angka kematian neonatum, bayi, balita, dan ibu itu sekaligus menyiratkan bahwa capaian pendidikan bagi perempuan belum dapat terimplementasi secara optimal.
Meski pemerintah mengklaim telah menyediakan layanan kesehatan secara memadai, secara faktual tidak semua perempuan dapat mengakses layanan yang disediakan. Menurut Bank Dunia (2006), sedikitnya ada empat faktor yang menyebabkan rendahnya aksesibilitas perempuan terhadap layanan kesehatan. Pertama, kemampuan ekonomi yang rendah. Meski pemerintah, misalnya, telah memberikan layanan kesehatan gratis, itu tidak berarti tidak ada biaya yang harus dikeluarkan. Adapun biaya yang harus dikeluarkan adalah minimal biaya transpor ke layanan kesehatan.
Kedua, rendahnya otoritas pengambilan keputusan. Ini terjadi karena tidak semua perempuan dapat pergi ke layanan kesehatan tanpa persetujuan suami. Bahkan, keputusan untuk mendatangi layanan kesehatan terpaksa dibatalkan karena suami, misalnya, lebih percaya pada nonmedis, seperti dukun penolong kelahiran.
Ketiga, fasilitas kesehatan kurang, khususnya di pedalaman, terisolasi, dan terpencil (remote areas). Faktor ketidaktersediaan layanan kesehatan ini tak jarang menyebabkan risiko kematian bagi pasien, karena harus menempuh jarak yang jauh ke pusat layanan kesehatan di kecamatan.
Keempat, terkait faktor nonteknis, seperti kurangnya perhatian petugas kesehatan. Hal ini kerap terjadi karena adanya jarak sosial (social distance) antara pasien dan petugas kesehatan. Maka, dengan melihat kenyataan itu, belum menyambungnya capaian pendidikan perempuan dengan kualitas hidup perempuan dan bangsa, boleh jadi bukan karena sikap perempuan yang tidak ingin berkontribusi, akan tetapi disebabkan kurangnya kesempatan bagi perempuan untuk memberikan kontribusi. Sangat diharapkan dengan peringatan Hari Kartini kali ini segala kendala itu bisa dieliminasi sehingga cita-cita Kartini untuk memajukan pendidikan tidak akan menjadi potensi yang hilang.
Oleh Razali Ritonga, Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah
Opini Media Indonesia 21 April 2010
20 April 2010
» Home »
Media Indonesia » Potential Loss Pendidikan Perempuan
Potential Loss Pendidikan Perempuan
Thank You!