Situasi aparat penegak hukum dan kehakiman hari-hari ini memang dikuakkan sejumlah kasus yang terus menyedot perhatian publik. Beberapa di antaranya, jaksa, hakim, dan anggota Komisi Yudisial (KY) ada yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana suap atau pemerasan.
Kita pun dihebohkan dengan seorang pegawai pajak yang memiliki rekening hingga Rp28 miliar. Lantas polisi dan jaksa disebut-sebut telah merekayasa sangkaan dan tuntutan yang memungkinkan pegawai pajak itu divonis bebas. Kini perilaku Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mulai dikuak Polri. Berbagai kasus korupsi, suap, dan pemerasan yang melibatkan penegak hukum dan kehakiman itu telah menimbulkan desakan reformasi. Sebagian pejabat merespons dengan reformasi birokrasi. Namun, reformasi lembaga peradilan itu menghadapi sejumlah perintangnya.
Jaringan mafia
Telah menjadi dalil bahwa kekuasaan atau otoritas yang dioperasikan sekelompok orang cenderung korup. Mereka yang menggenggam kuasa atau otoritas dapat saja menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Dalam pertaliannya dengan penegak hukum dan kehakiman, mereka berwenang menyelidiki, menyidik, menangkap, menahan, mengadili atau menyidangkan dan menjatuhkan vonis, bahkan melakukan eksekusi hukuman mati. Dan kewenangan itu juga dapat diselewengkan.
Penyalahgunaan wewenang itu, selain menimbulkan korupsi, marak membentuk mafia peradilan. Dengan operasi kewenangan model mafia itulah mereka mengatur isi perkara dan pembagian uang secara ilegal. Praktik itu menjadi kebiasaan dan membentuk jaringan sistemnya sendiri.
Para penegak hukum dan hakim yang terlibat dalam jaringan mafia itu bukan saja mempertahankan apa yang telah berlaku, melainkan juga memperluasnya dengan makelar kasus yang menjadi penghubung pihak-pihak yang terkait dengan proses hukum, baik tuntutan pidana maupun gugatan perdata. Begitu juga dengan dugaan dagang perkara.
Perkara memang telah menumpuk di Mahkamah Agung (MA) karena dituding hakim agung sering keluar negeri. Ketua MA Harifin Tumpa mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir, tunggakan telah meningkat dan hampir mencapai 9.500 perkara sehingga MA terkesan sebagai institusi penumpuk perkara.
Kendati demikian, versi Ketua MA mengemukakan perihal penyebab tunggakan perkara itu. Pertama, karena masuknya perkara setiap tahun mencapai 11.000-13.000 perkara. Kedua, MA juga mengalami kekurangan tenaga hakim agung, padahal mereka harus menyelesaikan rata-rata 1.000 perkara per bulan. Banyaknya perkara atau kasus, terutama yang terkait dengan korupsi atau penggelapan, memang menjadi incaran mafia peradilan yang lebih marak. Selain polisi dan jaksa, KPK mulai disebut dalam soal makelar kasus dan pertemuan dengan konsultan hukum Sri Mulyani. Dengan bertambahnya jaringan mafia, jelas menjadi perintang bagi upaya reformasi peradilan.
Reformasi
Sistem peradilan memang dihadapkan pada jaringan mafia peradilan. Para petugasnya pun menjadi aktor yang melakoni penyalahgunaan wewenang dalam proses hukum. Dengan demikian, gagal menghadirkan proses yang jujur dan berlaku adil.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu menggulirkan salah satu program 100 hari dengan pemberantasan mafia hukum. Pengguliran program itu mengasumsikan bahwa mafia hukum atau peradilan adalah realitas yang tidak terbantahkan. Tangan-tangan mafia telah merusak sistem peradilan.
Reformasi penegak hukum dan peradilan tidak cukup hanya menambah KPK dan komisi negara yang mengawasinya maupun pembenahan birokrasinya. Pertama, harus lebih dulu mulai digerakkan dari pemerintahan. Cita-cita good governance sekadar 'macan kertas' jika tanpa rangkaian tindakan pembersihan bagi mereka yang bertangan kotor.
Kedua, jika benar bertekad berantas korupsi, seharusnya pemerintah dapat merundingkan dengan DPR mengenai pentingnya prinsip pembuktian terbalik bagi mereka yang diduga melakukan korupsi melalui reformasi UU Antikorupsi sehingga proses hukum menjadi lebih gampang. Koruptor tinggal membuktikan dari mana kekayaan didapat, termasuk pembuktian kekayaan hakim dan petugas KPK yang bukan domain pemerintah.
Ketiga, pemerintah yang membawahi kepolisian dan kejaksaan seharusnya dapat menekan keduanya bahwa reformasi birokrasi agar setiap bagiannya berfungsi secara efektif, bukan penggemukan. Dan pengawasan haruslah diperketat bukan saja dalam prosedur dan mekanisme proses penyidikan, melainkan juga peningkatan kekayaan yang dilaporkan.
Keempat, penting memperkuat independensi komisi kepolisian dan kejaksaan dalam mengawasi perilaku polisi dan jaksa. Selain itu, dibutuhkan efektivitas dan transparansi dalam menunaikan tugas-tugas mereka. KY juga begitu. Bukan berarti tak ada upaya internal dalam reformasi. Polri, misalnya, apa pun rintangan yang dihadapi, telah menunjukkan sikap yang lebih transparan dalam mengungkap apa yang terjadi termasuk memecat 365 petugasnya yang dinilai 'nakal' karena dugaan tindak pidana dan pelanggaran lainnya.
Oleh Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Opini Media Indonesia 21 April 2010