Agust Riewanto
Peserta Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Kerja Pansus DPR dalam mengusut skandal bailout Bank Century telah berakhir dalam sidang paripurna DPR dengan menghasilkan rekomendasi berupa: "Seluruh penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab agar diserahkan kepada lembaga penegak hukum yaitu kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPK sesuai kewenangannya.”
Dengan demikian sesungguhnya rekomendasi DPR dalam skandal ini hanyalah merupakan pandangan politik, bukan pandangan hukum dan tidak cukup mengikat bagi presiden untuk menindaklanjutinya. Apalagi melihat kemungkinan komposisi penanggung jawab dari skandal ini melibatkan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati yang merupakan pembantu setia presiden. Bahkan Presiden SBY dalam pidato tanggapannnya atas hasil rekomendasi Pansus DPR Bank Century mengingatkan bahwa keduanya adalah putra-putri terbaik bangsa yang baik dan jujur.
Karena itu keduanya pastilah terlindungi secara politik, karena ketika dua pejabat ini terendus oleh hukum, akan turut menggerogoti legitimasi pemerintahan SBY dan cenderung akan kian memantik buyarnya mitra koalisi partai politik baik di DPR maupun di pemerintah SBY. Bukankah dengan sikap kritis PPP, PKS, Golkar yang merupakan mitra koalisi pememerintah SBY dalam sidang paripurna DPR cukup mengguncang pemerintah SBY.
Dengan rekomendasi DPR yang tidak cukup lugas dalam memerinci prosedur menindaklanjuti secara hukum skandal Century, termasuk modelnya, tenggat waktu yang diperlukan untuk menuntaskannya. Hanya dengan menggunakan bahasa yang mengambang, yakni menyelesaikan secara hukum dan menyerahkan pada presiden. Sulit rasanya rekomendasi DPR ini akan berbuah tuntasnya skandal ini.
Mekanisme hukum ketatanegaraan kita versi UUD 1945 pascaamendemen sangat sulit dalam memakzulkan presiden dan wakil presiden. Model yang diadopsi merupakan kreasi campuran dari berbagai model pemakzulan presiden dalam ketatanegaraan dari berbagai negara. Membuat pemakzulan adalah sesuatu yang nyaris tak mungkin. Karena modelnya yang berbelit dan harus melewati jalur sulit: dari DPR ke MK ke DPR dan ke MPR lagi. Anehnya lagi posisi MK hanyalah pelengkap hukum ketatanegaraan bukan titik utamanya. Sebab pada akhirnya yang memakzulkan presiden dan wakil presiden adalah MPR yang lebih didominasi pertimbangan politik ketimbang hukum.
Di titik ini sebenarnya diperlukan desain sistem pemakzulan presiden dan wakil presiden yang lebih sederhana dan menempatkan hukum sebagai alat utamanya dengan mereposisi MK dalam posisi pemutus kesalahan hukum presiden dan wakil presiden bukan MPR. Cara ini pastilah akan membuat sistem ketatanegaraan kita kian menjadi khas Indonesia, bukan produk impor dari berbagai negara yang terkadang tidak sesuai dengan napas demokrasi lokal di Indonesia.
Rekomendasi Pansus agar skandal ini diusut secara hukum oleh lembaga hukum melalui presiden ini juga memperlihatkan keinginan untuk menyamakan model penegakan hukum dalam kejahatan biasa dan kejahatan politik. Kejahatan biasa sangat mungkin dapat diusut mengunakan paradigma hukum positif karena pelakunya orang biasa pastilah mudah dituntaskan. Sedangkan kejahatan politik karena melibatkan pelakunya berkerah putih (white color crimes) yang cerdas, berakses uang dan kekuasaan, mustahil diusut dengan mengunakan paradigma hukum positif.
Mestinya mengurai benang kejahatan politik juga menggunakan paradigma politik. Dalam sejarah hukum di banyak negara mengusut kejahatan politik tidak menggunakan hukum positif tapi politik. Karena membuktikan kejahatan politik amat sulit, kemudian pilihannya tertuju pada model penyelesaian politik. Lihatlah praktek ketatanegaraan Amerika Serikat dalam mengungkap kejahatan politik yang melibatkan presidennya mereka memilih pendekatan politik.
Jika saja para politisi kita menyadari bahwa mengusut kejahatan politik sangat sulit, pastilah rekomendasinya dalam skandal Bank Century bukan menyerahkan pada aparat hukum, melainkan diselesaikan dengan model politik yang sederhana dan cepat.
Akhirnya rekomendasi DPR dalam skandal Century ini telah terjadi, yang tersisa kini ialah memformulasikan secara sistemik model pengawasan DPR terhadap proses penegakan hukum skandal ini oleh aparat hukum. Tanpa formulasi pengawasan yang tepat dan pertanggungjawabannya yang kuat, dipastikan skandal Century ini hanya akan bernasib seperti skandal pengucuran dana APBN terhadap BLBI beberapa waktu lalu yang berujung pada ketidakjelasan hingga hari ini. n
Opini Lampung Post 22 Maret 2010