PENGLAJO (commuters), yaitu orang yang  setiap hari menempuh perjalanan ulang-alik Kendal-Semarang atau  sebaliknya, dipastikan cukup banyak, meski belum pernah ada angka resmi  hasil survei yang memastikan jumlah mereka. Mereka terdiri atas pegawai  pemerintah, karyawan swasta, pelajar/mahasiswa, dan pekerja sektor  nonformal (pedagang). 
Keberadaan mereka memantik perhatian saat pengoperasionalan Terminal  Mangkang Semarang, 1 Maret 2010, yang memaksa bus-bus antarkota dalam  provinsi (AKDP) “habis” di terminal baru itu. Ketika itu, sebagian awak  bus Sukorejo (Kendal)-Semarang dan Limpung (Batang)-Semarang berunjuk  rasa dengan tidak menjalankan angkutan, dan sebagian lainnya membariskan  bus mereka di sepanjang jalan raya di luar terminal. Dampaknya, ratusan  penumpang yang umumnya penglajo telantar. 
Sehari kemudian Pemkot Semarang mengembalikan bus-bus 
untuk “habis” di Terminal Terboyo, sesuai trayek yang dimiliki. Artinya,  Terminal Mangkang belum jadi batas akhir bagi bus-bus commuter (trayek  Kedungsapur) itu. Keputusan ini kemenangan bagi penglajo. Mengapa?  Karena mereka tak jadi mengeluarkan ongkos lebih banyak, seandainya  harus berganti kendaraan di terminal yang menjadi batas Kendal-Semarang  itu. 
Ongkos Kendal-Semarang (masuk kota) sampai Terboyo adalah Rp 4.000. Dari  Cepiring, Weleri, Sukorejo, dan Limpung lain lagi. Andaikata penglajo  harus berhenti di Terminal Mangkang, ongkos mereka menjadi Rp 3.000.  Sedangkan untuk sampai ke tujuan kerja/belajar di dalam kota dengan  angkot/bus kota, mereka harus mengeluarkan tambahan Rp 3.500. Jika  diakumulasi dalam satu bulan, maka biaya tambahan itu akan menjadi  jumlah yang tidak sedikit dan sangat berarti bagi kantong  mahasiswa/pelajar dan pekerja swasta/sektor nonformal. 
Namun sebetulnya ini bukan soal menang siapa kalah siapa. Semua pihak  yang terlibat dalam persoalan angkutan umum, baik regulator  (pemerintah), operator (pengusaha), maupun awak angkutan, bisa mengingat  kembali Keputusan Bersama Bupati Kendal, Demak, Semarang, dan Grobogan,  serta Wali Kota Semarang dan Salatiga Nomor 30/2005, Nomor  130.1/0975.A, Nomor 130/02646, Nomor 63/2005, Nomor 130.1/A.00016, dan  Nomor 130.1/4382 tentang Kerja Sama Program Pembangunan di Wilayah  Kedungsapur. Keputusan Bersama itu ditandatangani 15 Juni 2005. 
Pada Pasal 2 disebutkan, keputusan bersama ini bertujuan menyatukan dan  mengintegrasikan program-program pembangunan di wilayah Kedungsapur  secara serasi dan selaras, sehingga mampu memberikan manfaat bagi rakyat  dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pada Pasal 3 disebutkan,  program pembangunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 antara lain  mencakup perhubungan dan pariwisata. 
Jadi, jika setelah melalui perundingan yang alot Pemkot Semarang  bersedia “mengalah” dengan tidak memaksakan agar bus-bus commuter  “habis” di Terminal Mangkang, sebetulnya itu merupakan amanat dari  keputusan bersama tersebut. Inilah yang harus diapresiasi. 
Memberi Manfaat
Jika kemudian ada rakyat (baca: penglajo) yang diuntungkan oleh sikap  mengalah Pemkot, inilah makna sesungguhnya dari keberadaan aturan.  Sebuah aturan dibuat tentunya untuk melindungi rakyat. Keputusan bersama  bupati dan wali kota di wilayah Kedungsapur itu pun, bertujuan  memberikan manfaat bagi rakyat dan meningkatkan kualitas hidup  masyarakat.  
Jika bus-bus commuter dipaksa “habis” di Mangkang, maka bukan hanya  penglajo yang terkena dampak kesulitan. Awak angkutan pun terkena  akibatnya. Ini karena ruas antara Kalibanteng dan Mangkang (dalam  perjalanan pulang) bangkitan penumpangnya cukup baik. 
Namun ada satu hal yang perlu mendapat perhatian, jika ketentuan “habis”  di Mangkang itu akan diterapkan. Yaitu aspek kenyamanan dan keselamatan  penumpang, serta ketertiban lalu lintas di jalan raya pada umumnya.  
Saat ini unit bus AKDP Sukorejo-Semarang dan Limpung (Batang)-Semarang  tercatat 148 unit. Dengan jumlah kendaraan sebanyak itu maka intervalnya  adalah tiap 2-3 menit satu bus meluncur keluar terminal. 
Jarak Terminal Mangkang-Terboyo biasa ditempuh dalam waktu satu jam  perjalanan oleh bus-bus commuter itu. Artinya, jika bus-bus tersebut  harus “habis” di Mangkang, para awak angkutan itu akan kehilangan waktu  satu jam. Bisa dibayangkan, bus-bus akan menumpuk di terminal, dan boleh  jadi tiap menit 2-3 bus akan meluncur berbarengan. (10)
— Mastur Syukur, Ketua DPC Organda Kendal dan Penasihat DPD Organda  Jateng 
Wacana Suara Merdeka 22 Maret 2010