Oleh Suwandi Sumartias
Menjelang pelaksanaan Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama pada 22-27 Maret 2010 di Makassar, menjadi momentum teramat penting bagi Komunitas NU, khususnya ulama, tokoh-tokoh cendekiawan, baik yang masih konservatif maupun yang kontemporer di tubuh NU, untuk segera melakukan reevaluasi dan kontemplasi keorganisasian dan dialektikanya dalam praksis politik kenegaraan.
Sejak era reformasi 1998, euforia dan demokratisasi politik begitu menjamur dan menjadikan politik praktis sebagai panglima. Maka, dampak yang paling kentara dan telanjang adalah munculnya multipartai politik yang sangat banyak, baik yang berbasis organisasi kemasyarakatan, agama, budaya, profesi maupun yang sejak awal sebagai parpol. Persaingan parpol untuk meraih jabatan dan kekuasaan dalam birokrasi menjadi indikator proses demokratisasi yang baik, tetapi juga sekaligus memadamkan ormas-ormas yang secara organisasi memosisikan diri untuk tidak masuk domain politik kekuasaan dan lebih fokus pada pemberdayaan sosial ekonomi, pendidikan dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya NU.
Dalam kondisi seperti ini, wibawa ormas yang dihuni oleh tokoh masyarakat informal di luar jalur kekuasaan telah jauh tenggelam dan hilang dengan sendirinya. Para ulama dan cendekiawan sebagai tokoh-tokoh yang masih dianggap bersih dari KKN dan memiliki moralitas serta idealisme semakin hilang pamor dan teladan sosialnya.
Dinamika politik NU
Banyaknya tokoh NU yang tertarik pada politik praktis tentunya berdampak pada potensi perpecahan para nahdliyin. Pada Pilpres 2004, ada pengalaman di mana dengan terganjalnya Gus Dur menjadi capres, melalui SK KPU No. 31/2004 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Kemampuan Rohani dan Jasmani Calon Presiden dan Wakil Presiden, kemudian Gus Dur tidak merestui K.H. Ha-syim Muzadi (Ketua PBNU) untuk cawapres yang ditarik oleh Megawati (PDIP). Posisi Sholahudin Wahid (adik kandung Gus Dur) dari PKB ditarik oleh Wiranto (Golkar). Hal ini akan berakibat serius bagi partai dan organisasi sosial keagamaan yang dipimpin para kiai ini. Artinya, suara PKB dan NU akan terpecah.
Selisih pendapat kiai saat itu muncul ke permukaan, di mana ada berbagai pernyataan dukungan yang berbeda terhadap dua tokoh berbasis NU ( Hasyim Muzadi dan Gus Solah). Fenomena ini, menurut pengamat politik di luar NU, akan berdampak positif. Yakni, adanya peningkatan demokratisasi di kalangan NU yang selama ini terkenal dengan ikatan tradisionalnya di kalangan nahdliyin yang sangat patuh terhadap setiap keputusan para kiainya. Hal ini juga menjadi indikasi akan adanya kelonggaran ikatan antara para santri dan para kiainya, sekaligus menjadi pembelajaran politik yang relatif menuju ke arah kemandirian politik, dan tidak lagi terikat secara kultural ataupun primordial, tetapi lebih banyak berdasarkan rasional.
Ini ujian terbesar bagi elite NU dan nahdliyin. Mereka perlu menyadari bahwa fenomena sosial politik praktis yang erat dengan persaingan kekuasaan birokrasi, terkadang sulit diramalkan dinamikanya, terlalu banyak variabel pengaruh (intervening variable) kepenting-an politik (political interest) yang tentunya sulit diukur secara empiris dan rasional, selain faktor-faktor utama (main factor) yang relatif dapat dikalkulasi. Peran NU sebagai organisasi sosial- keagamaan– dan juga politik dalam konstelasi kenegaraan di Indonesia selalu menarik perhatian pengamat dan ilmuwan.
Pengalaman demi pengalaman yang relatif ”pahit” tampaknya tidak membuat jera tokoh NU. Keputusan kembali ke khittah 1926 ternyata tidak membuat NU benar-benar kembali kepada politik kerakyatan dan kenegaraan. Peluang untuk melakukan politisasi NU masih terbuka, karena khittah 1926 tidak tegas mengatur hubungan antara organisasi dan pengurus. Sebagai organisasi, NU harus netral. Namun sebagai individu, pengurus NU bisa berpolitik praktis. Aturan menyebutkan, pengurus NU yang rangkap jabatan dalam parpol harus memilih salah satu. Namun, aturan ini tidak bisa diterapkan untuk kasus selain partai politik.
Dari dari perspektif komunikasi politik, muncul persoalan bagaimana para elite NU mampu memainkan perannya kembali sesuai dengan khittah 1926 dan atau menjadi bagian dari partai politik PKB? Mampukah NU tak tergoda lagi dalam menyikapi realitas politik kekuasaan saat ini, yang penuh dengan intrik-intrik dan kepentingan status quo? Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan terjadi konflik internal, seperti yang diperingatkan K.H. Sahal Mahfudh.
Rumadi (2004) mengatakan, peringatan keras yang dilontarkannya memberi koreksi terhadap gejala demoralisasi politik di lingkungan NU. Hal ini menunjukkan ada gelombang besar yang mengancam NU, yang didorong oleh perubahan sistem politik berupa pemilihan presiden secara langsung. Berikutnya adalah adanya mobilisasi kiai-kiai NU dan pondok pesantren untuk memberi dukungan kepada calon presiden tetentu. Tentunya fenomena politik ini merupakan ujian berat bagi NU. Di satu sisi NU sudah menetapkan komitmennya sebagai organisasi sosial keagamaan, tetapi di sisi lain NU sebagai institusi telah disandera sebagai modal politik praktis oleh sebagian para elitenya.
Salahuddin Wahid dalam Zein ( 2004) mengungkapkan bahwa proses sekularisasi di kalangan muda NU juga berjalan, meskipun perlahan tetapi pasti, antara lain Masdar F. Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, Abmad Baso, Zuhairi Miswrawi, Rumadi, dan beberapa pemikir muda lainnya, merupakan indikasi kuat dari kecenderungan tersebut. Untuk jangka panjang, kekuatan mereka akan semakin banyak. Generasi muda NU memang harus terbuka terhadap perkembangan pemikiran yang makin tinggi intensitasnya dan juga makin cepat.
Persoalannya sekarang, apakah akan terjadi konflik terbuka di antara dua kelompok yang masih memahami ahlussunnah wal jama’ah dengan penafsiran zaman dulu atau para tokoh muda NU yang leih akomodatif dan pragmatis pada lingkaran kekuasaan? Semoga Muktamar ke -32 NU menjadi arena pencerahan untuk perubahan yang signifikan bagi berbagai persoalan yang sedang dihadapi negara dan rakyatnya.***
Penulis, staf pengajar Komunikasi Politik di Fikom Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 22 Maret 2010