Hari ini ujian nasional (UN) untuk siswa sekolah menengah atas (SMA) dimulai lagi. Seminggu sesudah ini baru dilaksanakan UN untuk siswa sekolah menengah pertama (SMP). Apa yang ada di benak kita soal UN? Seperti tahun-tahun sebelumnya, masalah UN selalu dipenuhi hiruk pikuk pro dan kontra. Sejak Mendiknas M Nuh memutuskan untuk meneruskan tradisi yang telah dilakukan oleh Mendiknas sebelumnya, UN tetap saja pada posisi dilematis. Sebagian praktisi dan pengamat pendidikan menilai kebijakan ini keliru, tetapi untuk sebagian lainnya adalah perlu. Antara keliru dan perlu seperti tak ada jalan tengah.
Keluarnya keputusan Mahkamah Agung terkait dengan pelaksanaan ujian nasional menambah jelas posisi antara keliru dan perlu. Pemerintah, seperti biasa bertahan habis-habisan membela kebijakan UN yang secara program sudah baku dan dana untuk itu telah tersedia. Meskipun pihak Kementerian Pendidikan Nasional telah melakukan peninjauan kembali terhadap keputusan MA tersebut, dapat dipastikan sekolah akan tetap memiliki posisi yang sangat dilematis. Alasannya sangat sederhana, yaitu jika sekolah menolak UN, artinya secara internal mereka harus mempersiapkan mekanisme evaluasi yang memadai sehingga anak-anak tetap akan memperoleh ijazah akhir kelulusan. Tetapi jika menerima UN, mereka juga harus bersiap dengan tekanan soal target kelulusan yang biasanya dipatok pihak dinas pendidikan masing-masing.
Posisi sekolah, dalam bahasa Berube (2004) terjebak antara belum terpenuhinya unsur kesetaraan finansial dan kemandirian kapasitas yang dibalut oleh kesewenang-wenangan aturan yang dibuat oleh pemerintah. Meskipun demikian kita perlu mengapresiasi Mendiknas yang mengubah skenario UN kali ini dengan memasukkan ujian ulangan bagi mereka yang gagal di ujian pertama. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada para siswa untuk kembali belajar agar lulus di ujian kedua. Selain itu Mendiknas juga rajin mengampanyekan agar UN dilakukan dengan jujur, dan meminta semua aparat kementerian pendidikan di tingkat kabupaten dan provinsi untuk menandatangani pakta integritas kejujuran tersebut.
Pakta integritas kejujuran ini, bagi sebagian orang, membenarkan indikasi adanya ketidakjujuran dalam praktik UN. Tetapi yang paling mendasar dari itu semua adalah, mengapa tuntutan jujur itu hanya ditimpakan kepada birokrasi saja? Mestinya Mendiknas mengingatkan bahwa praktik kejujuran itu harus berlangsung dalam proses pembelajaran, bukan dalam proses ujian semata. Kejujuran dalam proses pembelajaran bermakna bahwa guru, kepala sekolah, masyarakat, dan para pemangku kepentingan lainnya peduli pada bakat dan minat siswa yang berbeda-beda. Karena itu proses pembelajaran yang jujur sesungguhnya bermuara pada pemahaman tentang pentingnya memberikan kepercayaan kepada guru dan siswa untuk menilai dan mengevaluasi capaian dan kebutuhan masing-masing individu siswa.
Kejujuran dalam proses pembelajaran harus menjadi rangkaian perubahan sikap manajemen sekolah untuk merumuskan sendiri visi dan misi sekolah yang sesuai dengan kesadaran lingkungan dan tujuan masyarakat sekitarnya. Dalam banyak literatur tentang pentingnya pengujian dan standardized test seperti UN, Thompson (2001) mengingatkan bahwa visi yang paling mendasar adalah berkaitan dengan equity; baik dalam terminologi kesempatan (opportunity) maupun hasil (outcomes). Problemnya dengan UN kita adalah bahwa pemerintah belum secara maksimal menganalisis dan meriset dengan baik aspek equity tersebut dalam konteks menyiapkan standar minimum yang harus dipenuhi.
Hak dasar ini menjadi penting dalam rangka memperbaiki logika yuridis pemerintah dalam menerjemahkan 'pencapaian standar nasional' pendidikan kita. Dalam bahasa Elmore and Fuhrman (2001), pemerintah harus secara teliti dan bijaksana memberikan advokasi dan pendampingan secara benar kepada seluruh sekolah untuk memperbaiki sendiri performansi mereka secara bertahap dan bertanggung jawab, untuk dan dalam rangka menanamkan kejujuran dalam proses belajar-mengajar.
Untuk saat ini, marilah kita awasi sekaligus kritisi perilaku birokrasi pendidikan dan manajemen sekolah kita ketika UN berlangsung. Di beberapa daerah yang Edu kunjungi dalam sebulan terakhir ini, birokrasi pendidikan kita setuju jika proses UN harus jujur. Namun, beberapa dinas pendidikan secara 'nakal' menerjemahkan proses UN secara jujur cukup satu putaran saja, persis seperti proses kampanye pemilihan presiden beberapa waktu lalu. Artinya, jika di UN pertama hasilnya kurang memuaskan bagi siswa-siswi di daerahnya, mereka akan 'menurunkan' tensi jujur tersebut pada UN kedua. Walhasil? Semoga jujur satu putaran tidak akan pernah terjadi.
Ahmad Baedowi
Opini Media Indonesia 22 Maret 2010