Kepedulian ini beralasan kuat. Pada SEA Games 2009 Indonesia kalah dari tim lemah sekelas Laos. Jika kita runut ke belakang, sejak tahun 2004 boleh dibilang sebagai babakan terkelam sejarah sepak bola Indonesia. Tim nasional Indonesia tak mampu menyuguhkan kemenangan. Kalaupun ada, itu berupa kemenangan tak terhormat dalam Piala Kemerdekaan 2008 menyusul terjadinya walk out tim Libya dalam partai final akibat insiden pemukulan oleh salah satu ofisial tim Indonesia terhadap pelatih Libya. Padahal, saat itu posisi Libya unggul 1-0.
Tim nasional hanya mampu meneruskan tradisi mengikuti Piala Asia pada 2000, 2004, dan 2007. Untuk yang terakhir itu karena kita menjadi tuan rumah. Dalam tiga kali Piala Asia ini pun Indonesia rontok. Indonesia baru saja gagal melanjutkan tradisi berlaga di Piala Asia pada 2011 setelah gagal dan menjadi juru kunci di babak penyisihan. Kabar yang paling terkini, KONI tidak akan mengirimkan tim nasional ke Asian Games 2010 di China.
Latar belakang terpuruknya prestasi tim nasional ini yang melahirkan gagasan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN). Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut menyatakan dukungannya kepada para wartawan via PWI Pusat, KONI, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk menyelenggarakan KSN di Malang.
Di sinilah spirit dari penyelenggaraan KSN itu yang mesti kita hormati dan dukung sepenuhnya. Pada hematnya, kongres merupakan inisiatif masyarakat sepak bola nasional, bukan monopoli PSSI belaka. Karena itu, saya mendorong keterlibatan 108 pemegang hak suara di PSSI yang terdiri dari 33 pengurus di tingkat provinsi, 18 klub Liga Super, 16 klub Divisi Utama, 14 klub Divisi 1, 12 klub Divisi 2, dan 10 klub Divisi 3 untuk hadir di KSN. Semestinya, 103 suara ini bisa menjadi 108 jumlahnya jika 5 asosiasi yang masing-masing memiliki hak satu suara sudah terbentuk, yakni asosiasi pelatih, wasit, pemain, sepak bola wanita, dan futsal.
Nah, pertanyaannya, apa yang akan dihasilkan di Malang nanti? Kalau KSN hanya melahirkan rekomendasi perbaikan percuma saja. Artinya, insan sepak bola belum siap untuk thinking out of the box. Jangan sampai KSN di Malang berakhir sebagai ”macan kertas” belaka. Terlalu mahal dan besar pertaruhannya jika kongres sebesar itu hanya menghasilkan rekomendasi.
Mesti ada tindakan riil: bongkar kepengurusan PSSI. Perbaiki segera program pembinaan dan perancangan sistem pendanaan yang lebih akuntabel dan transparan. KSN jangan tenggelam dalam polemik bersifat personal yang meruncing pada ganti atau tidak Ketua Umum PSSI Nurdin Halid, tetapi lebih pada bongkar total kepengurusan PSSI. Terpuruknya prestasi sepak bola merupakan kebobrokan sistemik dalam tubuh organisasi, pembinaan, dan pola pendanaan.
Karena itu, saya gugah kesadaran semua peserta KSN agar berani mengikrarkan diri untuk melakukan perubahan besar itu. Bila menilik statuta PSSI, demikian pula dengan statuta FIFA, proses perombakan kepengurusan ini bukan barang tabu atau haram. Sepak bola Indonesia adalah milik semua pemangku kepentingan, bukan personel dalam kepengurusan PSSI saja.
Malah statuta PSSI di Pasal 10 menyatakan, jika dua pertiga anggota mengusulkan, maka dapat berlangsung musyawarah nasional luar biasa (munaslub)/kongres luar biasa (KLB). Ini artinya, KSN di Malang bisa sekalian menjadi munaslub/ KLB untuk mengagendakan perombakan kepengurusan PSSI.
Pada sistem pembinaan, Indonesia mesti menggalakkan kompetisi sepak bola secara masif sejak usia dini dan berkesinambungan, dan tak lepas dari peran Departemen Pendidikan Nasional karena para atletnya adalah pelajar. Koordinasi yang intensif antara PSSI, Depdiknas, KONI, dan Menpora adalah kunci penting yang memungkinkan para atlet sepak bola memperoleh porsi latihan dan mengikuti kompetisi sembari terus menyelesaikan sekolah.
Di sisi pendanaan, gagasan untuk pembentukan perseroan terbatas, bagi klub-klub peserta Liga Utama, perlu dipertajam lagi.
Acungan jempol patut diberikan kepada Persib dan Erick Tohir yang mentransformasi klub warga Bandung ini menjadi badan usaha sebagai ikhtiar untuk pola pendanaan yang lebih transparan. Pendanaan yang transparan ini akan mendorong terbentuknya lingkungan kerja yang lebih positif bagi para atlet dan klub sehingga mereka bisa lebih berprestasi.
Tiga agenda besar ini—organisasi, pembinaan, dan pendanaan—hanya akan tercapai dengan prasyarat terjadinya perubahan menyeluruh terhadap kepengurusan PSSI. Peserta KSN mesti menjadikan hajat nasional di Malang sebagai momentum puncak berlangsungnya perubahan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Selamatkan Sepak Bola Indonesia!
Opini Kompas 22 Maret 2010