Evaluasi, dalam dunia kependidikan, adalah sebuah hal yang penting. Namun, kita tampaknya memang masih belum satu kata menyikapi ujian nasional (UN) yang kontroversial, terutama ketika menjadikannya sebagai tolok ukur kelulusan siswa.
Masih terlalu banyak yang harus kita benahi untuk menjadikan UN sebagai patok duga (benchmark) pencapaian rangkaian proses pembelajaran di negeri ini. Mulai dari disparitas kualitas proses pembelajaran, perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, hingga soal kurikulum dan kebijakan pendidikan yang terlalu sering berganti.
Sebagai seorang pendidik, sering kali empati (untuk tidak menyebut sebagai iba dan kasihan) kepada anak didik itu muncul. Secara psikologis, jutaan siswa itu jelas sangat tertekan menghadapi pertaruhan ”hidup-mati” kelulusan.
Bersama pihak sekolah, mereka ”mati-matian” merancang strategi menghadapi UN. Mulai dari mengedril pelajaran yang di-UN-kan, menggelar istigasah, sampai membentuk ”tim siluman”.
Disintegritas yang menentang aspek etis-normatif pun sah dilakukan dengan satu tujuan, yaitu sukses UN. Sangat memprihatinkan karena seakan orientasi akhir sebuah proses pembelajaran di sekolah adalah kelulusan dalam UN.
Angka kelulusan adalah pertaruhan bagi prestise sebuah sekolah. Lalu, soal pemerolehan ilmu pengetahuan sebagai bekal kehidupan siswa? Cukup satu kata. Lupakan!
Data Pemantau Independen dan Pengawas Nasional sangat mencengangkan. Daerah yang masuk ”kelompok putih”, bersih kecurangan UN hanya mencapai 17 persen.
Daerah abu-abu, dengan persentase kecurangan UN, antara 21 dan 90 persen, mencapai 42 persen, sementara daerah yang paling tinggi terjadi kecurangan UN atau disebut ”kelompok hitam” mencapai 39,99 persen. Persentase kecurangan UN di daerah ini mencapai 90-100 persen.
Angka temuan ini jelas sangat memalukan dan memilukan bagi dunia pendidikan kita. Pemerintah lantas berinisiatif mengajukan sebuah fakta kejujuran yang ditandatangani BSNP, MRI, dan 33 kepala dinas pendidikan dengan disaksikan Mendiknas, sebagai sebuah kesadaran kolektif agar UN berjalan dengan baik.
Di satu sisi, kita bisa melihatnya sebagai sebuah kemajuan berwujud komitmen untuk menempatkan UN. Di sisi yang lain, fakta kejujuran sesungguhnya adalah sebuah ironi yang memilukan bagi wajah pendidikan negeri ini. Bukankah kejujuran semestinya menjadi roh yang ada dalam dada segenap insan kependidikan?
Kejujuran, dalam perspektif penulis, sesungguhnya adalah bagian yang tak dapat terpisahkan, bahkan menjiwai proses pendidikan itu sendiri. Integritas tidak semestinya di-”fakta-fakta”-kan. Apalagi hanya sebatas pada pelaksanaan UN. Artinya, tidak salah apabila akan muncul stigma, ”Di luar UN, boleh dong kalo enggak jujur, toh enggak ada faktanya”.
Mencermati potret buram pendidikan kita, sungguh keprihatinan itu begitu mendalam. Kita masih perlu berproses untuk lebih bijak menggarap dunia pendidikan agar segera menjadi bangsa yang lebih beradab, dan cerdas untuk lepas dari segala keterpurukan.
Sesekali, penulis memimpikan terwujudnya apa yang disebut sebagai sekolah positif (positive schooling) untuk memetamorfosis negeri ini. Sekolah positif (Snyder dan Lopez, 2007) adalah sebuah pendekatan dalam dunia pendidikan yang menekankan pada pentingnya peran seluruh komunitas dalam melakukan pembelajaran bagi siswa. Benjamin Franklin, John Stuart Mill, Herbert Spencer, dan John Dawey adalah tokoh yang dipandang sebagai penata jalan bagi pendekatan ini.
Sekolah positif digambarkan dalam metafora bangunan rumah dua lantai yang berloteng. Kepedulian (care), rasa saling percaya (trust), dan penghargaan terhadap perbedaan (respect for diversity), ditempatkan sebagai fondasi bagi proses pendidikan.
Tanpa tiga komponen ini, bangunan sekolah itu akan mudah runtuh karena fondasi yang rapuh. Sebaliknya, semakin kuat ia tertanam dalam ruang batin semua pelaku pendidikan, kita bisa berharap anak didik mendapatkan lingkungan ideal untuk bertumbuh (flourishing).
Lantai pertama diisi dengan serangkaian rencana (plans) dan motivasi. Pembelajaran memerlukan proses perencanaan dalam tahapan-tahapan penguasaan (mastery) yang baik sehingga bisa membangun motivasi anak didik untuk tidak pernah berhenti menjadi belajar.
Rencana dan motivasi akan saling berinteraksi dengan komponen di lantai ke dua, yakni tujuan pembelajaran. Tujuan yang menantang dan sesuai dengan kebutuhan siswa diyakini akan melahirkan pembelajaran yang produktif.
Adapun harapan berada di loteng (attic) dari bangunan sekolah positif. Jika motivasi, rencana, dan tujuan pembelajaran telah diaplikasikan, muncul spirit yang akan meningkatkan daya juang untuk mencapai sebuah pengharapan yang tidak bisa terhalangi oleh apa pun.
Terakhir, rumah indah ini dinaungi dengan atap berupa kontribusi kemasyarakatan. Siswa akan memahami bahwa mereka adalah bagian dari skema sosial masyarakat di mana mereka harus membagikan (share) pengetahuan dan pencerahan (insight) yang telah mereka dapatkan.
Dalam konteks Indonesia yang plural dan multikultur, kita sungguh membutuhkan sekolah positif yang berfondasi rasa saling percaya, kepedulian, dan menghargai perbedaan. Pendidikan yang memanusiakan, bukan mendekonstruksi makna kemanusiaan karena sesungguhnya pendidikan adalah suluh bagi peradaban.
Opini Kompas 22 Maret 2010