Setelah bergulirnya era reformasi dan otda, muncul berbagai gugatan terhadap sistem pengelolaan sumber air yang ujung-ujungnya adalah tuntutan pembagian fulus
TANGGAL 22 Maret ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Air Sedunia melalui resolusi nomor 147. Penetapan tersebut merupakan tindak lanjut dari penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, tahun 1992. Hari Air Sedunia kali pertama diperingati oleh negara-negara anggota PBB pada 1993.
Tema internasional Peringatan Ke-17 Hari Air Sedunia pada tahun ini yang ditetapkan PBB adalah Clean Water for a Healthy World. Tema ini diusung dengan tujuan utama adalah meningkatkan pemahaman dunia tentang arti penting kualitas dan kuantitas air bagi kehidupan. Diharapkan dari pemahaman tersebut diperoleh dukungan secara politis yang memadai.
Dalam perspektif etika lingkungan, air dengan segala manfaatnya bagi kehidupan mulai dari tingkat molekuler hingga ekosistem, terlalu rendah jika hanya dilihat dari nilai instrumentalnya (instrumental value). Karena itu Komite PBB untuk Hak-hak Sosial Budaya dan Ekonomi menegaskan bahwa air harus diperlakukan sebagai harta sosial budaya bukan komoditas ekonomi.
Saat ini kondisi air bersih dunia benar-benar di ambang krisis. Saat ini diprediksi tidak kurang dari 1,1 miliar penduduk dunia mengalami kesulitan air bersih. Sementara itu, setiap tahun dunia memproduksi 1.500 kilometer kubik limbah cair yang dibuang tanpa perlakuan memadai (http://www.worldwaterday.org/).
Hal itu disebabkan karena kebutuhan air bersih dunia meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun akibat pertambahan jumlah penduduk dan pesatnya perkembangan aktivitas industri. Implikasinya saat ini 1 dari 5 penduduk dunia tidak mempunyai akses pada air bersih.
Sumber-sumber air makin terkuras, pencemaran air karena kegiatan manusia terjadi di mana-mana. Proyek-proyek besar pembangkit listrik tenaga air, polusi industri dan perkotaan, penggundulan hutan, penggunaan pestisida yang kurang bijak, pembuangan limbah, dan aktivitas pertambangan, semuanya mempunyai andil dalam menciptakan kondisi krisis air (bersih) dunia.
Jumlah total air di planet Bumi sekitar 1,4 miliar kilometer kubik. Air tawar yang tersedia hanya 2,6%-nya atau 36 juta kilometer kubik. Tak banyak volume air tawar yang dapat dinikmati manusia dari siklus air yang berlangsung cepat, yaitu hanya sekitar 0,77% dari total air tawar di alam, atau hanya 11 juta kilometer kubik (Maude Barlow and Tony Clarke; Blue Gold, 2005 : hal 4).
Jika dihitung secara matematis, dalam keadaan normal setiap orang membutuhkan air untuk keperluan minum, masak, mencuci, dan sanitasi tidak kurang dari 50 liter per hari. Saat ini air masih dipandang sebagai sumber daya alam yang tidak terbatas sehingga perilaku boros air masih mewarnai kehidupan. Jika paradigma ini tidak berubah, dikhawatirkan 5miliar penduduk dunia akan tinggal di kawasan yang tidak punya akses terhadap air bersih pada 2025.
Potensi Konflik Namun di sisi lain saat ini juga terjadi ketimpangan luar biasa dalam hal konsumsi air bersih antara warga negara kaya dan negara miskin. Warga AS rata-rata menggunakan 250-300 liter air tiap hari, namun warga miskin di Somalia hanya dapat mengakses 9 liter per hari. Untuk Indonesia, pengelolaan sumber air sekarang dan ke depan menyimpan potensi konflik kepentingan sangat besar. Apalagi pada era otonomi daerah (otda) seperti sekarang ini, konflik pengelolaan sumber air antarpemda atau antarkelompok masyarakat makin sering kita dengar.
Ke depan semakin banyak orang berpikiran pragmatis dalam menyikapi nuansa otda. Setelah bergulirnya era reformasi dan otda, muncul berbagai gugatan terhadap sistem pengelolaan sumber air di berbagai daerah yang ujung-ujungnya adalah tuntutan pembagian fulus.
Pengelolaan sumber daya air di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 4 dan 5 juga menyebutkan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Konflik pengelolaan air yang telah penulis paparkan hanyalah satu contoh kecil betapa krusialnya managemen air. Meskipun UU sudah mengatur dengan jelas, pelaksanaannya tidaklah sesederhana seperti yang dibayangkan.
Semua ini menjadi peringatan bagi bagi daerah-daerah yang secara alami tidak memiliki sumber daya air di wilayah sendiri. Kota-kota di Jawa Tengah seperti Semarang, Pekalongan, Tegal, dan Solo, harus menyikapi perkembangan ini secara bijak. Kota-kota tersebut, notabene tidak memiliki sumber daya air di wilayah sendiri, sehingga akses air bersih bagi penduduknya harus diambilkan dari wilayah kabupaten tetangga.
Bagi daerah-daerah yang kaya sumber daya air bukan berarti terlepas dari konflik masalah air. Pengelolaan sumber daya air tetap menyimpan potensi konflik kepentingan, untuk sektor pertanian, air bersih/air minum, dan untuk keperluan industri.
Semakin sering kita dengar berita tentang konflik antara petani satu dan lainnya dalam pembagian air. Bahkan konflik antara petani dan PDAM yang mengambil sebagian debit air untuk pemenuhan air bersih penduduk perkotaan. Para petani menuding PDAM sebagai penyebab berkurangnya indeks pertanaman (cropping indexs) atau bahkan menyebabkan puso karena kekeringan. (10)
Wacana Suara Merdeka 22 Maret 2010