19 Maret 2010

» Home » Kompas » Obama dan Krisis Legitimasi AS

Obama dan Krisis Legitimasi AS

Kunjungan Presiden Barrack Obama ke Asia Pasifik, termasuk ke Indonesia, akhirnya ditunda hingga Juni 2010. Gedung Putih telah melakukan pemberitahuan secara langsung kepada Istana Negara pada Jumat (19/3/2010) dini hari. Penundaan ini menjadi bukti otentik atas kebimbangan Obama terhadap stabilitas politik dalam negeri Amerika Serikat.
Obama yang tengah mengajukan RUU mengenai reformasi kesehatan menghadapi tekanan penolakan yang kuat dari parlemen. Namun, yang paling mengkhawatirkan baginya adalah rangkaian pemilu sela yang akan berpuncak pada November 2010. Keputusan terhadap diterima atau tidaknya RUU reformasi kesehatan pada akhir pekan ketiga Maret ini nantinya akan mengarahkan preferensi politik pada pemilu sela. Sebagian besar elite saat ini berkata ”tidak” pada reformasi kesehatan. Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan beberapa anggota parlemen dari Partai Republik, diberlakukannya UU ini akan menyerap satu perenam dari seluruh perekonomian AS (Newsweek, 11/3/2010).


Memang perdebatan ini kembali pada persoalan ideologis. Neo-konservatisme liberal dalam sistem ekonomi AS tidak siap menerima gagasan neo-sosialistik ala Obama. Stimulus fiskal yang diangkat Obama dianggap kurang tepat seiring dengan indikator ekonomi AS yang tak kunjung membaik, khususnya dilihat dari tingkat pengangguran yang pada Februari 2010 sebesar 9,7 persen, hanya menurun 0,4 persen dari angka tertinggi pada Oktober 2009 (Bureau of Labor Statistics, 2010). Normalnya, angka pengangguran di AS stabil di posisi 4 persen-5 persen.
Pascakrisis finansial
Krisis finansial global 2008 memang menjadi sumber deformasi ekonomi yang paling mutakhir dalam dekade terakhir, termasuk krisis legitimasi yang dihadapi Obama kali ini. Perdebatan yang muncul kembali pada pencarian format sistem ekonomi yang terbaik dalam tataran internasional. Memang, ketidakpastian sistem ekonomi pascakrisis 2008 belum terjawab oleh para ilmuwan sejauh ini.
Dengan tren kebijakan untuk mendorong stimulus fiskal dan pengetatan yang tidak strategis (profligation), beberapa negara, seperti Spanyol, Portugal, Yunani, termasuk Amerika Serikat, dalam satu dekade ke depan diprediksi tidak akan mampu mengurangi defisit anggarannya hingga kurang dari 3 persen dari PDB. Kekhawatiran ini disuarakan secara lantang oleh para politisi Partai Republik. Persentase utang AS bahkan diperkirakan meningkat dengan pengesahan RUU reformasi kesehatan ini.
AS sendiri tidak boleh terlalu lama berkutat di dalam negeri karena krisis politik Obama akan segera mengarah pada krisis legitimasi AS di mata dunia. Dalam konstelasi ekonomi-politik internasional, keadaan ini telah memunculkan dilema bagi AS. Saat di mana terjadi penurunan kinerja diplomasi AS, Presiden Obama justru dililit persoalan politik dalam negeri yang oleh karenanya membatasi manuver politik AS di tataran global.
Urgensi diplomasi AS
Dalam kacamata internasional, Robert Gilpin, dalam bukunya The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century (2000) mencermati bahwa politik internasional memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk mekanisme perekonomian internasional. Dari konstelasi ekonomi yang ada, jika AS tidak segera aktif kembali dalam proses politik internasional, Asia akan siap menjadi kekuatan hegemonik selanjutnya menggantikan AS.
Saat ini, nilai kapitalisasi pasar saham di Asia mencapai 34 persen dari seluruh nilai pasar saham di dunia, melampaui nilai yang berada di Amerika Serikat (33 persen) dan Eropa (27 persen). Dua pertiga cadangan devisa yang terdapat di dunia juga tersimpan di bank-bank sentral di Asia. Dalam perhitungan PPP (purchasing-power parity), Asia merupakan perekonomian terbesar di dunia (34 persen). Persentase ini melampaui jumlah gabungan antara AS dan Eropa.
Perdagangan ritel di Asia juga terhitung sepertiga dari penjualan ritel di seluruh dunia. Penjualan mobil, misalnya, mencapai 35 persen dari seluruh penjualan yang tercatat di dunia. Telepon seluler mencapai 43 persen dan energi mencapai 35 persen. Pertumbuhan konsumsi energi di kawasan ini juga meningkat dua pertiga dari konsumsi tahun 2000 (The Economist, 25/2/2010).
Belakangan, AS juga tidak mampu melakukan lobi terhadap Pemerintah China untuk segera mendevaluasi nilai tukar mata uang yuan terhadap dollar AS. Nilai patok yuan justru berada pada level yang paling rendah (49 persen) dari nilai yang seharusnya terjadi atas suplai dan permintaan transaksi keuangan AS-China. Nilai tukar keduanya merupakan yang paling rendah di antara 23 mata uang utama di negara lainnya.
Sebelumnya, awal tahun ini, AS terus melakukan tekanan dalam format baru politik pembendungan (soft-containment policy) terhadap China. Penjualan persenjataan ke Taiwan yang belum lama dibicarakan merupakan serial pengepungan terhadap China setelah sebelumnya AS juga merangkul Dalai Lama.
Niatan AS untuk merangkul lebih dekat Indonesia dan Australia juga termasuk menjadi bagian dari kebijakan ini. Kerja sama militer akan dibicarakan dalam kunjungan AS ke Asia Pasifik untuk menghadirkan stabilitas politik di kawasan, termasuk meninjau realisasi penambahan anggaran militer sebesar 500 juta dollar AS di Guam. AS paham bahwa dengan disahkannya ACFTA, China akan lebih leluasa membangun jejaring politik regionalnya di Asia Tenggara.
Namun, langkah ini kembali tertunda karena RUU reformasi kesehatan. Krisis politik di AS harus segera dijawab oleh Obama dan para elite di Senat dan Konggres. Terlalu besar risiko politik internasional yang akan dibayar oleh AS dalam jangka panjang apabila krisis legitimasi Obama kali ini tidak kunjung dapat diselesaikan.
Pamungkas Ayudhaning Dewanto Editor Global, Jurnal Politik Internasional, Departemen HI, FISIP UI

Opini Kompas 20 Maret 2010