Kemudian merebak desas-desus tentang pertemuan ”rahasia” itu sehingga ada wartawan yang meminta konfirmasi langsung dari Jusuf Kalla (JK). Akan tetapi, JK membantah adanya pertemuan empat mata itu. Soalnya, ada dua orang lagi yang hadir dalam pertemuan itu. Jadi, itu pertemuan delapan mata, bukan pertemuan empat mata.
Secara teknis, JK tidak berbohong. Namun, kalau ditilik dari intensinya, ia mengecoh wartawan itu. JK tahu maksud pertanyaan wartawan itu, tetapi ia tak mau menimbulkan kehebohan. Maka, ia memberikan kesaksian dusta putih (white lie). Dapat juga dikatakan bahwa JK melakukan dosa omisi. He committed the sin of omission. Tidak semua yang diketahuinya tentang pertemuan itu diungkapkan kepada si penanya. Ketika ditanya oleh Rossy bagaimana ia bisa dengan cepat memberi jawaban seperti itu, jawabnya: ”Cuma akal sehat. Logika.”
Rupanya akal sehat atau logika pula yang membuat JK langsung menyimpulkan bahwa skandal Century adalah perampokan. Karena BI ragu-ragu, ia lalu memerintahkan kepada kepolisian untuk menangkap Tantular. JK berpikir cepat dan bertindak cepat. Belakangan memang ada politikus pemula yang juga ”pokrol” mencela tindakan JK itu. Kata politikus itu, akibat campur tangan JK dalam penegakan hukum, biang kerok skandal itu hanya diganjar hukuman ringan, yakni empat tahun. Namun, soal berat ringannya hukuman, itu, kan, urusan penyidik, penuntut, dan hakim! Seandainya tidak ada perintah penangkapan dari Wapres yang notabene sedang berfungsi sebagai acting president, mungkin Tantular sudah keburu kabur ke luar negeri!
Penafsiran arti ”empat mata” secara harfiah, tanpa mempertimbangkan konotasinya, itu seperti kebiasaan ”sedulur sikep”, warga masyarakat Samin di daerah Kendeng. Pada masa Orba, dulu, menjelang musim tanam, pupuk menghilang di Blora. Penyalurnya mengatakan bahwa ia tidak mempunyai persediaan pupuk. Maka, petani bersama-sama masuk ke gudang milik penyalur itu dan mengambili bersak-sak pupuk yang dibutuhkannya.
Menurut para petani Samin itu, yang mereka lakukan bukan perampokan atau pencurian. Karena pemilik gudang mengatakan tidak mempunyai pupuk, maka pupuk yang ditimbun di sana bukan milik siapa-siapa. Jadi, boleh diambil para petani, wong mereka memang membutuhkannya. Itulah logika, keharfiahan, dan kejujuran gaya Samin. Kata-kata mereka denotatif dan apa adanya, tidak disamarkan dengan konotasi.
Gottlob Frege, logikawan anggota Wiener Kreis di Austria, juga seperti ”sedulur sikep”. Pernyataan-pernyataannya harfiah, denotatif, dan konsisten. Waktu logikawan Inggris, Bertrand Russell, berkunjung ke rumahnya, ia mendapati lelaki setengah baya itu sedang bekerja di kebun mawarnya. Bertrand bertanya, ”Apakah ini rumah Herr Professor Frege?” Jawabnya: ”Bukan. Ini kebunnya. Rumahnya yang di sana itu,” kata Gottlob sambil menunjuk ke rumah di samping kebun itu. ”Apakah Bapak profesor ada di rumah,” tanya Bertrand lagi. ”Tidak,” jawab Gottlob. ”Ia lagi berada di kebun.”
Logika memang konsisten. Telaah tentang himpunan pernyataan yang konsisten; itulah logika. Konsistensinya internal, tanpa mengacu ke pernyataan lain atau kenyataan di luar himpunan pernyataan dalam wacana yang dimaksud. Karena itu, apa yang logis belum tentu benar secara faktual.
Aristoteles mengatakan bahwa logika ialah penalaran yang baru dan perlu. Dikatakan ”baru” sebab dengan logika diperoleh hal baru yang tadinya tidak diketahui. Logika ialah penggabungan hal-hal yang diketahui untuk mencapai kesimpulan yang semula belum diketahui. Juga dikatakan ”perlu” sebab kesimpulan itu tak terelakkan, alias pasti.
Dalam silogisme, hal-hal yang diketahui itu disebut premis, sedangkan hal baru yang tadinya belum diketahui ialah kesimpulan. Namun, itu di zaman Sokrates. Sekarang logika formal tidak (hanya) berbentuk silogisme, tetapi memakai lambang-lambang dan notasi tertentu. Logika Barat yang diberangus Asas Larangan Tengah (the Law of the Excluded Middle) sudah diperluas logikawan Iran, Zadeh, dengan logika samar (fuzzy logic). Florentin Smarandache dan Victor Christianto juga menulis buku Neutrosophy, tentang logika banyak nilai (multi-valued logic).
Jadi, bukan lagi hanya ada dua nilai, yakni ”benar” dan ”salah”, seperti dalam logika Barat ”jadul”. Dalam logika Barat jadul, tidak ada tingkat kebenaran yang berada di tengah-tengah antara ”100 persen benar” dan ”100 persen salah”. Ini berbeda dengan logikanya orang Jawa, yang mengenal ungkapan ”Bener ning ora pener” (Benar, tetapi tidak tepat) dan ”Ngono ya ngono, ning aja ngono” (Begitu ya begitu, tetapi jangan begitu).
Apabila Anggodo dimejahijaukan dan Tantular diseret lagi ke pengadilan dengan dakwaan lain, mudah-mudahan jaksa penuntutnya nanti kuat logikanya. Jangan sampai kalah lincah dalam beradu argumentasi. Menghadapi orang-orang yang lincah bin licin (ada yang bilang kayak belut beroles oli) memerlukan kekuatan penalaran dan kesiapan mental. Tentulah hakim harus memimpin persidangan dengan tegas dan adil pula.