19 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Politik dan NU Kultural

Politik dan NU Kultural

ORMAS Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan muktamar mulai Senin lusa di Makassar. Sebagaimana dalam muktamar sebelumnya, tensi politik sudah menggeliat jauh-jauh hari mengingat ormas itu sangat diperhitungkan dalam pentas politik nasional, yang dianggap sebagai aspirasi komunitas muslim kultural.

Muktamar kali ini sangat menarik banyak perhatian, setidaknya karena dua hal. Pertama, karena NU kini tanpa kehadiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kedua, pernyataan KH Hasyim Muzadi yang sudah memimpin NU selama lebih dari satu periode, yang belum lama ini mengisyaratkan tidak mencalonkan kembali dalam bursa pemilihan rais aam (ketua umum). Langkah itu dinilai positif, mengingat kini NU perlu penyegaran, dan yang terpenting membutuhkan reorientasi gerakan supaya nahdliyyin tak terdeformasi dalam blok-blok politik praktis. Menurut perkiraan, tensi politik di ajang muktamar kali ini lebih panas karena bakal bermunculan tokoh-tokoh yang siap menggantikan Hasyim.



Beberapa nama mulai bermunculan, misalnya, Masdar Farid Masíudi, Saíid Aqil Siradj, Ali Maschan Musa, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), dan intelektual muda NU Ulil Abshar Abdalla. Semua tokoh itu punya karisma dan integritas keilmuan yang tinggi, yang pada gilirannya oleh masing-masing konstituennya sangat dihormati dan disegani. Sebut saja, misalnya, Gus Mus, yang ketokohan dan keilmuannya dalam bidang agama sudah tak terbantahkan.
Antipolitik Bahkan di situs jejaring sosial facebook, sebuah fansgroup untuk mendukung Gus Mus telah dibuat seorang administrator. Meskipun, salah satu fansnya ada yang bertanya: apakah fansgroup itu sudah mendapat restu dari Gus Mus? Pertanyaan tersebut wajar, mengingat Gus Mus selama ini dikenal sebagai orang yang terkenal kealimannya,  tawadu dan antipolitik praktis.

Gus Mus selama ini telah menjadi ikon NU kultural. Dia tak hanya terkenal karena kefakihannya, namun juga tokoh yang banyak mengapresiasi akhlak-tasawuf, yang kemudian diekspresikan dalam syair dan tulisan-tulisannya. NU ke depan nampaknya membutuhkan karakter kepemimpinan Gus Mus, yakni dapat mengembalikan NU pada khitah dan kedaulatannya sebagai jamíiyyah. Sebab sudah ada pergeseran pandangan di masyarakat luas dalam melihat NU.

Terutama saat menempatkannya sebagai jamíiyyah dan di sisi lain eksistensi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Imbasnya, masyarakat tak peduli mana NU atau PKB, karena persoalannya orang-orang yang bermain terkesan itu-itu juga. Itulah sebabnya, NU sebagai jamíiyyah menjadi terkena ‘’jeleknya’’ karena eksistensi PKB. Persoalan ini harus menjadi agenda penting pada muktamar di Makassar.

Politik tokoh-tokoh NU yang selama ini bersemayam di PKB bisa dibilang telah mengalami kegagalan, terutama karena telah mendeformasi struktur sosiologis nahdliyyin. Alih-alih, praktik politik yang dibangun terstigma ke dalam pola oportunisme dan akomodasionis yang masih tetap melekat. Benar kiranya jika Greg Fealy dan Greg Barton (2001) pernah menganalisis karakter politik NU sebagai oportunistik dan akomodasionis pada kekuasaan politik. Penamaan NU politik satu sisi relevan, mengingat yang berpolitik bukan NU sebagai jam’iyyah. NU sebagai jamíiyyah sejak semula mempunyai cita-cita memberdayakan masyarakat secara kultural, ditambah legitimasi oleh khitah 1926 yang secara tegas menolak menjerumuskan NU pada wilayah politik kekuasaan.

NU politik merupakan satu karakter dalam internal NU yang berusaha mengupayakan perjuangan bagi nahdliyyin untuk masuk dalam tingkatan kebijakan struktural negara. NU politik sesunguhnya mengalami kegagalan jika memiliki tujuan seperti itu, karena faktanya diartikulasikan hanya untuk kepentingan individual dan komunal, serta perjuangannya cenderung keluar dari khitah.

Di sebagian kalangan nahdliyyin, sesungguhnya bersikukuh bahwa penyebutan NU politik tidak bisa ditoleransi sebab kenyataannya NU juga yang akhirnya dijadikan pelampiasan caci-maki masyarakat luas. Lagi pula, jalan politik bukanlah satu-satunya cara, masih banyak cara lain untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan dan taraf kehidupan yang lebih baik bagi nahdliyyin.

Berseberangan dengan NU politik, sebenarnya banyak nahdliyyin yang lebih menonjolkan NU dalam bingkai kultural, atau katakan saja NU kultural. Golongan ini lebih banyak beraktivitas pengembangan intelektualitas lewat pembangunan berbasis pesantren, dan juga pembangunan interaksi sosial nahdliyyin dengan masyarakat luas.

Dalam bingkai kultural, sesungguhnya NU ingin meraih regenerasi yang telah melompat hilang dalam beberapa dasawarsa, saat NU dan elitenya menjerumuskan diri dalam wilayah politik. NU kultural hendak menarik tali yang telah terputus dengan akar kekhitahannya lalu kemudian ingin mengaitkannya lagi.  (10)

— Ismatillah A Nu’ad, peminat historiografi Indonesia modern

Wacana Suara Merdeka 20 Maret 2010