19 Maret 2010

» Home » Republika » Nilai Kejujuran

Nilai Kejujuran

Sudah amat gamblang, ajaran normatif Islam (Alquran dan hadis) dan juga ajaran falsafah Pancasila sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Namun, mengapa potret prototipe manusia yang mengaku Islam sekaligus prototipe manusia Indonesia yang telah cukup lama berfalsafah Pancasila, terutama di kalangan para elitenya, tak memberikan contoh tentang perilaku jujur pada rakyat sang pemberi amanah.

Kini, kian tampak para elite dan pemegang amanah masih jauh dari panggang api terhadap nilai kejujuran dalam mengemban amanah dan nilai pengabdian dalam mengemban tugas jabatan mereka.

Pertanyaan yang menggoda: sulitkah di negeri Indonesia ini menemukan orang atau pejabat yang jujur dan berjiwa pengabdi yang tulus semata karena Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dalam kiprah perjuangan hidupnya, baik dalam politik maupun ekonomi dan bisnis? Kata sementara orang, mungkin kita kesulitan menemukannya dalam ranah politik yang ingar-bingar seperti pada saat ini.

Lihatlah sebagian besar caleg dalam pileg dan beberapa capres dalam pilpres pada pemilu lalu. Demikian juga para calon kada pada pilkada, termasuk aktivis multipartai dalam memegang amanah konstituen (rakyat Indonesia yang masih memprihatinkan dalam banyak aspek kehidupan). Siapa yang tak menggunakan uang untuk memobilisasi suara rakyat? Siapa yang tak menggunakan uang dalam meniti karier politik mereka? Mungkin, jawabannya dapat dinyatakan singkat dengan istilah 'langka'. Hampir tak bisa kita temukan dalam konteks pengabdian yang tulus karena spirit ibadah yang seharusnya mereka emban dalam kehidupan mereka. Bagaimana trik yang dilakukan para politikus dan penegak hukum dalam memperjuangkan keadilan serta memberantas korupsi dan kejahatan di negeri kita ini. Tampaknya, causa prima itu terjadi lagi-lagi lantaran dilatarbelakangi oleh ambisi yang bermuara pada keinginan memperebutkan kekuasaan dan kemauan hawa nafsu lawwamah yang telah mendominasi bersarang di dalam lubuk hati mereka. Sementara itu, hawa nafsu muthma'innah tak pernah sengaja atau tanpa disadari (saking asyiknya) tidak dimenangkan dalam perang melawan hawa nafsu lawwamah yang tengah bergolak cukup dominan dalam diri mereka.

Padahal, mereka berbasiskan keyakinan Islam dan berakidah Islamiyah sebagai landasan hidupnya serta berasaskan Pancasila yang sedemikian anggun bergema di dalam relung hati sebagai landasan pijakan mereka. Di mana letak permasalahan yang menyebabkan sulitnya kita menemukan figur istikamah dan konsisten dalam memegang teguh sikap dan perilaku yang jujur dan berjiwa pengabdi yang tulus di hati ketika memegang amanah?
Kata pepatah populer yang pantas diselipkan di sini adalah zaman sudah edan. Kalau tak ikut edan, enggak keduman (kebagian). Inikah sikap mental yang tengah mewabah di negeri ini?

Asal usul
Kalau kita runut dari sumber asal muasal munculnya tabiat yang cukup marak, seperti di negeri ini, ada beberapa diagnosis yang dapat dilakukan. Kejujuran itu sangat ditentukan oleh kemampuan salah satu organ indra manusia yang bernama hati nurani. Hati nurani yang dimiliki manusia kodratnya (asli sebelum ternoda) memang mampu berkomitmen jujur, apa adanya, lurus, dan bahkan bisa membuat sang pemiliknya istikamah kapan dan di mana pun mereka berperan. Namun, hati nurani pada kodrat makhluk yang namanya manusia sering dikalahkan oleh kemauan dan kepentingan sesaat, jangka pendek, dan bersifat personal serta berdimensi materialistik.
Kemauan dan kepentingan ini dalam sejarah umat manusia dipersonifikasikan sebuah arena bagaikan bak penuh panggung sandiwara, yang dilakukan penuh dengan berbagai trik yang justru bertolak belakang dengan hati nurani mereka. Mereka tergoda untuk melakukan pengingkaran-pengingkaran atau kebohongan-kebohongan.

Mengapa demikian? Causa prima-nya dapat kita lacak dan maklumi dari firman Allah, seperti berikut ini.

Secara naqliyah, sebagaimana Allah berfirman dalam Alquran, Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk (termasuk manusia) pada sisi Allah ialah makhluk manusia atau orang-orang yang peka dan tuli yang tidak mengerti apa pun(Al-Anfal ayat 2).

Surah Yusuf ayat 53 juga mengungkapkan tabiat manusia. Dan, aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya, Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Lebih tegas lagi, dinyatakan dalam surah Alqiyamah ayat 5, Bahkan, manusia itu hendak membuat maksiat terus-menerus.

Karena itu, dapat disebutkan di sini bahwa nafsu manusia berpotensi memiliki prototipe hewaniah. Naluri dan kecenderungannya selalu mendorong pada kejahatan. Dengan demikian, jika manusia tak mampu mengendalikannya, manusia berpotensi memiliki risiko kesengsaraan esensial.

Di sinilah faktor penyebab dari tabiat serta karakter tipikal yang membuat manusia teperdaya oleh dorongan hawa nafsu.

Dari sinyal karakter dan tabiat manusia yang digambarkan di atas, dapatlah diklasifikasikan sebab dan akibatnya sebagai berikut.

Logika dikendalikan oleh hawa nafsu. Manusia memiliki nalar logika. Namun, penggunaannya didasari oleh fenomena subjektivisme ego.

Hati nurani manusia tidak lagi mampu mengendalikan dan membimbing ke arah sikap dan perilaku jujur, ikhlas, serta mencintai kebenaran objektif dan kebenaran hakiki. Akan tetapi, karena manusia memiliki subjektivisme ego, pilihan keputusan sikap dan perilakunya sering dipengaruhi oleh kepentingan ego.

Karena itu, penggunaan logika tanpa dibimbing oleh hati nurani akan melahirkan sikap dan perilaku dusta karena telah dikuasai oleh kepentingan subjektivisme ego. Mungkin, hati nurani masih eksis di relung yang paling dalam, namun tidak berdaya. Di sinilah, secara historis, sumber bencana selalu akan dihadapi oleh manusia yang tak pandai mengambil hikmah. (-)

Opini Republika 19 Maret 2010