Oleh Uun Machsunah
Tanggal 21 Maret besok diperingati sebagai Hari Down Syndrome Internasional. Penyandang down syndrome, dengan kompleksitas kekurangannya, tetaplah manusia yang padanya melekat hak-hak dasar yang layak diterimanya secara utuh, di antaranya adalah hak memperoleh pendidikan. Segala kelemahan dan kekurangan yang membutuhkan prioritas perhatian dan penanganan khusus adalah tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan.
Sejak 2006, Organisasi Down Syndrome Internasional menetapkan 21 Maret sebagai Hari Down Syndrome Internasional. Dipilihnya tanggal ini didasarkan pada keganjilan kromosom yang menyebabkan down syndrome.
Sekolah luar biasa (SLB) menjadi solusi bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus baik karena faktor fisik, mental, maupun daya pikirnya. Meski demikian, SLB bukanlah satu-satunya model yang dapat dikembangkan. Model SLB yang memisahkan secara segregatif pendidikan regular dengan pendidikan khusus semakin dikritik oleh wacana tanding yang disebut pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan luar biasa untuk anak berkebutuhan khusus yang disatukan bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas sekolah. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009, pendidikan inklusif didefinisikan sebagai "sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya".
Sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas, dapat mengakomodasi dan merespons keberagaman melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak. Masyarakat dilibatkan sebagai mitra. Dalam lingkungan yang demikian, keanekaragaman disikapi secara adil, demokratis, setara, dan tidak diskriminatif.
Kajian-kajian, filosofis, teoritis, maupun normatif, sejauh ini cenderung memperkuat dukungan bagi pendidikan inklusi. Secara filosofis, pendidikan inklusi merupakan manifestasi etis penghormatan sesama manusia terhadap nilai-nilai mulia kemanusiaan yang dikaruniakan Tuhan. Manusia tetaplah manusia meski lahir dengan perbedaan-perbedaan. Perbedaan tidak boleh menimbulkan pembedaan, sebab pembedaan adalah awal bagi diskriminasi, dan diskriminasi adalah awal dari penindasan.
Urgensi diselenggarakannya pendidikan inklusi biasa merujuk mulai dari UUD 1945 khususnya pasal 31 ayat (1) yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pengajaran, Deklarasi HAM PBB 1948, Konvensi Hak Anak 1989, The Salamanca Statement on Inclusive Education (1994), Life Long Education and Education for All (1995), Dakar Statement (2000), UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hingga Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol 2007.
Para penganjur pendidikan inklusi melengkapi juga dengan argumen akademik bahwa pada dasarnya memang pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat diintegrasikan dengan pendidikan reguler asalkan kurikulum didesain akomodatif, guru mampu menciptakan suasana inklusif dan kooperatif, lingkungan sosial menghormati perbedaan antarmanusia dan lembaga sekolah berkomitmen membuka aksesabilitas anak berkebutuhan khusus masuk kelas regular. Sayangnya, di luar ruang wacana pada kenyataannya pendidikan inklusi masih belum banyak dipahami apalagi dijalankan. Sistem pendidikan Indonesia lebih memilih penyeragaman untuk lebih mudah memenuhi target kurikulum daripada repot-repot melakukan penyesuaian dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik yang beragam.
Kisah Ibu Guru Muslimah dan kesepuluh muridnya dalam Laskar Pelangi adalah contoh hidup dari sebuah kelas inklusi yang melibatkan siswa down syndrome. Jauh di awal 1970-an di pelosok terpencil Pulau Belitung, sebuah SD swasta dengan segala keterbatasan fasilitas baik sarana, prasarana, dana, maupun tenaga pengajarnya, telah mempraktikkan pendidikan inklusif, mendahului wacana yang sekarang sedang berkembang. Tokoh Harun digambarkan sebagai siswa yang mewakili karakter penyandang down syndrome. Harun diterima sepenuhnya di sekolahnya, dan dengan demikian ia belajar menjadi pribadi manusia seutuhnya.
Pada kisah itu, kunci bagi berlangsungnya pendidikan inklusi tersebut adalah komitmen sekolah untuk menerima siswa dengan keadaan bagaimanapun. Setelah komitmen sekolah, adalah dedikasi guru yang penuh tanggung jawab untuk memberikan pendidikan kepada siapa pun sesuai dengan kekhasan dan keistimewaan tiap-tiap siswa. Di dalamnya ada kesabaran dan ketulusan. Tidak lebih.
Jika ada komitmen sekolah dan dedikasi guru, kemudian didukung oleh pendidikan dan pelatihan, diperkuat oleh standar renumerasi yang lebih baik, ditambah dukungan masyarakat, ditopang kebijakan pemerintah, difasilitasi dengan sarana dan prasarana, apakah masih mustahil untuk menciptakan pendidikan inklusi? Kisah Laskar Pelangi adalah inspirasi.***
Penulis, pendidik, dosen pada Universitas Muhammadiyah Cirebon.
Opini Pikiran Rakyat 20 Maret 2010