”Prosesi” ini urgen dilakukan karena fenomena yang menguat saat ini memperlihatkan terjadinya pemudaran nilai-nilai luhur yang pada masa-masa awal merupakan rujukan utama. Nilai-nilai ini seutuhnya berpulang pada tradisi pesantren.
Adanya keberkelindanan NU dengan pesantren berpulang pada keberadaan organisasi ini yang senyatanya lahir, tumbuh, dan berkembang dari pesantren. Tujuan pendiriannya, di antaranya, sebagai upaya penyebaran dan pembumian ajaran dan nilai ”Islam pesantren” di masyarakat luas yang mencerminkan Islam kerakyatan dan kebangsaan.
Dalam perjalanan sejarahnya, pembumian misi tersebut mengalami gangguan ketika di tubuh NU bersemai kepentingan yang tidak sejalan dengan paradigma dan visi Islam yang dianutnya. Ironisnya, hal itu juga diikuti oleh sebagian elite pesantren. Masalah yang kemudian mengedepan adalah terkooptasinya NU dan pesantren oleh kepentingan pragmatis sesaat.
Paradigma pesantren yang kemudian dielaborasi dan disistematisasikan NU terletak pada pandangan dasar yang menekankan moderasi Islam. Dalam perspektif ini, pesantren memahami Islam sebagai keimanan yang harus berujung pada praksis; sebagai keyakinan yang niscaya dilabuhkan dalam aktivitas sosial melalui dialog, kejujuran, dan kerendahhatian, serta berdampak besar pada kemaslahatan umat, bangsa, dan sesama.
Rujukan utama paradigma ini nyaris seutuhnya didasarkan pada pemaknaan Al Quran dan sunah hasil interpretasi para ulama yang kaya perspektif yang menjangkau kurun waktu sangat panjang. Khazanah keilmuan ini pada gilirannya dikontekstualisasikan dengan realitas kehidupan yang berkembang di sekelilingnya. Pada tataran ini pesantren mampu—sampai batas tertentu —menyandingkan nilai luhur dan ajaran Islam dengan kearifan lokal.
Ketika NU berdiri, nilai-nilai itu dirumuskan ke dalam manhaj fikr organisasi yang dikenal dengan nama ahlu sunnah wal jama`ah (aswaja) ala NU dengan karakteristik moderasi, harmoni, dan toleransi dalam pemahaman ajaran dan implementasinya dalam kehidupan. Hasil semua itu, organisasi dan lembaga ini peduli dalam pemberdayaan, penguatan, dan pemandirian masyarakat, tetapi tetap menjaga harmoni hubungan kritis dengan negara.
Fenomena ini berdampak jauh pada kinerja organisasi. Pesona kekuasaan membuat sebagian elite NU—kendati dalam jumlah kecil—cenderung abai terhadap nilai-nilai Islam yang dianut NU. Akibatnya, ada kecenderungan NU dijadikan media untuk proses tawar-menawar politik dan alat —kendati mungkin sangat samar —untuk mendulang dukungan yang berorientasi politik praktis atau kepentingan sempit di luar kepentingan jam’iyah, warga, atau bahkan di luar kepentingan bangsa dan negara.
Pada gilirannya, tragedi semacam itu juga menimpa sebagian pesantren. Entah karena latah, sebagian tokoh pesantren juga tertulari virus syahwat politik kekuasaan. Pesantren terkelupas dari visi luhurnya. Dampak yang mulai terlihat, pesantren secara samar-samar mulai ditinggal masyarakat luas.
Keberlangsungan yang dialami NU dan pesantren itu akan menjadikan Indonesia kehilangan civil society yang cukup kokoh. Pada gilirannya, dominasi negara akan kian mencengkeram kuat masyarakat akar rumput.
Kondisi semacam itu menuntut elite NU dan pesantren untuk bersikap lebih arif. Para tokoh NU dan pesantren perlu segera berefleksi kritis. Mereka niscaya mengembangkan diskursus dan praksis yang mengarah kepada pengembangan pendidikan, sosial, ekonomi, keagamaan, dan politik yang lebih transformatif yang membuat bangsa ini lebih merasa sejuk dan sejahtera.
Muktamar kali ini merupakan momen paling tepat untuk memulai hal itu; atau NU dan juga pesantren akan menjadi sekadar gelembung busa yang tanpa arti signifikan bagi Islam, masyarakat, dan bangsa ini pada masa-masa depan.