Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada 17 Februari 2010 Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik berkolaborasi dengan Bank Pembangunan Asia atau ADB dan Program Pembangunan PBB mengeluarkan laporan rutin pencapaian komitmen Sasaran Pembangunan Milenium di Asia Pasifik.
Laporan 2010 yang bertajuk ”Achieving the Millennium Development Goals in an Era of Global Uncertainty: Asia-Pacific Regional Report 2009/10” mengambil pokok perhatian pada dampak krisis dan model-model antisipasinya dalam skema stimulus fiskal dan proteksi sosial.
Laporan ini memaparkan fakta, tahun 2009 hingga awal 2010, jumlah orang miskin di Asia Pasifik bertambah 21 juta orang, setara dengan penduduk Australia. Mayoritas perempuan bekerja dengan upah rendah dan mudah jadi korban pemutusan hubungan kerja. Situasi ini tentu jadi tantangan negara-negara Asia Pasifik untuk memenuhi komitmen pengurangan angka kemiskinan yang tinggal lima tahun.
Fakta lain yang harus jadi perhatian, model jaminan proteksi sosial sebagai skema penanggulangan kemiskinan di Asia masih lemah dibandingkan Amerika Latin atau Eropa Timur. Stimulus fiskal yang dipercayai dapat mencegah dampak lebih buruk krisis finansial ternyata tak banyak dialokasikan untuk skema perlindungan sosial, tetapi lebih pada dukungan sektor bisnis lewat skema peringanan pajak.
Sebagai negara berpenduduk besar di Asia, setelah China dan India, fakta-fakta tersebut tentunya juga dirasakan di Indonesia, bahkan situasi di Indonesia berkontribusi dalam proses pelambatan pencapaian Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) di Asia Pasifik. Ini disebabkan oleh tak adanya kemajuan signifikan dari titik-titik off the track MDGs (kegagalan mencapai indikator MDGs) di Indonesia. Di antaranya, kegagalan penuntasan kelulusan sekolah (sasaran 2), peningkatan kematian bayi (sasaran 4), peningkatan kematian ibu melahirkan (sasaran 5), laju deforestasi dan kegagalan penyediaan sanitasi sehat (sasaran 7). Kondisi ini kian menegaskan bahwa hingga tahun ke-10, komitmen pencapaian MDGs Indonesia belum pada jalur yang tepat.
Sayang sekali, sampai hari ini, pemerintah sangat abai pada peringatan kemungkinan Indonesia mengalami kegagalan dalam pencapaian MDGs pada 2015. Sejak 2005 hingga 2009, laporan selalu menempatkan Indonesia pada posisi negara yang rentan. Indeks kerentanan pencapaian MDGs Indonesia berada pada posisi menengah bersama Filipina, Nepal, dan Papua Niugini serta lebih buruk ketimbang Vietnam, Banglades, dan India. Pengabaian terlihat dari laporan pencapaian MDGs yang dibuat pemerintah sejak tahun 2004 sampai 2009.
Yang tampak kasatmata adalah perbedaan data soal angka kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pada tahun 2009, secara serentak Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik (UNESCAP), Program Pembangunan PBB (UNDP), UNFPA, dan WHO (data juga dikonfirmasi oleh ADB dan Bank Dunia) menyatakan bahwa telah terjadi kenaikan angka kematian ibu melahirkan dari 307/100.000 kelahiran hidup ke 420/100.000. Namun, data ini diabaikan oleh pemerintah yang bersikukuh pada angka 228/100.000, seperti dituliskan dalam Laporan Pencapaian MDGs di Indonesia yang diterbitkan pemerintah pada 2009.
Seharusnya Indonesia tidak tutup mata atas penilaian komunitas internasional terhadap situasi pencapaian MDGs di Indonesia. Penilaian itu bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan evaluasi kebijakan untuk menelisik sebab-sebab pelambatan pencapaian MDGs. Dengan sisa waktu lima tahun, dibutuhkan kejujuran akan realitas kemiskinan dan keseriusan semua pihak untuk menanggulangi.
Dalam hiruk-pikuk perdebatan tentang ke-(tidak)-berhasilan program 100 hari pemerintahan Yudhoyono-Boediono, indikator-indikator pencapaian MDGs tidak jadi pijakan penilaian. Padahal, saat Presiden melakukan audisi calon menteri di Cikeas, pertanyaan kunci yang diajukan kepada beberapa kandidat di sektor kesejahteraan rakyat banyak berkisar pada masalah krusial soal MDGs. Presiden juga mendaulat Nina F Moeloek (yang batal menjadi Menteri Kesehatan) sebagai Utusan Khusus untuk Pencapaian MDGs. Namun, hingga kini, tugas tak pernah terelaborasi maksud dan tujuannya.
Pada September 2010, akan diselenggarakan UN Millennium +10 Summit, di mana setiap kepala negara penandatangan Deklarasi Milenium melaporkan situasi pencapaian MDGs dan evaluasinya. Ini hendaknya jadi momentum penting bagi pemerintah untuk tak hanya berwacana mengenai pencapaian MDGs di Indonesia, tetapi melangkah lebih konkret dengan menyusun peta jalan percepatan pencapaian MDGs.
Rencana pengusulan RUU Penanggulangan Kemiskinan harus dimaknai sebagai langkah penyusunan peta jalan tersebut. Legislasi ini harus berlandas pada komitmen global MDGs dan implementasi Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi RI sejak tahun 2005.
Opini Kompas 27 Februari 2010