26 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Aktualisasi Sifat Rasulullah

Aktualisasi Sifat Rasulullah

Oleh H. A. Juntika Nurihsan

”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan  yang baik bagi kalian semua, yaitu mereka yang mengharapkan keridaan Allah dan keselamatan pada hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (Q.S. Al-Ahzab:21).

Tidak dapat dipungkiri bahwa keteladanan menjadi kunci kesuksesan Nabi dalam berinteraksi dengan umat. Bahkan, Michael H. Hart (1986), penulis buku The ”100, a Rangking of the Most Influential Persons in History” (Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah) memosisikan Rasulullah pada peringkat pertama dari seratus tokoh yang dianggap paling berpengaruh dalam memberikan perubahan  sejarah peradaban manusia. Padahal, Hart sendiri bukan Muslim.



Setidaknya terdapat empat sifat yang menjadikan beliau model bagi umat manusia. Pertama, kejujurannya dalam berbuat dan berucap. Kesederhanaan dan sistematika dalam bertutur kata yang mudah dipahami, menjadikan beliau ”konsultan” dan rujukan dalam menyelesaikan beragam permasalahan umat.

Kedua, amanah yaitu sikap penuh tanggung jawab dalam melaksanakan semua perintah yang dibebankan pada dirinya, baik dari Allah SWT ataupun kelompok manusia yang berada di sekitarnya.

Ketiga, tablig yaitu kemampuan menyampaikan amanah kepada umat dengan menyesuaikan antara apa yang akan disampaikan dengan kemampuan (tingkat intelektual, pendidikan, sosial, dan juga budaya)  umat dalam menerima materi tersebut. Maka, sangat terlihat bagaimana interaksi yang harmonis terjalin antara Rasul dengan berbagai kalangan, bahkan umat dari keyakinan yang lain pun, mengakui kebesaran pengaruh beliau dalam membangun dan memperkokoh eksistensi umat islam.

Sifat ke empat, fatonah atau cerdas. Artinya, Rasul adalah individu yang memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. Beliau juga cerdas secara emosional dan rohaniah. Hal itu dapat terlihat dari catatan sejarah, yang melukiskan keakuratan strategi dalam menghadapi musuh, ketenangan dalam menghadapi segala bentuk cobaan, dan juga kekhusuan beliau dalam beribadah serta bermunajat kepada Rabbnya.

Selain itu, cara  beliau menyampaikan pesan sangat sarat dengan makna. Tentunya hal ini membutuhkan kekuatan akal, kekuatan rohani, dan juga emosi. Sebab, kecerdasannya itulah sangat wajar apabila banyak khotbah Rasulullah yang terkenal dan dijadikan rujukan dengan sebutan Jawami`ul Kalam (kumpulan kata-kata yang sarat dengan makna). Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq berkata ”Sesungguhnya Rasulullah tidak melontarkan perkataan sebagaimana yang kalian lontarkan. Beliau selalu mengatakan sesuatu secara sistematis. Kata-kata yang diucapkannya dapat dihitung dengan jari. Terkadang beliau mengucapkan satu kalimat dengan tiga kali pengulangan agar lebih mudah dalam menghapalnya”.

Djawad Dahlan (2003) memberikan ilustrasi kesederhanaan dan kesaratan makna dalam gaya Rasulullah memberikan bantuan. Pada suatu hari datang menghadap Rasulullah saw. seorang perompak ulung  sangat ditakuti orang. Ia menyatakan hasratnya untuk masuk Islam. Padahal, ia tahu bahwa pekerjaan sehari-harinya berbuat kejahatan. Ia ingin sekali mengetahui persyaratan untuk mengetahui Islam (sesuai dengan fitrahnya). Diperhatikannya dalam-dalam orang itu, lalu Rasul bersabda dengan singkat, ” Janganlah engkau berbuat dusta” (singkat, sistematis, dan penuh makna).

Betapa senangnya orang itu mendengar sabda Rasul itu dan seketika itu juga mengambil keputusan untuk masuk Islam (pengembangan fitrahnya). Rasul sama sekali tidak menyebut-nyebut pekerjaan sehari-harinya,  tetapi sekadar tidak dusta. Dengan perasaan bangga dan senang, ia pulang karena hasrat masuk Islam (sesuai dengan fitrahnya) telah terpenuhi. Dalam benaknya ia merasakan betapa mudahnya menyatakan diri sebagai Muslim.

Prosesnya singkat, tetapi efektif, menggugah dinamika psikologis pada diri yang dibantu. ”Betapa entengnya masuk Islam”. Akan tetapi, setelah merenung timbul dialog dalam diri orang itu. ”Mungkinkah esok hari, Rasul bertanya tentang perilakunya setelah pulang ke rumah. Apakah sudah salat? Sekiranya aku berdusta, aku telah menyalahi janji. Ia pun mengambil keputusan untuk benar-benar menjadi Muslim dan Muhsin.

Dalam hidupnya, Rasulullah sangat ramah dan toleransi terhadap keyakinan dan pendapat orang lain. Berkali-kali Rasulullah saw. memerankan diri sebagai penengah dan perekat antarkelompok, antaretnis, dan antarpemeluk agama. Akan tetapi, terhadap tindakan yang mencederai harkat dan martabat kemanusiaan seperti: kekerasan, kejahatan, ketidakadilan, kekejaman, dan kesewenang-wenangan, Rasulullah tidak akan menoleransinya. Ia akan melawan berbagai bentuk tindakan yang tidak manusiawi dan tidak beradab, seperti yang lama terjadi pada masyarakat Mekah, khususnya kaum Quraisy. Jelas Rasulullah merupakan figur yang ramah, penuh kasih, penyabar, sekaligus pribadi yang tegas dalam melawan segala bentuk kemungkaran dan kemunafikan. Melalui tulisan ini semoga dapat menggugah kita untuk selalu dapat meneladani kehidupan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari baik pada keluarga, pekerjaan, beragama, atau bermasyarakat. Wallahua`lam bisshawab.***

Penulis, dosen dan Sekretaris DKM Al-Furqon Universitas Pendidikan Indonesia.

Opini Pikiran Rakyat 27 Februari 2010