26 Februari 2010

» Home » Kompas » Demokrasi Jadi "Thugocracy"

Demokrasi Jadi "Thugocracy"

Setiap hari dicecar berita tentang Bank Century, masyarakat pun telah sampai pada titik jenuh.
Semakin kelihatan bahwa masalah perbankan adalah masalah ruwet dan rumit, semakin masyarakat tidak terlalu tahu mau ke mana arah politik dari hiruk-pikuk itu. Semakin DPR ”transparan”, soal sesungguhnya juga semakin kabur. Mengapa?


Kejenuhan itu terjadi karena dalam hal ini aneka macam segi tampil serentak dan para penggerak peristiwa itu juga tidak terlalu sadar akan hal yang dijalaninya. Tidak terlalu jelas batas antara soal ”ekonomi” dengan soal ”hukum”, misalnya sekitar istilah ancaman yang disebut ”sistemik” dalam pemikiran ekonomi, tetapi kemudian jika tindakan untuk menghadapi soal sistemik itu diletakkan dalam kerangka ”hukum”, segera orang masuk dalam lorong gelap. Kemudian akan menjadi gelap gulita ketika soal ”hukum” (artinya soal ada tidaknya tindakan melawan hukum) disandingkan dengan pertimbangan ”politik”, maka kita tidak tahu di mana tempat yang diambil oleh parlemen sebagai lembaga legislasi dalam sebuah sistem pemerintahan presidensial.
Tokoh-tokoh yang menyuarakan semua hal itu adalah mereka yang terdidik dalam sistem pendidikan kita dari zaman Orde Baru, dengan kurikulumnya yang khas itu. Mereka adalah produk sebuah sistem pendidikan yang disebut sebagai provincial. Artinya ekonomi bukan hukum, hukum bukan politik, dan ekonomi bukan pula politik. Dengan cara berpikir yang terkotak-kotak semacam itu, praktis komunikasi pada tingkat konseptual tidak pernah ada. Dengan demikian, segala rupa ucapan dan penilaian yang selama ini beredar tak lain adalah cermin dari struktur mental pada tokoh yang terlatih dalam kotak-kotak itu. Ketika cara berpikir dalam kotak terpisah itu ditambah dengan gairah kekuasaan, dengan sendirinya tak pernah menjadi jelas apa yang disebut ”kenyataan” dalam kasus ini.
Sementara itu masyarakat luas harus menanggung beban langsung dari tindakan pemerintah yang sedang dipersengketakan itu. Mereka mempunyai harapan tersendiri pada perjuangan kepentingan mereka yang diwakilkan pada parlemen. Mereka mengharap kasus ini ditutup secara ”adil” karena sudah menjadi ingatan bersama bagaimana kasus serupa yang jauh lebih besar, yakni soal BLBI, tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan ”adil”. Jadi, dalam hal ini, sesungguhnya, tidak terjadi komunikasi politik yang terang antara parlemen dan masyarakat.
Rasa hebat sendiri
Seperti dialami oleh setiap orang yang pernah duduk di perguruan tinggi dan mendapatkan kuliah ekonomi, ilmu ini mengidap dua penyakit pokok. Penyakit pertama, demi tegaknya ilmu ekonomi, batas ilmu harus jelas. Dalam bahasa mereka, ekonomi harus dipisah dari fakta sosial yang lain, yang gagah disebut dengan istilah latin ceteris paribus. Lalu lahir model ekonomi dan celakanya setiap kebijakan ekonomi dasarnya adalah model yang disusun di balik meja itu. Penyakit kedua, ilmu ekonomi tak sudi dimasukkan dalam kelompok ilmu sosial sehingga dirinya dianggap sebagai bintang yang paling tahu soal masyarakat. Hal ini lalu menimbulkan rasa hebat sendiri.
Ketika proses hukum dan politik tidak lagi dapat dikesampingkan begitu saja dalam keputusan ekonomi yang dilakukan oleh menteri keuangan dan direktur BI, sesungguhnya tokoh birokrat kita itu tidak siap juga secara konseptual dan eksistensial. Tadinya mereka tentu mengira bahwa berkat ratunya ilmu masyarakat ini, ilmu ekonomi memiliki advantage pula dalam politik dan hukum. Maka, ketika dengar pendapat digelar, amat jelas bagaimana ahli ekonomi itu tertatih-tatih dan anggota parlemen sekadar berangkat dari nalar umum. Ekonomi yang ”ilmiah” jadinya juga tidak bersambung dengan common sense. Terjadi disfungsionalisasi komunikasi elite.
Dan, untuk semakin memperkeruh keadaan, masih ada faktor lain yang semakin menyesatkan. Hal itu berkenaan dengan kultur politik kita sebagai hasil dari demokrasi yang semakin meluas. Artinya, persaingan elite politik—baik birokrat atau anggota parlemen—langsung tidak langsung ditentukan oleh pendapat umum. Padahal, apa yang disebut pendapat umum itu tidak lain adalah juga hanya produk kegiatan pengumpul suara/pengumpul pendapat umum (pollster). Pendapat umum tidak aktif, tetapi hanya obyek pasif yang diolah oleh para pollster.
Para pemungut pendapat umum itu juga memiliki kepentingan bisnisnya sendiri karena mereka terkait rapat dengan urusan pemasaran politik. Dan, jika kita tahu bahwa pemasaran sepenuhnya adalah upaya keras untuk menciptakan nilai (value creation), maka menjadi semakin benderang segala hal ini apabila diketahui ”nilai” apa yang sedang diolah oleh para pemasar politik.
Nilai itu juga sederhana, yakni sebuah gagasan yang lazim disebut anti-incumbency (menolak yang duduk di kursi jabatan). Jika pemasaran produk sampo, misalnya, nilai barunya bisa membikin rambut kemilau, maka pemasaran politik juga akan meletakkan anti-incumbency ini pada gagasan nilai tambahnya.
Akhirnya, dengan semua hal ini, yang terjadi adalah sebuah demokrasi yang bergerak menjadi thugocracy alias premanisme.
Emmanuel Subangun Sosiolog
Opini Kompas 27 Februari 2010