26 Februari 2010

» Home » Solo Pos » 5 Tantangan untuk BRT Kota Solo

5 Tantangan untuk BRT Kota Solo

Harapan baru berkurangnya kemacetan lalu lintas di kota Solo muncul seiring akan beroperasinya Bus Rapid Transit (BRT) di kota Solo. Berapa persentase harapan baru tersebut akan menjadi kenyataan?




BRT yang dikelola oleh Trans Jakarta boleh dikata cukup berhasil, walaupun kemacetan lalu lintas di kota Jakarta tetap belum teratasi. Mengapa Jakarta bisa berhasil? Karena Trans Jakarta yang menggunakan busway mempunyai lajur khusus yang bebas hambatan sehingga praktis perjalanan dengan Trans Jakarta lebih cepat dibandingkan dengan kendaraan umum lainnya.

Bagaimana dengan jenis BRT yang digunakan di Kota Semarang dan Yogyakata. Di kedua kota ini pengoperasian BRT belum mendapat sambutan yang baik dari warga kota. BRT di kedua kota ini masing mengalami kekurangan penumpang.

Kondisi BRT di Yogyakarta tidak jauh berbeda dengan yang di Semarang. Trans Jogja sebagai pengelola BRT juga harus disubsidi oleh pemerintah kota, karena keberadaannya belum menjadi alternatif utama bagi pengguna angkutan umum, apalagi bagi pengguna kendaraan pribadi.

Bagaimana dengan BRT di Solo? Sama dengan Semarang dan Yogyakarta, Pemkot Solo diharapkan bisa bersiap-siap menyisipkan anggaran untuk menyubsidi Trans Solo (sebut saja demikian). Karena untuk mandiri tantangan yang harus dihadapi Trans Solo sangat berat.

Tantangan pertama bagi BRT Solo yang harus dihadapi adalah waktu tempuh. Bisakah BRT Solo jalurnya menjangkau permukiman yang tersebar di sekitar Kota Solo? Jangan sampai jika ingin menggunakan BRT, waktu saat keluar rumah sampai mendapatkan BRT lebih lama jika dibandingkan perjalanan menggunakan BRT.

Dengan jarak tempuh yang relatif pendek, orang tidak akan lelah jika menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan menggunakan BRT yang tentunya tidak bisa melayani penumpang door to door. BRT menurut saya, efektif bisa bersaing dengan angkutan umum lain atau kendaraan pribadi jika waktu tempuhnya minimal satu jam. Bus Patas AC Solo-Semarang (identik dengan BRT) sebagai contoh, saya anggap cukup sukses bersaing dengan yang regular. Demikian pula KA Prameks Solo-Yogyakarta juga cukup sukses menggaet penumpang.

Tantangan kedua adalah mudahnya penggunaan kendaraan pribadi di kota Solo ataupun di kota-kota lain di Indonesia. Hal ini terkait dengan mudahnya pengguna kendaraan pribadi memarkir kendaraannya di tempat tujuan dengan biaya parkir yang relatif murah. Hampir semua jalan yang berada di tempat pelayanan publik seperti misalnya mal, pasar, sekolah dan lainnya, bisa untuk parkir kendaraan walaupun hal ini akan menyita ruang jalan dan mengganggu kelancaran lalu lintas.

Hal ini sangat berlainan dengan kondisi di luar negeri, misalnya di Perth dan Adelaide, Australia, yang pernah saya kunjungi. Di kedua kota tersebut di tempat-tempat keramaian seperti pusat perbelanjaan, jalan di depannya dilarang untuk parkir kendaraan, akan tetapi disediakan halte untuk angkutan umum.

Parkir kendaraan di jalan diperbolehkan di ruas jalan bukan pusat keramaian kota, itupun dengan biaya parkir yang relatif mahal. Alternatif lain, pakir kendaraan bisa dilakukan di tempat-tempat parkir yang disediakan untuk umum yang tidak terletak di badan jalan raya dan inipun tarifnya juga cukup mahal.

Tantangan ketiga adalah mampukah BRT bersaing dengan sepeda motor dalam hal kecepatan dan kemurahan biaya perjalanannya? Membanjirnya sepeda motor ini yang bikin bus kota atau angkutan umum lainnya di Kota Solo beberapa waktu yang lalu menangis kehilangan penumpang. Di lain pihak sepeda motor dengan riang gembiranya menari-nari di jalan-jalan di Kota Solo.

Boleh dikata saat ini setiap keluarga di Kota Solo yang tergolong keluarga miskin pun mempunyai sepeda motor, karena sepeda motor sudah menjadi kebutuhan pokok yang kepemilikannya dapat menyesuaikan kondisi pembeli. Booming sepeda motor ini akan menjadi lawan tangguh yang saya kira sangat sulit untuk ditaklukkan. Sementara itu untuk menaklukkan pengguna kendaraan roda empat juga sangat disangsikan mengingat pengguna kendaraan roda empat termasuk orang yang mampu.

Perilaku

Tantangan yang keempat adalah perilaku atau budaya. Pengguna BRT atau angkutan umum lainnya pasti diikuti dengan berjalan kaki, karena tidak mungkin BRT ini melayani door to door. Padahal hampir semua warga Solo tergolong sangat malas berjalan kaki jika bepergian. Di samping melelahkan, udara yang panas membuat orang mudah berkeringat jika berjalan kaki sehingga membuat orang malas untuk menjalaninya. Orang yang mampu akan rela membayar berapapun untuk bepergian dengan becak maupun taksi asal angkutan umum ini mampu mengantarkan dari pintu rumahnya sampai ke pintu tujuan perjalanannya.

Tantangan yang kelima adalah mampukah Pemkot Solo menyisihkan dana APBD untuk menyubsidi BRT ini jika ternyata target yang dibuatnya tidak bisa tercapai seperti halnya Trans Semarang?

Memang seperti di negara maju seperti di Perth dan Adelaide, pemerintah kota setempat memberikan subsidi transportasi bagi warganya. Subsidinya tidak tanggung-tanggung yaitu memberikan angkutan gratis dengan bus kota untuk perjalanan dalam kota dengan pelayanan yang cepat, tepat waktu dan nyaman.

Untuk merubah budaya masyarakat yang biasa menggunakan kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum yang ditawarkan nyaman, cepat dan murah, memang tidak mudah dan kalau berhasilpun memerlukan waktu yang lama.

Rasanya BRT Solo kalau dilepas begitu saja sulit untuk hidup sehat, sehingga perlu didampingi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung pengoperasian BRT. Kebijakan tersebut misalnya dengan pelarangan parkir on street pada pusat-pusat keramaian dengan alasan mengurangi kapasitas jalan dan membuat kemacetan lalu lintas, pembuatan jalur khusus BRT seperti di Jakarta untuk jalan-jalan yang cukup lebar seperti Jalan Slamet Riyadi, dan lain-lain kebijakan yang intinya bisa menunjukkan bahwa naik BRT lebih cepat, nyaman dan murah jika dibandingkan dengan naik kendaraan pribadi atau kendaraan umum lainnya.

Demikianlah tantangan-tantangan yang akan dihadapi pemerintah kota Solo jika ingin mengoperasikan BRT. Saya berharap Pemkot Solo sudah mempunyai jurus-jurus jitu untuk menghadapi tantangan tersebut. Pada kesempatan ini pula saya harapkan masyarakat Solo berkenan menyambut BRT ini dan menjadikannya sebagai alat transportasi utama serta kebanggan warga kota Solo. Akhirnya kepada Pemkot Solo saya ucapkan selamat berjuang menyediakan transportasi umum kota Solo yang aman, nyaman dan murah dan semoga hal ini bisa menjadi salah satu sarana untuk mengurangi kemacetan lalulintas di kota Solo. - Oleh : Sri Widodo Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Surakarta

Opini Solo Pos 27 Februari 2010