Drama politik terkait dengan pemberian uang negara kepada Bank Century diamati dengan saksama oleh publik. Berbeda dengan kecenderungan media massa, reaksi publik tak terlalu berlebihan dalam menonton.
Setidaknya ada dua hal yang terbuka secara implisit dari kondisi diam para penonton: pertama, publik semakin mampu mengambil jarak dari politik elite, dengan menganggap apa yang sedang terjadi tak lebih dari infotainment. Kedua, konflik elite politik ini membuka peta elite politik Indonesia yang hanya mencerminkan relasi terbatas di kalangan ini.Sekian pemilu yang dijalankan pada era pasca-Soeharto hingga kini belum menunjukkan bahwa sistem politik saat ini sudah merupakan bentuk terbaik yang mungkin dicapai. Sebaliknya, jarak antara penonton dan apa yang ditonton menjadi amat te- rasa akibat tayangan di televisi atau internet.
Tayangan ini semakin terasa berjarak karena: pertama, ”disiplin ilmu” para ekonom pemerintah sendiri jika ditelusuri lebih jauh tak berbeda dengan keyakinan. Rasionalitas pasar yang dimaksud tak berbeda dengan idiologi. Pernyataan ini terungkap dari komentar Presiden Yudhoyono bahwa kebijakan (policy) tidak bisa dianggap kriminal, dengan asumsi bahwa obyektivitas itu ada. Seolah-olah kepentingan pembuat kebijakan bisa dianggap nol. Jaringan mafia di dalam pasar masih belum dihitung sebagai pesaing negara.
Kriminalitas hanya dianggap sebagai dinamika pasar. Meskipun kejahatan kerah putih jumlahnya besar, tetapi hanya dianggap sebagai hal baru yang perlu ditanggapi dengan regulasi pendukung (Lemke, 2001). Adapun keadilan yang dimaksud, apabila diukur dengan hukuman terhadap maling sandal jepit, memang tidak akan pernah sepadan.
Korban maling sandal jepit jelas orang dan pelakunya, sedangkan kriminalitas spekulan uang lebih dilihat sebagai ”kenakalan”. Analisis yang ada belum sampai pada pemahaman organisasi kriminal teroganisir yang bergerak dalam pasar uang. Pembentukan financial market yang dilakukan sejak tahun 1970-an berhasil memindahkan peta konflik di ruang yang lebih terselubung dan tidak mudah dijangkau oleh kebanyakan warga yang berpikir ”hari ini bisa makan atau tidak”.
Bangkrutnya Eslandia yang memasuki pasar bebas tahun 1994 bisa menjadi perbandingan jika wilayah negara disamaratakan dengan pasar tanpa menghitung perlunya otoritas warga negara. Akibat ”ketidaksengajaan” para ekonomnya, kurang dari 320.000 warga negara Eslandia kini dituntut untuk membayar sekitar 160 juta rupiah per warga untuk menutupi kerugian Icesaves (Guardian, 10/1/2010).
Lemke (2001) yang mengulas neo-liberal govermentality membahas ulang pandangan Foucault dalam kuliahnya pada tahun 1979 tentang posisi pasar dan negara. Dalam penjelasannya, bisa dimengerti posisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan republik.
Posisi LPS bukan dalam posisi buffer zone atau semacam membran yang menjadi titik temu pasar dan negara. Namun, dalam ideologi ekonomi model ini, posisi negara dan pasar adalah satu.
Dengan demikian, jika uang hasil arisan bank yang ditampung di LPS tidak mencukupi, LPS dengan sendirinya dapat langsung mengakses APBN. Uang LPS memang merupakan ”uang arisan” antarbank; dan pemimpin tertinggi yang menerima pertanggungjawaban LPS adalah presiden. Jadi risiko ”ketidaksempurnaan pasar” langsung diserahkan kepada negara. Kontradiksi ini terbukti pada jalan buntu Eslandia.
Peniadaan negara dalam pengertian politik menjadi arena pasar ditandai dengan minimnya peran warga negara dalam pengambilan keputusan yang didasarkan pada ”obyektivitas pasar”. Selain itu, politik perwakilan semasa kampanye terbatas dalam permainan citra. Relasi antara partai politik dan warga masih lah dalam skema ”massa mengambang” di mana komodifikasi partai politik biasa terjadi.
Komodifikasi partai politik, berubahnya relasi perwakilan menjadi relasi ekonomi semata, terbaca dari kekuatan kaum berduit dalam mendominasi partai politik. Jadi, terbalik dari harapan reformasi untuk melakukan pelembagaan demokrasi, fenomena yang terjadi adalah privatisasi partai politik ataupun pemerintahan. Buktinya hingga kini tidak ada celah bagi rakyat untuk mengontrol wakil rakyat dan presiden setelah pemilu. Padahal, jaringan mafia pasar finansial bisa bertemu dengan agen partai politik dalam proses komodifikasi partai politik yang bertujuan mengambil alih fungsi proteksi negara secara legal.
Pembicaraan terkini masih sebatas soal pembuktian ke mana uang negara dialirkan, belum menyentuh perkara orang banyak terkait kedudukan negara dalam relasinya dengan pasar dan hak warga negara. Langkah ini tidak mungkin dilakukan tanpa pembacaan ulang konstitusi negara, dengan memahami struktur dan dinamika pasar finansial serta peran mafia (jaringan kejahatan teroganisir) di dalam pasar-negara.
Apabila fokus perdebatan hanya pada pergantian elite politik, tanpa memikirkan sistem representasi politik yang menentukan haluan negara, bagi warga negara perdebatan ini tidak lebih dari telenovela: populer dan berjarak.
Dalam kaitannya dengan kriminalitas di dalam pasar-negara, negara hanya mungkin ada apabila berhasil mengunci jaringan mafia yang bergerak tanpa mengenal wilayah negara itu sendiri. Perdebatan di Senayan tidak menyentuh ini hingga pandangan akhir seluruh partai politik.
Opini Kompas 27 Februari 2010