RIBUAN perangkat desa se-Indonesia, yang tergabung dalam Parade Nusantara, mendatangi gedung DPR untuk mendesak anggota legislatif segera membahas RUU Pemerintahan Desa dan RUU Pembangunan Desa (SM, 23/02/10). Setelah 12 tahun reformasi ternyata agenda pembaharuan pemerintahan desa masih belum dapat dilaksanakan dan terlupakan di tengah hiruk-pikuk persoalan berbangsa dan bernegara.
Euforia desentralisasi yang dituangkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 belum menyentuh pemerintahan desa karena hanya fokus pada pelaksanaan desentralisasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Desa atau nagari, marga dan huta adalah bentuk pemerintahan asli masyarakat Indonesia yang semenjak lahir memiliki hukum adat masing-masing. Selama Orde Baru telah terjadi proses negaraisasi (state formation) secara luar biasa yang menisbikan eksistensi politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat (Schiller, 1996).
Persoalan pokok pemerintahan desa sebetulnya terkait tiga hal utama, yaitu politik desa, kewenangan desa, dan anggaran desa. Ketiga persoalan tersebut terbingkai dalam satu isu utama, yaitu isu otonomi desa.
Mengenai politik desa, tuntutan yang paling sering muncul adalah mengenai masa jabatan kepala desa. Kepala desa adalah pemimpin tradisional yang aslinya memiliki masa jabatan seumur hidup. Masa jabatan kepala desa kemudian diperpendek menjadi 8 tahun lewat UU Nomor 5 Tahun 1979, 5 tahun dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, dan 6 tahun melalui UU Nomor 32 Tahun 2004.
Sampai saat ini belum jelas benar apa landasan pengaturan masa jabatan kepala desa seperti itu. Menetapkan kepala desa sebagai jabatan seumur hidup mungkin sudah tidak sesuai lagi, tetapi menyamakan masa jabatan kepala desa dengan jabatan politik lainnya juga tidak tepat karena dimensi kepemimpinannya berbeda. Kepala desa adalah pemimpin tradisional yang pemilihannya tidak berhubungan dengan peta partai politik di Indonesia.
Identifikasi Adapun keterkaitannya dengan kewenangan desa adalah pemerintah desa sebetulnya memiliki kewenangan adat sesuai dengan hak asal-usul desa, tetapi sebagian besar kewenangan tersebut diambil alih pemerintah. Perlu dilakukan identifikasi kewenangan adat apa saja yang ada di desa yang telah diambil oleh pemerintah untuk selanjutnya diserahkan kembali ke pemerintah desa.
Aspek-aspek teknis dari pelaksanaan kewenangan kabupaten/kota sebaiknya didelegasikan ke pemerintah desa. Prinsip desentralisasi adalah subsidiarity, yang menyebutkan bahwa kewenangan pemerintahan yang sudah dapat dilaksanakan oleh level pemerintahan yang lebih rendah sedapat mungkin harus diserahkan kepada level pemerintahan tersebut (Bosnich; 1986).
Adapun persoalan pokok yang menyangkut anggaran desa tak lepas dari pemerintah desa yang memiliki hak ulayat untuk mengelola tanah, hutan, dan aliran sungai di wilayahnya. Seiring dengan intervensi negara ke dalam sistem pemerintahan desa, sumber potensial tersebut ditarik pengelolaannya oleh pemerintah hingga secara praktis pemerintahan desa tidak punya kemandirian keuangan lagi.
Pada saat ini sebetulnya cukup banyak aliran dana pemerintah yang masuk ke desa, namun karena pendekatan pembangunan desa selama ini memakai pendekatan sektoral, pengelolaan dana tersebut tetap berada di institusi teknis pemerintah.
Perlu dilakukan penguatan anggaran pemerintah desa melalui mekanisme dana block grant. Dana dalam bentuk block grant memungkinkan pemerintah desa melakukan pembangunan wilayah secara terintegrasi dengan mempertimbangan semua sektor pemerintahan. Melalui cara pendekatan ini, bukan hanya pembangunan akan lebih tepat sasaran melainkan juga lebih efisien dari segi biaya dan personel.
Penguatan otonomi desa merupakan pilihan paling tepat dalam menyinergikan program-program pemerintah di tengah masyarakat. Pendekatan pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh instansi teknis hanya melihat permasalahan masyarakat desa dalam prespektif yang sepotong-sepotong. Di sisi lain, pemerintah kabupaten/ kota juga terlihat kedodoran dalam melaksanakan kewenangan otonomi daerah.
Penguatan otonomi desa diharapkan dapat menjembatani kelemahan pembangunan sektoral dan otonomi daerah yang terjadi selama ini. Dimensi lokal dari pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya akan terbingkai secara bersama-sama dalam semangat demokratisasi dan desentralisasi di level pemerintahan desa.
Ketakutan terhadap ketidaksiapan sumber daya manusia aparatur pemerintah desa dalam menjalankan otonomi desa sebetulnya tidak perlu terjadi. Berhasil atau tidaknya program-program pemerintah di tingkat desa selama ini bukan hanya ditentukan oleh kemampuan teknis manajerial melainkan lebih ditentukan oleh seni kepempimpinan wilayah dan komunikasi yang baik antara masyarakat dan perangkat desa. (10)
— Sutiyo SSTP MSi, alumnus pascasarjana ilmu administrasi Unsoed, perangkat Kelurahan/ Kecamatan Kedungmenjangan, Kabupaten Purbalingga
Wacana Suara Merdeka 27 Februari 2010