Perlu memberi perhatian lebih serius pada perilaku brutal berlalu lintas sebelum kebrutalan di jalan mengancam kenyamanan hidup kita yang sebagian
dihabiskan di jalan
DI luar kontroversi yang selalu menyertai kelahiran sebuah UU, kelahiran Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULAJ) yang baru, patut diapresiasi secara positif. Asumsinya, perundangan yang baru ini merupakan bagian dari upaya untuk menyempurnakan peraturan lama yang dirasa memiliki banyak kelemahan.
Harus diakui bahwa persoalan lalu lintas di negeri ini belum tertata dengan baik. Lebih ironis, angka kematian di jalan akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia merupakan pembunuh nomor 3 di bawah penyakit jantung dan stroke (detik.com, 2008). Berdasarkan data yang diungkap Menteri Perhubungan (waktu itu) Jusman Syafii Djamal, data kecelakaan lalu lintas pada 2009 di Indonesia mencapai 19 ribu kasus. Jumlah ini naik dibanding tahun 2008 yang mencapai 18 ribu kasus (liputan6.com).
Data Ditlantas Polri tahun 2007 menyebut korban mati akibat kecelakaan lalu lintas tak kurang dari 12 ribuan setiap tahunnya (Sulis Setyawan: 2008). Di Jawa Tengah, menurut suaramerdeka.com, dalam waktu sehari rata-rata 5-6 orang meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya, sementara dari tahun 2005 sampai 2008 jumlah yang meninggal dalam kasus yang sama 10.600 orang lebih.
Dalam literatur hukum, setiap kelahiran produk hukum baru, akan membawa konsekuensi yang memiliki cakupan luas dan kompleks. Dengan kata lain, ingin dinyatakan bahwa sebuah regulasi sesempurna apapun tidak akan secara otomatis atau serta merta mampu mengubah keadaan menjadi sesuai yang diinginkan.
Menurut Lawrence M Friedman, terdapat tiga komponen penting dalam sistem hukum yang saling berkaitan yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance and culture interact (Friedman, 1975:5). Dengan demikian, UULAJ sebagai produk hukum hanya salah satu bagian saja dari sistem hukum, yang masuk dalam kelompok substansi hukum. Masih terdapat subsistem hukum lain yang diperlukan yaitu struktur hukum dan budaya hukum.
Yang dimaksud dengan struktur hukum disini adalah kelembagaan yang harus diciptakan atau dibuat untuk memungkinkan terjadinya pelayanan dan penegakan hukum, sedangkan budaya hukum berkaitan dengan ide-ide, sikap, dan perilaku yang diharapkan dari seluruh komponen masyarakat termasuk aparaturnya.
Melalui pemahaman yang demikian, dapat dipahami bahwa bekerjanya hukum tidak terjadi karena sebuah peraturan perundang-undangan telah dibuat, tetapi setiap peraturan akan memberitahu bagaimana seorang pemegang peran (role occupant), yaitu subjek hukum yang diaturnya (masyarakat dan aparatur) diharapkan bertindak/berbuat. Seidman berpendapat, bagaimana seorang itu akan bertindak merupakan respons terhadap peraturan yang ditujukan kepadanya.
Banyak Pihak Dalam bahasa teknis UU, role occupant meliputi pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum dan / atau masyarakat (Pasal 7). Artinya, urusan berlalu lintas di jalan merupakan kepentingan banyak pihak, yaitu lintas departemen, aparat kepolisian, pemerintah daerah, perusahaan angkutan umum, pengguna jasa angkutan, dan pengguna jalan lainnya termasuk pengemudi, penumpang, dan pejalan kaki.
Pernyataan tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa tujuan ideal yang ingin dicapai dalam berlalu lintas yaitu ketertiban, kenyamanan, dan keamanan, menempatkan para pihak pemegang peran, sering juga disebut pemangku kepentingan, menempati posisi penting dan strategis. UULAJ telah mengatur melalui norma-normanya bagaimana seharusnya para pemegang peran ini bertindak atau berperilaku di jalan, berikut hak dan kewajiban yang menyertainya.
Dari sinilah hukum bekerja sebagai suatu fakta in concreto, yang dilakukan oleh individu-individu yang terlibat di dalamnya. Idealnya, para pemegang peran diharapkan berperilaku sesuai dengan norma atau aturannya, walaupun hal ini merupakan sesuatu yang sulit karena berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
Bisa dipahami bahwa dalam proses bekerjanya hukum menempatkan manusia pada posisi sentral. Ini terjadi karena proses legislasi sampai aplikasi dilaksanakan dan menjadi otoritas manusia, di mana pada tataran operasionalnya diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam tulisannya, Satjipto Rahardjo, penggagas pemikiran hukum progresif di Indonesia, secara tegas memasukkan perilaku (manusia) sebagai unsur penting dalam hukum, bahkan menempatkan perilaku manusia tersebut di atas peraturan. Menurutnya, kasus di Indonesia, proses hukum masih lebih dilihat sebagai proses peraturan daripada perilaku mereka yang terlibat di situ (Satjipto Rahardjo, 2009: 34).
Faktanya, soal ketidaktertiban di jalan dan tingginya angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebagian terbesar disebabkan oleh perilaku manusia.
Hasil penelitian yang dilakukan Haryono mengenai interaksi faktor-faktor penyebab kecelakaan lalu lintas di jalan tol menunjukkan bahwa faktor pengemudi merupakan penyebab kecelakaan yang paling besar pengaruhnya (digilab.ui.ac.id). Dalam survey lain ditemukan bahwa terdapat 10 penyebab utama terjadinya kecelakaan, 6 di antaranya dipicu oleh sikap dan keteledoran pengemudi seperti ketidakdisiplinan, kelelahan, emosional dan karena pengaruh minuman keras / narkoba. Faktor human error sebagai penyebab kecelakaan mencapai 91% (alchemize.multiply.com).
Menyimak fenomena tersebut, sudah saatnya kita perlu memberikan perhatian lebih serius pada perilaku brutal masyarakat dalam berlalu lintas, sebelum kebrutalan di jalan mengancam kenyamanan hidup kita yang sebagian dihabiskan di jalan.(10)
— Nurul Huda SH MHum, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
Wacana Suara Merdeka 27 Februari 2010
26 Februari 2010
» Home »
Suara Merdeka » Budaya dalam Hukum Berlalu Lintas
Budaya dalam Hukum Berlalu Lintas
Thank You!