13 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Surat terbuka buat Mendagri Gamawan Fauzi : Mewaspadai Gurita Korupsi Pilkada 2010

Surat terbuka buat Mendagri Gamawan Fauzi : Mewaspadai Gurita Korupsi Pilkada 2010

Decentralization could lead to development of greater administrative capability among local government and private institutions in the regions and provinces...(G Shabbir Cheema, Dennis A Rondinelli (ed), Decentralization and Development, 1983). Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah....

ALASAN desentralisasi dalam pandangan Cheema dan Rondinelli itu adalah untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga di daerah. Persoalannya bukan hanya siapa yang memimpin, melainkan bagaimana atau proses seperti apa dilakukan sehingga menghasilkan kepala daerah yang memiliki kapasitas pemimpin yang diteladani?


Demikianlah gugatan kita terhadap pemilihan kepala daerah (pilkada) di 246 daerah (7 pemilihan gubernur, 204 bupati, dan sisanya wali kota) tahun 2010, agar melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) menghasilkan gubernur, bupati, atau wali kota yang berkualitas, legitimated dan berkarakter pemimpin teladan dan patriotik?

Kalau kita selisik secara paradigmatik, pilkada di 246 daerah itu dapat dicermati secara fungsional maupun struktural. Secara fungsional kita cenderung mengutamakan prosedur pilkada, dari dasar legalitas, pendanaan, penyelenggara, waktu, hingga tahap pelaksanaan.

Ini tidak salah, tetapi jika tidak cermat pemilih akan dijadikan 'objek' untuk mendulang suara bagi 'proyek politik' para kontestan. Sebaliknya, jika mendesain pilkada berdasar pemikiran strukturalisme, pemilih menjadi partisipan yang sadar menyalurkan hak pilihnya di bawah rezim 'kedaulatan rakyat'. Paradigma bukan sekadar pengayaan intelektual, tetapi menggugat nilai-nilai dan menekan dampak yang akan ditimbulkan.

Gurita korupsi

Dampak itu, antara lain publik mengkhawatirkan terjadi gurita korupsi. Dalam berbagai kesempatan, Mendagri Gamawan Fauzi yakin bahwa setiap daerah yang akan menggelar pilkada telah mengalokasikan dana dalam APBD tahun 2010, sehingga ia optimistis pelaksanaan pilkada aman (Media Indonesia, 6 Januari 2010).

Mendagri optimistis pelaksanaan pilkada berjalan baik kalau disiplin berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 atau perubahannya UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, serta tuntunan pelaksanaannya berdasarkan Permendagri No 44 Tahun 2007. Kita mendukung optimisme Mendagri, tetapi sepantasnya dipertimbangkan kembali dampak demokrasi secara prosedural dan efektivitas penggunaan uang rakyat dari APBD.

Bambang Wijoyanto (22/12/09) dari Legal Advisor Partnership misalnya menyatakan, pilkada serentak di begitu banyak daerah dikhawatirkan berdampak korupsi masif dan menggurita. Ketakutan Wijoyanto beralasan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada adalah ajang penghamburan uang negara, dana pribadi, sumbangan yang legal dan tidak legal, serta tidak pernah diaudit auditor independen.

Tak mengherankan kalau banyak pemilih memandang perhelatan politik untuk mewujudkan demokrasi lokal itu sebagai 'lahan baru' mendapatkan mata pencaharian bahkan rezeki nomplok. Daerah-daerah menyampaikan persoalan beragam. Provinsi kaya seperti Riau dan Kutai Kartanegara (Kukar) mengalokasikan ratusan miliar rupiah untuk biaya pilkada bukan menjadi persoalan.

KPU Kalteng mau boikot pilkada, kalau pemda provinsi tidak mengabulkan permintaan dana Rp140 miliar. Di sisi lain, KPU daerah Sumbawa Besar NTB mengeluh biaya pilkada naik 500%, dari Rp4 miliar tahun 2004 menjadi Rp21 miliar tahun 2010. Bahkan KPUD NTT menyatakan pilkada terancam batal karena kekurangan biaya. Belum lagi jeritan daerah miskin lainnya.

Atas alasan high-cost dan belum matangnya persiapan, maka Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR-RI (F-PDI Perjuangan), meminta penundaan pilkada, dengan merujuk Perppu No 3 Tahun 2005. Misalnya makna klausul 'gangguan lain' dalam Pasal 36A Perppu itu, bisa memayungi penundaan pilkada, apalagi jika DPT amburadul seperti pada pemilu lalu.

Senada dengan itu, mantan Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti (28/10/09), Hadar N Gumay dari Cetro (26/11/09), sebelumnya meminta pemerintah tidak memaksakan pilkada tahun 2010, baik karena belum ada pegangan legal perundangan maupun persiapan teknis. Tetapi Mendagri menampik bahwa semua sudah aman, lalu?

Transformasi birokrasi

Pertanyaan mendasar, apa tujuan pilkada? Kita menolak kalau proses yang tidak matang itu akan menghasilkan deretan 'raja-raja baru' yang bergaya elitis dan diam-diam sibuk mengembalikan modal yang mereka habiskan setelah jorjoran saat kampanye.

Pilkada tidak sekadar menghasilkan sepasang wakil rakyat yang dinobatkan sebagai 'eksekutif daerah', tetapi terutama memastikan terjadinya transformasi. Transformasi yang paling nyata ialah melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan secara jujur dalam membuat kebijakan yang mendahulukan rakyat kecil dan tersingkir.

Transformasi harus dimulai dari birokrasi yang selama ini dituduh melakukan 'malapraktik' birokratisme yang oligarkis, borjuis, priayi, dan otoritarian, maka disebut 'patologi birokrasi'. Transformasi birokrasi rasional berciri 'weberian' (prinsip birokrasi menurut Max Weber).

Imperatif transformasi birokrasi weberian diarahkan minimal, pertama seorang pejabat birokrasi adalah pribadi yang bebas, namun harus dibedakan antara kepentingan pribadi dan jabatannya. Kedua, menciptakan hubungan hierarkis secara vertikal maupun horizontal, dengan mengamendemen UU 32/2004, tidak untuk mengembalikan hubungan hierarkis gaya Orba, tetapi fungsional-koordinatif yang terikat penugasan negara bukan sekadar kepentingan daerah otonom.

Ketiga, setiap pejabat harus membuat kontrak jabatan sesuai job-description. Kecuali itu, birokrasi weberian juga mensyaratkan kompetensi dan kualitas individual, serta pengendalian dan pengawasan pelaksanaan tugas secara sistemik (bdk Miftah Thoha, 2003).

Publik menunggu hasil perhelatan demokrasi lokal yang akbar 2010 itu jangan sampai menggerus makna transfer kewenangan (dispertion of power), menjadi 'transfer of corruption' dari pusat ke daerah seperti dikeluhkan selama ini. Asas keleluasaan (discretion of power) yang dimandatkan UU 32/2004 jangan terus mengeksploitasi sumber daya atas dalih memperbesar PAD (pendapatan asli daerah).

Kontrol fiskal

Akhirnya, menyambut pentas demokrasi prosedural di tingkal lokal 2010 harus pula didasari kontrol fiskal yang ketat. Pola pengelolaan desentralisasi fiskal kita dipusatkan pada pengembangan kapasitas sesuai kebutuhan daerah (fiscal need). Tiap daerah tidak memiliki kemampuan yang sama (fiscal-gap), sehingga formula penentuan besarnya dana alokasi umum (DAU) pun disesuaikan.

Politik fiskal harus konsisten memperhatikan proporsi belanja/pengeluaran daerah (local spending) agar belanja publik wajib lebih besar, bahkan mencapai 70% sampai 80% dari APBD, daripada belanja aparatus. Pemerintah telah menggelontorkan sekitar 60% dari Rp1.047,7 triliun APBN 2010 ke daerah, dengan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) DAU untuk 33 provinsi dan 490 kabupaten/kota sebesar Rp203,5 triliun, belum lagi belanja lain seperti dekon, tugas pembantuan (medebewind), PNPM Mandiri (bdk Media Indonesia, 6/1/2010).

Artinya, belanja pilkada yang dianggarkan dalam APBD jangan sampai mencaplok hak rakyat untuk mengembangkan daerahnya, mewujudkan pemerataan kesejahteraan, dan tidak menghasilkan birokrat penambah daftar gurita korupsi. Pengendalian fiskal melalui kontrol kelayakan spending dilakukan transparan, pertanggungjawaban penggunaan dana pilkada harus transparan, diaudit akuntan independen, dan disampaikan ke publik melalui media massa nasional dan lokal. Yang paling hakiki, kita tidak menggunakan dana APBD untuk menggiring pemilih menjagokan calon kepala daerah yang didukung partai penguasa (the rulling party). Keputusan di tangan Pak Menteri, Anda ada untuk rakyat.

Oleh Ansel Alaman Pemerhati Politik Parlemen Indonesia, tinggal di Jakarta
Opini Media Indonesia 14 Januari 2010