Kalau benar JK sudah mengukir sejarah, dan kalau benar apa yang dikatakan banyak tokoh--rata-rata tokoh terkemuka dalam berbagai bidang--yang memberi kesaksian secara tulus di dalam buku Mereka Bicara JK, sadarlah kita bahwa dari kebudayaan politik yang belum sangat mapan ini ternyata kita bisa menemukan jejak orang besar.
Kita merasa menjadi seperti pemburu harta karun, yang tercengang, mengalami apa yang disebut lucky strike karena tanpa diduga kita menemukan mutiara dalam 'lumpur' yang semula tampak seperti mustahil. Sudah lama kita 'mengutuk' diri sendiri sebagai bangsa yang tak lagi memiliki pemimpin besar, yang berani menghadang risiko.
Lama kita membenarkan sinyalemen Bung Hatta bahwa zaman besar demi zaman besar berlalu tanpa menemukan orang besar. Keadaan kini berbalik: zaman besar, yang penuh tantangan, itu kini malah kita serahkan orang-orang kecil, agar mereka yang mengurusnya, dan kita biarkan orang besar asal Bugis itu 'meninggalkan' kita.
Beliau telah pergi dari dunia politik resmi, dan kita melihat punggungnya. Malam itu ketika dia berpidato dengan rileks, tanpa sok penting, seperti umumnya pejabat, kita bahkan tidak cuma melihat punggung, tapi juga melihat keutuhan jiwanya. Kita tiap saat melihat Jusuf Kalla, lalu Jusuf Kalla, dan kemudian Jusuf Kalla lagi.
Sosok pribadinya utuh, tak tereduksi aturan protokoler apa pun, baru kemudian melihat wakil presiden. Banyak pejabat yang ingin sok sederhana, tapi tidak autentik. Mereka gagal karena tidak tahu-menahu sama sekali bahwa tampil sederhana itu bukan perkara sederhana.
Bagi JK, hidup sederhana merupakan pilihan politik, seperti teladan Sayidina Ali, sang khalifah, bahwa pemimpin harus sederhana. Apalagi pemimpin sebuah bangsa yang mayoritas masih--maaf--miskin dan kurang pendidikan ini. JK bisa menjaga citra dengan memakai keris Bugis, gelang emas, arloji emas dan apa saja yang membuatnya mencorong.
Namun, betapa terkutuk pemimpin macam itu. Pilihan simbol pemihakan pada rakyat itu tak berhenti di simbol. Komitmennya jelas. Sikapnya pun jelas. Dalam kaitan dengan urusan ekonomi, dialah yang tegas dan autentik berkata: pasar modal penting, tapi Pasar Tanah Abang--pasarnya rakyat--lebih penting. Dialah yang pertama kali berteriak tentang skandal Bank Century.
Dalam urusan politik dan keterbukaan dia bilang, di depan para pemimpin redaksi, "Saya tidak menutup diri dari kritik. Namun, jangan saya dihina. Kritik dan hinaan hampir tidak berbeda tapi kita bisa merasakannya. Kita bangga melihat media kita mengkritik Perdana Menteri Australia, tapi kita kaget dan merasa tak enak ketika melihat media Australia membalas dengan mengejek presiden kita".
Malam itu, Rabu, 21 Oktober 2009, di Grand Ballroom Hotel Sultan, National Press Club of Indonesia, organisasi yang dipimpin anak-anak muda, menyelenggarakan jamuan yang dirahasiakan pada JK, untuk memberinya kejutan di hari pertamanya sebagai bukan wakil presiden lagi.
Beberapa saat sebelumnya, mereka telah menyiapkan sebuah buku, Mereka Bicara JK, yang terdiri dari pemikiran, penilaian, sorotan, dan kenangan tentang JK. Nada buku itu--maklum karena suasananya yang 'emosional'--penuh puja-puji terhadap segala kelebihan pribadi JK.
Ada ungkapan agak naif, dan dalam tulisan itu semua hanya pujian, karena kedekatan atau karena kekaguman. Yang lain, sikap hormat, sikap bersahabat, dan kritis. Ada pula pujian tersembunyi yang diungkapkan secara dewasa sambil mungkin merasa orang dewasa tak perlu memuji orang dewasa lainnya.
Ada pula pujian yang diwarnai rasa bangga kedaerahan yang menyebut JK tokoh Indonesia Timur. Itu salah total. Kapan JK menjadi lurah, atau camat di Sulawesi Selatan, atau di wilayah Indonesia Timur lainnya? JK tokoh Indonesia, pemimpin bagi bangsa Indonesia, seperti halnya Bung Hatta, atau Bung Karno, yang kita mitoskan itu.
Di tengah bunyi musik, gelak tawa, dan suara pengarah acara yang bersemangat itu, pelan-pelan saya menyerap suasana psikologis yang nyaman, tidak bernada 'cari muka' apalagi 'menjilat'. Secara resmi JK tak bisa 'dijilat' lagi. Lain bila dia baru hendak naik panggung.
Maka terasalah suasana persahabatan itu dari para penyelenggara, tokoh-tokoh muda tadi, dan para hadirin, para mantan anak buah dan sahabat-sahabat JK. Saya tamu gelap. Niat untuk tahu, bagaimana orang kita menghormati mantan wakil presidennya, membuat saya tak peduli bahwa saya tak diundang.
Kemudian saya tahu, 'salam' perpisahan itu manis, dan meriah, tidak kalah dari acara sambutan bagi tokoh yang baru terpilih. Sudah mantan saja masih bisa bikin dunia pers gegap gempita. Apa ini artinya, bila bukan tanda kebesaran JK? Inilah ungkapan jiwa 'publik', yang belum tentu membuat JK mabuk pujian. Sikap egaliter, kata banyak pihak, lebih disukainya.
Saya pun tidak men- 'dewa'-kannya. JK banyak kekurangan juga. Kosakatanya dalam diskursus politik dan kebudayaan tidak komplit. Artikulasi politiknya sering tak canggih. JK pun tak berbahasa Inggris sebagaimana para 'pengagum' Amerika di sekitar kita. Namun, JK tidak minder.
Dari seorang menteri asal Sulawesi Selatan saya dengar JK pernah memanggil para dubes negara-negara sahabat dengan sikap sangat serius. Maka, ketika para dubes itu sudah lengkap tanpa basa basi diplomatik langsung JK bertanya dalam bahasa Inggris Sulawesi Selatan: "You know why here? You," kepada seorang dubes, "..stop killing people in Aceh.
Don't train people to kill again. Ok?" Dan kepada yang lain: "You, don't send weapons again. Right?" Sikapnya to the point, tanpa basa-basi. Kita menerimanya karena yang penting, pesan pokok itu sampai. Dia tak perlu mengendapkannya dulu. Dalam keadaan darurat, pemimpin tak perlu berfilsafat.
Semua gagasan dianggap sudah mengendap. Ini memerlukan keberanian luar biasa. Tidak semua pemimpin memiliki kompetensi itu. Ketika masih ketua kantor berita Antara, saya lapor JK--karena lapor para pejabat tinggi lain diabaikan--mengenai Wisma Antara, yang sebenarnya bukan milik negara, melainkan milik swasta.
Cepat bagai kilat, JK baca dan disposisi surat saya itu kepada stafnya: "Selamatkan Aset Bangsa." JK sendirilah--bukan saya--yang kemudian menangani perkara itu. JK bisa saja bilang, ini bukan wewenang saya, bukan wilayah saya. Namun, sebagai wakil presiden, JK bertindak.
Oleh Mohamad Sobary Budayawan
Opini Media Indonesia 14 Januari 2010