Oleh Ahmad Fuad Fanani
Bangsa Indonesia masih merasakan duka yang mendalam atas wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang meninggal pada 30 Desember 2009. Sampai hari ini, harapan dan dukungan masyarakat agar Gus Dur diangkat menjadi pahlawan nasional, terus mengalir deras. Keistimewaan Gus Dur jika kita bandingkan dengan mantan presiden Indonesia lainnya adalah harapan besar dan perlakuan para intelektual serta masyarakat kepadanya, hingga saat-saat terakhir beliau. Ketika Gus Dur menjadi presiden pun, harapan demokrasi dan perjuangan aspirasi Islam banyak dititipkan kepadanya. Ketika Gus Dur turun, beliau tetap dihormati dan bahkan disambut layaknya pahlawan perang yang baru pulang dari medan laga. Gus Dur justru dianggap kembali ke panggung rakyat, yang akan lebih efektif sebagai wahana perjuangannya untuk menegakkan demokrasi.
Gus Dur adalah satu fenomena yang sangat menarik untuk diamati dan diperbincangkan setiap saat. Bahkan, menurut Sobary (2000), Gus Dur ibarat salah satu teks enigmatik yang senantiasa terbuka untuk dibaca dan ditafsirkan. Gus Dur pun menjadi teks yang kadang mempermainkan penafsirnya. Apalagi, bila Gus Dur dihubungkan dengan NU dan demokrasi, maka semakin rumitlah pembacaan atas "teks Gus Dur" tersebut.
Menurut Derrida, salah satu teks akan senantiasa berkaitan konteks realitas sosial. (K. Bertens, "Filsafat Barat Abad XX", 1995). Satu teks tidak bisa berdiri otonom tanpa sokongan konteksnya. Dan konteks yang ada pada Gus Dur, sebagian besar adalah NU dan wacana demokrasi. Untuk membaca teks itu dengan benar, kita harus berani mendekontruksinya atau melakukan pembacaan ulang yang tidak monolitik.
Kenapa NU? Sebab, Gus Dur adalah Ketua Umum PBNU selama tiga periode, yang berbeda atau nyleneh dengan tradisi ketua sebelumnya. Gus Dur adalah orang yang berjuang mengembalikan NU ke Khittah NU 1926 dengan menjaga jarak pada politik praktis. Akan tetapi, Gus Dur pula yang menyeret NU ke politik praktis dengan PKB dan saat menjadi presiden. Gus Dur pula yang banyak memberikan angin segar pada kaum muda NU, dengan pengenalan pada wacana liberalisme, demokrasi, HAM, pluralisme, dan ide-ide progesivitas lainnya. Dan Gus Dur pun menjadi kebanggaan eksistensial--meminjam istilah Jean Paul Sartre--pada mayoritas warga nahdliyin.
NU sebagaimana Gus Dur, memang fenomena yang menarik untuk diamati. Diakui atau tidak, Gus Dur dan NU sangat terkait dengan wacana demokrasi dan civil society di Indonesia. Gus Dur terkenal dengan pendekar pluralisme, toleransi, demokrasi, HAM, dan pejuang penghapusan ketertindasan serta ketidakadilan. Bahkan, Gus Dur pun menjadi pendiri sekaligus ketua Forum Demokrasi yang menjadi penyeimbang ICMI. Sebab menurut dia, ICMI adalah organisasi elitis dan terkooptasi oleh pemerintah.
Para pemikir muda NU pun banyak yang terpengaruh dan terinspirasi oleh ide-ide Gus Dur. Ketika Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU, yang tampak di permukaan adalah pemikir-pemikir muda yang brilian dan penuh harapan. Seperti Aqil Siradj, Fajrul Falakh, Masdar F. Mas`udi, Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lainnya. Dan menurut peneliti asing seperti Martin Van Bruissen, Andri F. Feillard, Greg Barton, dan lainnya, pada NU dan Gus Durlah harapan civil Islam dan demokrasi layak disematkan. Terbukti dengan banyaknya pelatihan-pelatihan dan advokasi yang diadakan oleh NU dan pesantrennya.
Kita semua bisa mengingat secara jelas, keadaan menjadi terbalik justru ketika Gus Dur menjadi presiden. Warga NU membela Gus Dur dengan segenap harta, tenaga, dan pikirannya. Bahkan, sering muncul pembelaan yang tidak masuk akal. Banyak pula muncul pasukan berani mati (PBM) yang menakutkan di Jawa Timur.
Lantas bagaimana sebenarnya demokrasi di dalam dan di luar NU sendiri? Sebetulnya, Gus Dur dan NU belumlah demokratis dalam dirinya sendiri. Itu terlihat dari fenomena terpilihnya Hasyim Muzadi dan Matori Abdul Jalil menjadi Ketua PBNU dan PKB beberapa waktu yang lalu. Meskipun mayoritas muktamirin menganggap figur Aqil Siradj dan Alwi Shihab yang lebih tepat memimpin, tetapi karena Gus Dur tidak memilihnya, maka pupus dan buyarlah harapan tulus itu.
Gus Dur dan para kiai ternyata tetap menerapkan konsep hegemoni ala Antonio Gramsci, kepada para pendukung dan pengikutnya. Meskipun dalam wacana mereka sangat demokratis, tetapi dalam tindakan sangatlah jauh dari sikap itu. Mereka masih berperilaku feodal, mengandalkan kharisma, dan membanggakan aspek keturunan (Mastuhu, 1994).
Terlepas dari itu, jasa-jasa Gus Dur untuk mencerdaskan bangsa ini dan mendorong demokratisasi sangatlah besar serta harus diberikan apreasiasi yang setara. Sesungguhnya perjuangan Gus Dur belumlah final dan kewajiban kita semua untuk meneruskan perjuangan itu, dengan segenap anak bangsa. Sebab, masih banyak agenda demokratisasi di luar negara yang belum terselesaikan dan tidak mungkin tertuntaskan tanpa dukungan masyarakat (Anthony Giddens, 1999).
Oleh karena itu, perjuangan Gus Dur untuk mempromosikan dan menegakkan demokrasi dan pluralisme harus diteruskan bersama para pengikutnya dan anggota masyarakat yang lain. Wallahu a`lam bisshawab.***
Penulis, kader Muhammadiyah, Peneliti di Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP)
Opini PIkiran Rakyat 14 Januari 2010