Semua program 100 hari kabinet yang direncanakan sudah hampir 100 persen. ”Dari implementasi di lapangan, tidak ada yang terhambat,” ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa (Newslinksmc, 12/1).
Pesan singkat yang disebar ke berbagai nomor telepon seluler ini terasa begitu ”mewah” ketika sampai ke tangan para aktivis. Betapa tidak, angka yang dipakai adalah bilangan sempurna: 100 persen! Kalau benar demikian, berbagai sektor sudah harus sangat terasa meningkat kualitasnya. Terutama karena kesempurnaan 100 persen ini adalah kesempurnaan lanjut(k)an dari lima tahun pemerintahan sebelumnya.Untunglah masih ada Arthalyta Suryani (Ayin) dan Anggodo! Eksistensi dan kata-kata kedua orang ini mampu menunjukkan sesuatu yang melenceng dalam menilai kinerja pemerintahan selama ini, paling tidak dalam hal penegakan hukum. Ternyata pencitraan lebih penting ketimbang implementasi niat.
Dalam berbagai hal terdapat kesamaan antara Ayin dan Anggodo. Keduanya terkenal karena rekaman percakapan mereka dengan aneka aparat penegak hukum yang diperdengarkan kepada publik. Percakapan Ayin ditampilkan di persidangannya, sedangkan Anggodo di Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 3 November 2009.
Setelah dijatuhi hukuman, Ayin melanjutkan eksistensinya dengan ”hidup mewah di hotel prodeo bintang lima” (begitu judul berita Kompas, 12/1). Ayin eksis dan diistimewakan dalam hampir semua hal. Ayin bisa mengundang bawahan untuk rapat bisnis, punya ”asisten pribadi”, dan dapat menikmati perawatan kulit. Barangkali masih banyak kemewahan lain yang kalau terus disebutkan pasti menyayat hati sesama penghuni yang harus berdesakan 20 sampai 30 orang di ruangan yang kurang lebih sama luasnya!
Sudah rahasia umum bahwa fenomena pengistimewaan di penjara (rutan ataupun lapas) sudah berjalan begitu lama. Menyusul dibukanya rekaman pembicaraan Anggodo di MK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus mencanangkan program ganyang mafia hukum, bahkan kemudian membentuk satuan tugas khusus. Namun, amat konyolnya, hingga hari Minggu (10/1) tekad Presiden Yudhoyono seolah diingkari sendiri oleh bawahannya, mulai dari Menteri Hukum dan HAM, Dirjen Pemasyarakatan, Kepala Kanwil Kemhukham, hingga Kepala Rutan Pondok Bambu (dan pasti beberapa lapas dan rutan lain di Indonesia) yang memberi perlakuan istimewa kepada Ayin dan para tahanan superkaya atau VIP lainnya.
Padahal, penegakan hukum serta ganyang makelar kasus sudah ditonjolkan sebagai bagian amat penting dari Program 100 Hari Yudhoyono-Boediono. Terbukti tekad besar memberantas mafia peradilan hanya dicitrakan ”seolah-olah serius” dengan membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang diketuai Kuntoro, tetapi disambut dingin dan business as usual di lapangan. Ini benar-benar tamparan bagi wibawa seorang presiden! Orang lalu berspekulasi, jangan-jangan karena Ayin dekat dengan Presiden Yudhoyono yang memang pernah menghadiri acara pernikahan anak Ayin.
Begitu pula dengan Anggodo, hingga kasusnya diserahkan dari kepolisian kepada KPK, aparat belum menemukan tuduhan yang layak dikenakan kepadanya. Anggodo pasti bisa saja diduga memiliki ”keistimewaan” tertentu di mata Presiden. Terbukti, Presiden tidak melaporkan Anggodo ke kepolisian atas pencatutan namanya (sebagai simbol negara ini) dalam rekaman percakapan Anggodo. Kebijaksanaan itu terbukti menunda Anggodo dari ancaman penjara.
Fenomena Ayin dan Anggodo barangkali juga terjadi di berbagai sektor yang telah dipukul rata hasil evaluasi kinerjanya. Salah satu kemungkinan terlahirnya hasil evaluasi yang begitu sempurna adalah ”terpenjaranya” pemerintah ini pada pernyataan atau kemasan pencitraan. Bahkan, Presiden mungkin saja ”terpenjara” oleh laporan-laporan bawahannya yang terus menyatakan semua sudah berjalan mantap. Sebelumnya, dari berbagai media terdengar angka rata-rata 92 persen dan kini malah makin memuaskan.
Dengan kenyataan ini, sekarang semakin diperlukan sebuah evaluasi ilmiah yang jernih oleh kalangan aktivis yang kabarnya akan melakukan aksi seputar 100 Hari Yudhoyono-Boediono, 28 dan 29 Januari. Sayangnya, elemen aktivis terlihat makin terpolarisasi atau mulai terlihat tidak fokus. Sebagian tanpa reservasi membela Sri Mulyani dan Boediono karena mereka yakin bahwa keduanya tidak menerima aliran dana Century. Sebagian lainnya mencoba lebih berpikir luas. Mereka menyadari ”orang pintar” tetap saja bisa tertipu (dalam proses rapat-rapat ataupun tanggal dan jumlah pencairan dana talangan); atau mungkin tak kuasa menahan ”tekanan”. Bagi aktivis kelompok ini, yang penting tak boleh ada bawahan yang dijadikan tumbal.
Sebagian lagi memasang rasa curiga. Antara lain dugaan bahwa ada penumpang gelap dalam berbagai demo karena ingin membalas dendam pada gebrakan Sri Mulyani sebagai ikon reformasi. Buktinya, ada alat-alat demo yang seragam dan tersebar luas, antara lain melukiskan Sri Mulyani dengan atribut ”vampir”.
Tampaknya, sebuah evaluasi ilmiah dapat membantu para aktivis keluar dari ”penjara” yang mereka bangun sendiri. Tanpa itu, hasil evaluasi 100 hari yang begitu sempurna versi pemerintah hanya akan ditandingi aksi yang sporadis dan sekadar meriah saja. Bahkan, makin marak adegan bakar ban dan foto sampai sembelih ayam hidup. Atau yang meneriaki Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani dengan kata ”maling”. Semuanya ini jauh dari citra elegan.
Opini Kompas 14 Januari 2010