KONTROVERSI mengenai penggunaan kata ''Allah'' bagi non-Islam yang terjadi di Malaysia kini telah menjadi perhatian publik internasional. Bukan hanya bagi umat Islam, melainkan juga berbagai pihak di dunia.
Isu tersebut juga merupakan sesuatu yang berkaitan secara langsung tidak langsung bagi publik Indonesia. Selain karena isu yang menyentuh Islam, juga terkait dengan situasi negara jiran yang pada akhirnya akan memerngaruhi situasi regional.
Kontroversi tersebut bukanlah isu baru, bahkan berlangsung sejak 2007. Hanya, kasu menjadi besar karena dipicu oleh keputusan Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur pada 31 Desember 2009. Dalam keputusannya, hakim lau Bee Lan membenarkan penggunaan kata ''Allah'' oleh surat kabar Katholik Herald-The Catholic Weekly terbitan Gereja Katolik Roma, Malaysia.
Saat ini perkembangan kasus tersebut meluas menjadi aksi-aksi anarkis perusakan tempat ibadah. Hingga kini, telah terjadi penyerangan dan pembakaran lebih dari tujuh gereja yang dilakukan oknum tertentu. Bahkan, kini polanya semakin terorganisasi dan meluas. Malaysia mulai menghadapi situasi kritis di ambang konflik sosial yang bisa merusak hubungan antaragama dan etnis.
Dimensi Kontroversi
Untuk memahami gejolak tersebut, kita perlu menyelami lebih dalam dimensi di balik kontroversi tersebut. Mengapa sedemikan besar respons umat Islam terhadap hal itu. Mengapa juga hal itu tidak ditemukan di belahan dunia lain.
Setidaknya terdapat tiga dimensi besar yang berkaitan dengan kontroversi kata ''Allah'' ini bagi publik dan umat Islam Malaysia. Ketiga dimensi itu merupakan sesuatu yang asas dan sensitif dalam kehidupan bernegara dan beragama di Malaysia.
Pertama, dimensi konstitusi negara. Akta Perlembagaan Persekutuan Negara Malaysia dalam artikel 3 (1), artikel 11 (4) dan artikel 160 menyatakan, ada tiga komponen utama hubungan negara, etnis, dan agama. Yakni, Islam sebagai agama resmi negara, penyatuan etnis Melayu dengan identitas Islam, dan ketentuan larangan dakwah agama lain terhadap penganut Islam.
Dengan demikian, Melayu dan Islam di Malaysia merupakan faktor vital dan terlegalisasi dalam konstitusi negara serta bersifat mengikat. Setiap isu yang berkaitan dengan Melayu dan Islam akan direspons luas oleh publik.
Pihak yang kontra terhadap keputusan Mahkamah Tinggi menyatakan bahwa kata ''Allah'' ini adalah identitas eksklusif agama Islam. Karena itu, tindakan penggunaan kata ''Allah'' bagi agama selain Islam merupakan bagian dari ''serangan'' terhadap konstitusi negara.
Kedua, dimensi sosial keagamaan. Terdapat jurang yang cukup besar dalam kehidupan sosial keagamaan di Malaysia. Khususnya menyangkut Malaysia Barat atau Semenanjung Sabah dan Serawak di Malaysia Timur.
Sebagai agama resmi negara, Islam memang dikembangkan di negara itu. Terutamanya di wilayah semenanjung atau Malaysia Barat yang didominasi Melayu dan Islam. Sedangkan Malaysia Timur, lokasi Sabah dan Sarawak, merupakan wilayah yang bukan termasuk mayoritas Melayu dan umat Islam.
Berbeda dengan yang berlaku di semenanjung, sejak lama umat Kristen di wilayah Sabah dan Serawak menggunakan Injil terjemahan berbahasa Indonesia yang menggunakan terjemahan kata ''Allah''.
Ketiga, dimensi keyakinan. Khususnya adalah pemahaman akan Islam dan Melayu itu sendiri. Umat Islam di Malaysia menganggap bahwa mereka adalah benteng terakhir di dunia Islam yang menjaga kemurnian dan eksklusifitas penggunaan kata ''Allah'' hanya bagi Islam.
Pada faktanya, memang di Indonesia dan di banyak negara Arab, kata ''Allah'' memang lazim digunakan oleh agama non-Islam sebagai terjemahan kata Tuhan. Bagi mereka, di situlah letak permasalahan mendasar. Karena itu, mereka tidak ingin ''kesalahan'' tersebut juga terjadi pada Islam di Malaysia.
Dalam peradaban dan bahasa Melayu Malaysia, ''Allah'' adalah nama dan makna khusus bagi Islam yang telah didefinisikan menjadi terminologi Melayu. Kata Tuhan disediakan dalam bahasa Melayu sebagai definisi dan terjemahan bagi Tuhan agama lain. Hal itulah yang telah terlembagakan dalam institusi peradaban Melayu di Malaysia.
Politisasi
Meluasnya kontroversi kata ''Allah'' tentunya juga dipengaruhi oleh politisasi. Bahkan, politisasi isu ini lebih terlihat daripada substansi permasalahan.
Sejak Pemilu terakhir 2008, situasi sosial politik di Malaysia memasuki fase yang sangat rentan dan sensitif. 52 tahun kemerdekaan Malaysia hingga kini situasi harmonis hubungan perkauman atau etnisitas Melayu, Cina, India, dan lainnya cenderung semakin buruk.
Semakin banyak terjadi insiden yang muncul dan menimbulkan ketegangan antaretnis. Muncul juga gugatan-gugatan terhadap eksklusivitas Melayu dan Islam sebagai sendi negara. Karena itu, Melayu dan Islam, sebagai pihak mayoritas tipis dengan 60 persen populasi, kini semakin sensitif.
Dalam ranah politik saat ini, terjadi upaya perebutan pengaruh dukungan dari dua pihak yang menentukan bagi politik Malaysia, yakni Melayu dan Islam dan etnis non-Melayu dan nonmuslim. Pola perebutan pengaruh itu mendominasi pentas politik di negara ini.
Pihak pemerintah yang berasal dari Barisan Nasional dengan tulang punggung UMNO (Partai Melayu) menggagas konsep persatuan etnis "Satu Malaysia" dan cenderung memperkuat posisinya sebagai pembela Melayu dan Islam. Sedangkan kekuatan oposisi, melalui Pakatan Rakyat dengan tokoh Anwar Ibrahim, Partai Keadilan Rakyat (PKR), Partai Islam se-Malaysia (PAS), dan Partai Aksi Demokratik (DAP) yang mewakili etnis Tionghoa selalu memainkan isu keberpihakan kepada etnis minoritas non-Melayu.
Karena itu, bukan sesuatu yang aneh jika PAS sebagai partai Islam besar dan berpengaruh di Malaysia malah memosisikan sebagai pihak yang mendukung penggunaan kata ''Allah'' bagi agama non-Islam. Sedangkan pihak pemerintah Barisan Nasional dengan dukungan raja-raja Melayu, LSM, serta mayoritas umat Islam yang lain berdiri pada posisi penentang. (*)
*). Nabil Ahmad Fauzi, presidium Forum Kajian Politik dan Strategi (FKPS) Universiti Kebangsaan Malaysia
Opini Jawa Pos 14 Januari 2010
13 Januari 2010
Polemik Kata ''Allah'' di Malaysia
Thank You!