Oleh Happy Bone Zulkarnain
(Pemerhati Masalah Politik Luar Negeri dan Pertahanan)
Pada 19 Desember, tampaknya mayoritas perhatian seluruh penjuru dunia tertuju pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) megenai iklim dan perubahannya di Kopenhagen. Mereka juga amat berharap ada keputusan besar yang dapat diambil oleh 193 negara peserta pertemuan akbar tersebut.
Konferensi diharapkan pula mampu menghasilkan keputusan yang berdaya tangkal strategis dan meyakinkan dalam menyelamatkan planet bumi dari kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Sayangnya, pertemuan Kopenhagen tersebut tidak mencapai klimaks yang diharapkan oleh mereka yang gandrung akan suatu perubahan drastis dalam penyelamatan perubahan iklim itu.
Pertemuan 193 negara tersebut yang ternyata dalam 15 jam terakhir diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) bersama empat negara lainnya (Cina, India, Brazil, dan Afrika Selatan) hanya membuat catatan pada persetujuan baru (new accord ) yang bersifat tidak mengikat ( nonbinding ) dalam memerangi pemanasan global.
Prakarsa AS tersebut sempat berada di titik nadir karena ada lima negara lainnya (Sudan, Nikaragua, Kuba, Venezuela, dan Bolivia) dalam posisi menentang dan konferensi ditandai pula oleh hengkangnya 120 pimpinan negara lainnya.
Banyak negara yang kecewa karena tidak ada suatu keputusan yang benar-benar bersifat 'perubahan total', terutama mendorong perekonomian dunia pada pembaruan kebijakan energi, seperti hydrosolar dan wind-power yang menggantikan minyak bumi.
Presiden Barack Obama akhirnya juga mengakui bahwa pertemuan Kopenhagen masih merupakan 'langkah awal' dengan beberapa poin inti (tiga halaman). Pertama, akan dikucurkan bantuan 100 miliar dolar AS kepada negara-negara berkembang pada 2020 untuk memerangi dan mengurangi dampak polusi pemanasan global. Kedua, negara-negara industri juga harus mempunyai daftar target untuk mengatasi polusi atas pemanasan global. Ketiga, implikasi emisi karbon harus dapat diturunkan sehingga hal tersebut cukup untuk menjaga rata-rata temperatur global di bawah dua derajat Celcius.
Presiden Obama menyadari bahwa pemanasan global harus dihentikan. Bahkan, studi yang sudah dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pada 2050 atau lebih cepat dari itu akan terjadi migrasi besar-besaran (250 juta penduduk) di seluruh dunia akibat ancaman bahaya kelaparan dan kekeringan. Hal tersebut menjadi ancaman yang amat nyata bagi munculnya instabilitas geopolitik yang baru di wilayah Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
Di samping itu, Barack Obama sebenarnya sudah mempunyai enam rancangan untuk menghentikan pemanasan global sebagai bagian dari membangun kembali kepemimpinan AS yang pernah dikumandangkannya pada 2008 (Barack Obama, Change We Can Believe In , USA, 2008).
Beberapa rancangan tersebut sebagai berikut. Pertama, menurunkan emisi karbon AS sampai 80 persen pada 2050 melalui sistem perdagangan dan peringkat ketentuan cakupan pasar yang mendukung hal itu. Kedua, menciptakan forum energi global yang memperbarui kembali pascanegosiasi Kyoto Protokol. Ketiga, melakukan investasi sebesar 150 miliar dolar AS untuk menciptakan efisiensi energi, termasuk perwujudannya yang bersifat alami. Keempat, membangun alternatif baru untuk sumber-sumber energi melalui angin, solar, dan biofuels . Kelima, melakukan transfer teknologi dari AS ke negara-negara berkembang untuk memerangi perubahan iklim. Keenam, memberikan insentif kepada para petani yang melakukan pelestarian hutan dan berkelanjutan.
Kendati konteks Kopenhagen merupakan awal penting dari suatu pertemuan yang hampir gagal total (hancur); bagi umumnya negara berkembang, keputusan tersebut diakui amat pahit.
Pidato delapan menit Presiden Obama tidak hanya mengecewakan banyak pihak, tapi para demonstrator pun menempeli poster muka presiden AS tersebut dengan istilah climate shame (iklim yang memalukan).
Kehadirannya di Kopenhagen malah menjadi beban tambahan baginya ketika popularitas Presiden Obama di dalam negeri berada di tingkat yang cukup berbahaya ( rating di bawah 50 persen).
Kasus Kopenhagen punya arti penting dan makin membuka mata kita bahwa dinamika tatanan dunia mengalami perubahan yang cukup berarti, terutama AS yang selama ini kita anggap masih perkasa ternyata tidak dapat berbuat banyak.
Philip Stephens ( Gulf News , 19 Desember 2009) sudah memperkirakan bahwa hasil-hasil Kopenhagen tidak dapat menyelamatkan muka Obama ataupun AS khususnya.
Krisis ekonomi AS (Oktober 2008) tidak hanya membuat kelompok G-8 menjadi kekuatan yang legendaris, bahkan G-20 yang makin inklusif pun masih harus diuji keampuhannya.
Opini Republika 14 Januari 2010