Oleh Ki Supriyoko
Belum lama ini penulis "ngobrol" berdua bersama Menteri Pendidikan Muhammad Nuh sambil mengamati beberapa foto karya pelajar, mahasiswa, wartawan, dan masyarakat umum yang bertemakan pendidikan di Plaza Insan Berprestasi Departemen Pendidikan. Foto-foto yang kami amati adalah pemenang lomba foto yang diselenggarakan oleh Depdiknas.
Ketika sampai pada satu foto anak tunanetra yang sedang bersekolah, Pak Nuh terasa sangat "menikmati". Beliau meminta saya memandang foto itu dengan mata hati, maka akan terpancarlah aura dari anak tunanetra yang ada dalam foto tersebut.
Satu jam kemudian, ketika Mendiknas membuka secara resmi Pameran Lomba Foto Pendidikan, Pak Nuh kembali mengomentari aura yang terpancar dari anak tunanetra yang terpancar dalam foto tersebut dan meminta para hadirin untuk memandangnya dengan mata hati. Dari sana akan terpancar kekuatan sang anak tunanetra dengan segala kekurangannya untuk meraih pendidikan yang lebih baik.
Foto-foto pemenang lomba yang dipamerkan di aula Depdiknas hampir semuanya bernuangsa natural; ada foto anak berseragam sekolah di tengah hutan, foto anak sekolah berjalan di pematang sawah, foto anak sekolah di atas sampan, anak-anak belajar di ruang yang belum selesai dibangun, dan sebagainya. Hampir tidak ada foto pendidikan yang bernuansa modern; misalnya siswa belajar di ruang ber-AC, gedung sekolah dan kampus menjulang tinggi, ruang-ruang belajar yang dilengkapi hotspot, dan sebagainya.
Di belakang layar saya bertanya kepada panitia mengapa foto-foto yang memenangkan lomba dipilih foto yang bernuansa natural dan bukan foto yang bernuansa modern. Jawaban panitia, yang natural itulah yang menggambarkan realitas pendidikan di Indonesia.
Apa yang dinyatakan panitia lomba foto tersebut banyak benarnya. Bahwa sekarang ini banyak ruang belajar yang dilengkapi fasilitas laptop dan LCD projector untuk melipatgandakan produktivitas pembelajaran rasanya benar. Bahwa sekarang banyak ruang kuliah yang dipasangi hotspot sehingga memungkinkan mahasiswa dapat mengakses internet untuk memilih bahan ajar yang aktual juga benar. Namun, jangan dilupakan, gedung sekolah yang bobrok, ruang belajar yang tidak standar, perpustakaan yang kurang buku, orang tua yang buta huruf, dan sebagainya, jauh lebih banyak ketimbang gedung mewah dan ruang belajar yang serbalengkap.
Tidak usah ke Kalimantan, Sulawesi, atau Papua, tetapi di Jawa pun masih banyak yang seperti itu, misalnya di Gunung Kidul Yogyakarta, Pandeglang Banten, Garut Jawa Barat, Blora Jawa Tengah, Lamongan Jawa Timur, bahkan Kepulauan Seribu Jakarta. Anak-anak desa dengan segala kekurangannya itu masih harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk mencapai sekolah.
Jangan lupa pula, sampai kini terdapat jutaan anak sekolah yang belum dapat berkonsentrasi belajar karena keterbatasan ekonomi sehingga harus membantu kerja orang tua di pasar, sawah, ladang, tambak, dan sebagainya.
Sekolah marginal
Itulah sebabnya kita perlu mengapresiasi M. Nuh sebagai menteri pendidikan yang sangat memperhatikan sekolah marginal, sekolah yang fisik bangunannya sederhana, fasilitas belajar pas-pasan, jumlah dan pendidikan gurunya terbatas, dan berbagai kekurangan lainnya.
Sepak terjang Pak Nuh dapat memberi harapan bagi kemajuan pendidikan nasional kita. Beliau sangat jarang, bahkan salah satu stafnya bilang, belum pernah (berkenan) berkunjung ke sekolah-sekolah berkelas internasional dengan berbagai kemewahannya karena lembaga seperti itu tidak menggambarkan realitas pendidikan kita. Beliau lebih senang berkunjung ke sekolah biasa dan sekolah yang serbakekurangan. Pak Nuh bahkan pernah mengunjungi sekolah yang belum pernah dikunjungi pejabat di bawahnya ataupun pejabat dinas pendidikan setempat.
Kalau saja apa yang telah dan sedang diteladankan menteri pendidikan tersebut dapat diikuti para direktur jenderal, direktur, dan pemimpin di lingkungan departemen pendidikan, juga diikuti oleh pejabat dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, maka harapan atas kemajuan pendidikan nasional akan semakin terbuka.
Bukan seperti sekarang, kunjungan lapangan yang dilakukan pemimpin departemen pendidikan dan pejabat dinas pendidikan lebih bersifat "kunjungan instruksional". Kunjungan itu dirasakan civitas sekolah sebagai hal yang menakutkan daripada membahagiakan. Apalagi, bukan menjadi rahasia, banyak pejabat yang berkunjung tersebut meminta atau setidaknya mengharap diberi "amplop" atau upeti lainnya.
Sekolah-sekolah yang serbakekurangan tersebut ternyata mempunyai kekuatan untuk merealisasi tujuan pendidikan nasional sebagaimana aura yang dipancarkan oleh anak tunanetra dengan segala kekurangannya yang mempunyai kekuatan untuk meraih pendidikan yang lebih baik!!!***
Penulis, Direktur Program Pascasarjana Universitas Tamansiswa Yogyakarta, pembina Sekolah Unggulan Insan Cendekia Yogyakarta, serta pengasuh Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta.
OPini PIkiran Rakyat 19 Januari 2010