Oleh Dian Wardiana Sjuchro
Pornografi di dunia maya sudah lama menjadi masalah yang mengancam anggota keluarga kita. Pesatnya perkembangan teknologi informasi serta makin mudahnya akses terhadap internet, telah membuka mata kita untuk melakukan berbagai upaya meredam dampak negatif dari kemajuan teknologi tersebut. Dengan mudah bisa kita sebut banyaknya situs yang hanya menayangkan gambar serta film seronok, bahkan tidak ada sensor apa pun yang diberlakukan atasnya.
Akan tetapi, menganggap satu-satunya ancaman pornografi hanya dari dunia maya, mungkin keliru. Pornografi juga mengancam keluarga melalui media massa yang sangat akrab pada hampir semua keluarga di Indonesia, yaitu radio dan televisi. Media komunikasi massa yang secara normatif seharusnya mendorong pencerdasan masyarakat tersebut, sering juga tergoda untuk menjadikan seks sebagai komoditas jualan.
Polanya hampir selalu sama. Stasiun televisi yang sedang kesulitan keuangan cenderung menjual acara apapun kepada pemirsa. Harapannya tentu menangguk pemirsa dan pengiklan (serta uang) dalam jumlah yang banyak untuk menutupi biaya operasional televisi yang sangat tinggi.
Pola yang agak berbeda dilakukan oleh beberapa stasiun radio. Semakin malam, mereka cenderung memasang acara yang makin panas untuk menarik minat pendengar. Dalam persepsi mereka, pendengar radio malam adalah segmen pemirsa yang telah dewasa sehingga terbiasa dengan ungkapan-ungkapan spontan berbau pornografi.
Di masa lalu, ada suatu stasiun televisi di Jakarta yang sengaja menayangkan sinetron komedi yang para pemainnya berpakaian minim. Alur cerita sinetron tersebut tidak terlalu jauh dari seks, selingkuh, dan sejenisnya. Ketika ditegur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), stasiun televisi tersebut selalu mencoba berkilah dengan mengganti-ganti mata acara, meskipun content-nya tetap sama.
Di Bandung, ada stasiun radio yang dengan tujuan pendidikan seks, menyajikan acara seputar hubungan suami dan istri. Acaranya yang dibuat ringan menyebabkan pola acara sering terpeleset menjadi acara yang penuh dengan guyonan yang mengundang persepsi jamak. Setelah ditegur KPI, acara tersebut berganti menjadi ajang wicara (talkshow) tentang masalah seks yang mengikuti kaidah-kaidah ilmiah.
Ukuran-ukuran
Seks, kekerasan, gosip, dan fitnah adalah acara televisi serta radio yang selalu mendapat perhatian luar biasa dari KPI sebagai regulator penyiaran di Indonesia. Sejak pertama KPI menyusun Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS), keempat unsur tersebut selalu mendapat penekanan-penekanan dalam pasal-pasal yang intinya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan di media penyiaran. Sanksi-sanksi telah dipasang dengan kencang, dari mulai teguran sampai penghentian siaran. Akan tetapi, dalam persaingan media yang begitu ketat seperti sekarang ini, siapa bisa menjamin media penyiaran kita bebas dari seks, kekerasan, gosip, dan fitnah?
Sekarang orang sedang sibuk berdebat mengenai ukuran-ukuran apa yang dipakai oleh regulator dalam menetapkan bahwa acara tersebut mengandung unsur-unsur pornografi. Dengan mudah, pengelola televisi berkilah bahwa acaranya tidak mengandung muatan seks, meski jelas-jelas didesain dengan tujuan memuaskan naluri paling primitif manusia. Dengan mudah, pula pengelola radio berkilah bahwa acara pendidikan seks adalah bagian dari kemerdekaan berekspresi, meski secara ilmiah mereka tidak mampu mempertanggungjawabkan isi acaranya.
Ketika orang sibuk berdebat panjang lebar, diam-diam pornografi menyelinap ke ruang-ruang keluarga dalam bentuk program acara televisi dan radio. Siapa bisa mengontrol kejadian seperti ini ditonton anak-anak dan remaja kita? Tidak ada, bahkan KPI sekalipun sebagai regulator yang tengah diimpit aneka persoalan tentang eksistensi dirinya.
Pertahanan Diri
Seks atau pornografi adalah limbah dari industri yang bernama dunia hiburan. Tidak di media penyiaran, tidak juga di dunia maya, pornografi tetap mengintip anggota keluarga kita dalam berbagai bentuk dan kesempatan. Anak-anak dan remaja kita yang sudah terbiasa menyantap sajian sejenis, makin lama makin tumbuh menjadi pribadi yang permisif. Maka, dengan mudah kita saksikan anak remaja yang makin jauh dari bimbingan moral dan etika serta berperilaku jauh dari arahan agamawan dan rohaniwan.
Orang boleh berdebat lagi bahwa dampak media massa mungkin tidak sehebat apa yang dibayangkan oleh para ilmuwan. Bahwa media massa merupakan cerminan dari masyarakat. Artinya, masyarakat yang menyukai pornografi mendorong acara televisi yang pornografi pula. Akan tetapi, menyimak pendapat Elizabeth Noelle-Newmann, seorang sosiolog, media massa telah membentuk agenda masyarakat. Artinya, bila pornografi telah menjadi candu bagi masyarakat, media massa harus bertanggung jawab.
Di tengah kegalauan yang terjadi di dunia ilmiah, di tengah prahara yang melanda regulator, ada baiknya kita menyimak petuah seorang bijak. Nasihat Sang Bijak adalah "dampingi keluarga Anda bila sedang menonton televisi atau mendengarkan siaran radio atau mengakes dunia maya". Petuah lainnya, "meskipun Anda kaya raya, jangan pernah membiarkan anak dan remaja kita memiliki media penyiaran atau internet di kamarnya masing-masing".
Petuah Sang Bijak tergolong klasik, bahkan cenderung basi. Akan tetapi, sebenarnya itu adalah bentuk pertahanan keluarga terhadap limbah yang dihasilkan industri hiburan yang lebih sibuk memikirkan keuntungan finansial ketimbang pembentukan moral etika bangsa. Siapa pun warga negara Indonesia, pasti tidak menginginkan lahirnya generasi baru kita yang serbapermisif, serbaboleh, termasuk urusan seks, moral, dan etika. Oleh karena itu, pilihan sempit kita hanya mengikuti petuah dari Sang Bijak tersebut. ***
Penulis, komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat dan dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Opini Pikiran Rakyat 19 Desember 2009