18 Desember 2009

» Home » Kompas » Demokrasi Tanpa Substansi

Demokrasi Tanpa Substansi

”Kesetaraan semua manusia sebagai manusia bukanlah demokrasi melainkan sejenis liberalisme, bukan sebuah bentuk negara melainkan etika dan weltanschauung individualisme-humanitarian.”(Chantal Mouffe, Filsuf Politik)
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal George Toisutta menyampaikan pernyataan yang cukup mendebarkan. Beliau mengatakan, perbedaan jangan dijadikan alasan pembenaran untuk membiarkan terjadinya konflik dan kekerasan (Kompas, 17/12). Pernyataan ini sangat halus, tetapi menimbulkan kecemasan sipil.


Kalangan sipil menganggap pernyataan KSAD sebagai sinyal hipotetis masuknya kembali militer ke arena politik. Jika manajemen demokrasi oleh sipil justru membuat keadaan menjadi lebih buruk, militer sebagai penjaga resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa saja turun tangan. Saya pribadi tidak mengalami kecemasan itu. Saya lebih cemas terhadap watak demokrasi kita yang menimbulkan reaksi KSAD. Saya menyebutnya, demokrasi tanpa substansi.
Homogenitas
Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono membaca kesebangunan antara kecemasan Toisutta dengan kecemasan Soekarno dan Nasution (Kompas, 17/12). Sejarah mencatat, Soekarno menyelesaikan kecemasannya dengan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dekrit Presiden tersebut mengembalikan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional republik ini sekaligus membuka jalan bagi format demokrasi terpimpin. Intinya, demokrasi harus dipimpin oleh kebijakan konstitusional (constitutional wisdom) yang terdapat dalam UUD 1945. Soekarno menegaskan lagi pada 17 Agustus 1964 bahwa demokrasi tidak boleh berbeda jalan dengan tiga arah revolusi: sosialisme, absennya eksploitasi manusia, dan absennya kolonialisme.
Demokrasi memang tidak identik dengan heterogenitas. Demokrasi justru bertumpu pada homogenitas. Homogenitas adalah syarat mungkin demokrasi. Setiap demokrasi aktual berdasarkan pada prinsip yang berbunyi: ”yang setara diperlakukan sama sementara yang tidak setara, tidak”. Demokrasi membutuhkan dua hal. Pertama adalah homogenitas. Kedua adalah penghapusan heterogenitas.
Orang tentu bereaksi keras terhadap prinsip di atas. Apa artinya demokrasi tanpa kesetaraan? Apakah itu bukan nama lain dari totalitarianisme? Demokrasi tentu tidak dapat dilepaskan dari gagasan mengenai kesetaraan. Namun, kesetaraan yang dimaksud bukan kesetaraan manusia, melainkan kesetaraan politik yang lebih bersubstansi. Kesetaraan politik berseberangan dengan kesetaraan liberal-abstrak yang memajukan kesetaraan manusia sebagai manusia. Kesetaraan tersebut abstrak dan tak bernilai. Kesetaraan baru bernilai apabila itu bersubstansi. Kesetaraan substansial memiliki konsekuensi kontroversial bernama eksklusi dan ketaksetaraan.
Kesetaraan liberal-kemanusiaan tidak dapat menjadi basis bagi berdirinya sebuah negara. Sebuah negara memiliki substansi yang memilah warga negara berdasarkan partisipasi pada substansi tersebut. Di sini demokrasi dan liberalisme berseberangan. Demokrasi dan liberalisme saling menegasikan. Kesetaraan liberal tidak membedakan mana warga dan mana yang bukan. Sementara, kesetaraan demokratis membedakan mana yang termasuk bagian demos dan mana yang bukan. Demos bukan semata batas teritorial, melainkan juga batas politik yang diskriminatif.
Demokrasi dan kewargaan sungguh tak dapat dipisahkan. Warga negara mendapat hak yang setara bukan melalui partisipasi dalam gagasan abstrak kemanusiaan. Warga negara memperoleh hak yang setara melalui partisipasinya dalam demos sebagai substansi politik. Warga negara adalah nama lain dari rakyat. Artinya, konsep sentral dalam demokrasi bukan kemanusiaan, melainkan rakyat. Dalam arena politik, rakyat tidak berhadapan satu sama lain sebagai abstraksi, melainkan individu politis, pemerintah, atau yang diperintah, sekutu atau oposisi.
Perbedaan dan kekerasan
KSAD, menurut hemat saya, bukan sedang mempertanyakan administrasi sipil terhadap demokrasi. Beliau bertanya apakah perbedaan harus selalu berujung pada kekerasan. Terlepas kekerasan apa yang dimaksud, pertanyaan itu layak dijawab. Sejak reformasi 1998, demokrasi kita memang berbuah kekerasan horizontal antaretnis dan antaragama. Namun, semua toh bisa selesai dengan relatif baik.
Menurut hemat saya, silang pendapat mengenai kasus Bank Century tidak akan berbuah kekerasan. Yang mungkin adalah konsekuensi politik putusan Century dapat membelah bangsa ini dalam dua kubu politik yang sama keras. Apakah itu berlanjut pada kekerasan? Republik ini memang senantiasa didera berbagai putusan politik yang berpotensi kekerasan. Namun, meskipun ada satu dua yang berujung pada kekerasan, sipil tetap dapat menetralisasinya.
Kita mesti membaca kecemasan KSAD dari kacamata kesetaraan politik. Demokrasi memang memiliki cacat bawaan yang bernama kesetaraan nonpolitik. Perbedaan pun seolah menjadi begitu luas dan tak berbatas. Padahal, negara dibentuk berdasarkan homogenitas dan substansi politik yang jelas. Republik ini, misalnya, dibentuk oleh substansi politik yang termaktub dalam UUD 1945. Substansi itu antara lain Pancasila, negara kesatuan, republik, presidensialisme, dan demokrasi konstitusional.
Kita tidak melihat betapa perbedaan pendapat mengenai baiout menghasilkan kekerasan. Perbedaan pendapat mengenai daftar pemilih tetap pun tak berujung pada kekerasan. Aksi massa dalam jumlah besar memang terjadi menanggapi kriminalisasi Bibit-Chandra. Namun, aksi tersebut pun berjalan relatif aman. Provokasi dari kubu yang berseberangan tidak memicu konfrontasi yang tidak perlu. Ini menunjukkan betapa modal sosial (kepercayaan) bangsa kita cukup besar. Setiap kelompok percaya bahwa seruncing apa pun persoalan, kekerasan bukan jalan emas untuk memecahkannya.
Sebaliknya, perbedaan mengenai dasar negara menghasilkan beragam pemberontakan dan kekerasan. Perbedaan seperti ini menghasilkan kekerasan karena menyangkut substansi negara. Kekerasan biasanya muncul dari kelompok-kelompok sektarian yang menolak substansi politik republik ini. Di sini ketegasan mengenai homogenitas demokrasi perlu ditajamkan kembali. Kita mesti berani menarik garis antara warga demos dan nonwarga demos. Garis perlu ditarik antara mereka yang pro-NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika dan mereka yang tidak. Perbedaan pendapat mengenai empat kunci utama republik tersebut tidak boleh ditolerir. Sebab, sejarah mengajarkan kita betapa perbedaan mengenai kunci-kunci itu dengan mudah berbuah kekerasan.
Militer adalah penjaga resmi substansi republik. Militer, bisa dibilang, adalah penjaga kunci- kunci demos. Ketika perbedaan pendapat sekadar sengketa politik harian, saya kira militer tak perlu khawatir. Namun, ketika perbedaan itu menyangkut substansi republik ini, surat undangan tak perlu dikirimkan. Apakah dengan demikian saya satu ikatan pikiran dengan KSAD? Kemungkinan itu tak dapat dibenamkan.



Donny Gahral ADIAN Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
Opini Kompas 19 Desember 2009