18 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Semangat Hijrah Melawan Korupsi

Semangat Hijrah Melawan Korupsi

Setelah 13 tahun Nabi Saw membangun landasan tauhid sebagai dasar tatanan masyarakat di Mekah, Allah Swt memberinya petunjuk untuk hijrah ke Yatsrib (Madinah). Di sanalah, Nabi Saw beserta kelompok-kelompok masyarakat secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan merumuskan ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), sebagai upaya membangun sebuah komunitas negara-kota yang beradab (al-Madinah al-Munawarah), sebagai lawan terhadap masyarakat jahiliah di Mekah. Dalam piagam itu, umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan wawasan kebebasan, pluralisme dan toleransi serta keadilan.


Peristiwa tersebut telah mengubah peta baru dalam sejarah Islam dan menjadi tonggak awal menata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Di sini, hijrah tidak sekadar dimaknai sebagai proses perpindahan individu atau kelompok dari satu tempat menuju tempat lain. Ada nilai atau wacana yang melingkupi saat-saat sebelum dan sesudah hijrah Nabi Saw, yang oleh Umar ibn al-Khattab, kemudian ditetapkan sebagai awal Tahun Baru Islam. Pertama, komitmen ajaran tauhid (monoteisme) sekaligus penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan dan kezaliman. Kedua, pembentukan struktur sosial yang egaliter dan beradab. Ketiga, perombakan kekuasaan yang otoritatif dan absolut ke sistem kekuasaan yang transparan dan demokratis. Ketiga nilai itulah yang perlu direnungkan sekaligus 'dihijrahkan' (ditransformasikan) ke dalam kehidupan bangsa saat ini.
Jika hijrah di masa Nabi dalam rangka membangun komitmen perjuangan Islam melawan kemusyrikan dan penindasan, dalam konteks sekarang, hijrah bisa dimaknai untuk membangun komitmen perjuangan melawan korupsi yang membelit negeri ini. Sebab korupsi di negeri ini telah merambah ke hampir semua lini kehidupan. Bahaya laten ini bukan saja merasuki kawasan yang sudah dipersepsi publik sebagai sarang korupsi, melainkan juga menyusuri lorong-lorong instansi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kondisi itu secara tidak langsung menyebabkan jiwa dan semangat membangun bangsa yang adil dan menyejahterakan rakyat menjadi keropos. Spirit perjuangan yang pernah dicanangkan the founding fathers dalam membangun bangsa ini seakan-akan hilang dikikis jiwa-jiwa 'liar' yang lebih mementingkan hasrat dan ambisi pribadi dalam menjalankan kekuasaan.
Suburnya kejahatan korupsi selama ini telah melahirkan berbagai efek negatif, bukan hanya terhadap negara, melainkan juga merusak mental masyarakat, baik aparat pemerintah itu sendiri maupun masyarakat luas. Selain merusak bahkan melumpuhkan kinerja birokrasi dan administrasi negara, kejahatan korupsi akan menimbulkan semacam keinginan kuat berupa 'dendam kelas' di tengah-tengah masyarakat, yang selama ini merasa terpinggirkan dari arena kekuasaan.
Lebih daripada itu, korupsi juga ditengarai telah merusak sendi kehidupan berbangsa dan telah menyerobot hak-hak warga masyarakat yang lain untuk menikmati kemakmuran dan fasilitas negara. Fasilitas negara berikut dana kemakmuran masyarakat telah dicuri dan dimanfaatkan segelintir orang tanpa beban moral yang memadai. Masyarakat pun kian pasrah dan menyerah pada keadaan. Kita hanya bisa merasakan bahwa bangsa kita memang sedang mengidap virus akut yang sulit disembuhkan, yaitu virus korupsi. Alhasil, korban pertama dari korupsi, struktural ataupun kultural, selalu publik, bukan elite negara atau elite pengusaha. Dari sini, bisa kita rasakan betapa besar dan luar biasa bahaya yang ditimbulkan akibat berkembangnya tindak kejahatan korupsi.
Oleh karena itu, ketika bangsa ini, khususnya umat Islam, memperingati Tahun Baru Islam (Hijriah), semestinya kita berusaha membangun komitmen dan arah perjalanan hidupnya ke arah yang lebih baik. Di sini, hijrah merupakan awal migrasi dari kesesatan menuju ketakwaan, dari keragu-raguan menuju keteguhan hati, dari ketakutan menuju kekuatan memperjuangkan kebenaran, dan dari kezaliman menuju keadilan. Artinya, kita dituntut menggali semangat esensial di balik 'eksperimen' hijrah Nabi Saw dan para sahabatnya menuju masyarakat madani. Tentunya dengan mentransformasikan semangat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa.
Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru untuk merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang tegas dalam pemberantasan korupsi. Karena itulah, peristiwa 'hijrah' merupakan starting point untuk menabuh genderang perang total melawan korupsi. Perlawanan saat ini tidak layak lagi menggunakan instrumen hukum biasa (konvensional), tapi cara yang luar biasa, yaitu dengan dukungan konstitusi total. Spirit itulah yang seharusnya juga dituangkan dalam semangat pemberantasan korupsi di negeri kita.
Di era yang semuanya didasarkan atas realita ilmiah, hijrah Nabi juga penting untuk dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis dan kontekstual. Hal itu penting untuk memperkuat keyakinan umat Islam betapa hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki relevansi terhadap realitas kekinian, utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Oleh Khaeron Sirin, Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta
Opini Media Indonesia 17 Desember 2009