Sebagai seorang Muslim, penulis mengucapkan selamat hari raya Natal kepada saudara-saudari Kristiani di mana pun berada.
Bagi seorang Muslim, mengucapkan selamat hari raya Natal bukan hanya menjadi kesadaran persaudaraan, melainkan tuntunan keimanan yang sangat mendasar. Karena Nabi Isa atau Yesus menegaskan (sebagaimana disampaikan Al Quran), keselamatan atas diriku ketika dilahirkan, ketika meninggal dunia, dan ketika (nanti) dihidupkan kembali, Qs 19: 22.Dalam konteks negara majemuk seperti Indonesia, ucapan selamat hari raya Natal merupakan salah satu bentuk kesadaran kebangsaan yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara; bahwa Indonesia adalah negara bagi semua agama yang ada di haribaan Bumi Pertiwi; bahwa setiap pemeluk agama memiliki kebebasan untuk merayakan dan menjalankan keyakinannya; dan bahwa penganut satu agama di Indonesia harus menghormati penganut agama lain.
Bagi agamawan, mengucapkan selamat kepada umat agama lain dalam merayakan hari besar keagamaan, seperti Natal, mempunyai makna yang sangat penting. Selain tuntunan agama, ucapan selamat bagi seorang agamawan bisa juga karena menjadi langkah awal untuk menciptakan kerukunan dan kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, terutama dalam kehidupan bangsa majemuk seperti Indonesia.
Apa yang dilakukan oleh agamawan di Mesir bisa dijadikan sebagai contoh oleh para agamawan di Tanah Air. Dalam persoalan hari raya Natal, contohnya, sejumlah agamawan terkemuka di Mesir, seperti Grand Syeikh Al-Azhar Kairo, Sayyid Muhammad Thanthawi, tak hanya membolehkan seorang Muslim turut merayakan hari raya Natal. Lebih daripada itu, mereka memberikan keteladanan baik dengan menghadiri undangan perayaan Natal umat Kristen (Koptik) di sana. Momen-momen damai seperti ini digunakan oleh sejumlah agamawan di Mesir untuk mengukuhkan tali persaudaraan kebangsaan, mengukuhkan bangunan perdamaian, dan menghormati segala jenis perbedaan.
Begitu pun sebaliknya, sejumlah pemimpin Kristen (Koptik) di Mesir turut merayakan dan mengucapkan selamat ketika hari raya keagamaan umat Islam tiba. Suasana damai, kondusif, dan penuh persaudaraan menyelimuti kehidupan masyarakat di sana, dimulai dari kalangan agamawan kemudian diikuti oleh segenap umat dan pengikutnya.
Peran agamawan seperti di Mesir memberikan sumbangsih cukup besar bagi terjaganya hubungan damai dalam kehidupan masyarakat Mesir, terlepas apa pun agama ataupun kelompoknya. Setidak-tidaknya masyarakat Muslim di sana tidak diharamkan bila turut merayakan Natal bersama sahabat atau kerabat yang beragama Koptik.
Pengalaman Mesir seperti di atas sangat patut dipertimbangkan. Sejauh ini, konflik berbau agama jarang terjadi di Negeri Piramida itu.
Hal inilah yang jarang terjadi dalam kehidupan umat beragama di Tanar Air. Peran agamawan sangatlah terbatas dalam mendorong bangsa ini terbebas dari konflik agama. Sebaliknya, peran dan keterlibatan agamawan yang cukup masif terjadi dalam kehidupan politik, apalagi pada saat menjelang pemilu.
Hingga hari ini, konflik antaragama masih terus membayang, bahkan juga konflik intraagama. Umat beragama tidak disuguhi pemandangan damai dari kalangan agamawan yang mengucapkan selamat kepada umat agama lain dalam merayakan hari besarnya, termasuk hari raya Natal. Dan hingga hari ini masih terdapat sejumlah pihak yang mengharamkan hadir pada perayaan Natal bagi seorang Muslim atau hari raya agama lainnya.
Pengharaman seperti di atas tidak melahirkan apa pun, kecuali ketegangan dalam kehidupan umat yang berbeda agama. Pihak paling diuntungkan oleh fatwa seperti ini adalah mereka yang ”bersyahwat” politik. Bangsa, masyarakat, dan agama adalah pihak yang paling dirugikan oleh pengharaman seperti di atas yang merupakan akibat tak langsung keterlibatan kaum agamawan dalam dunia politik pragmatis yang cukup masif, baik perpolitikan nasional maupun lokal.
Dikatakan akibat tidak langsung karena tidak semua dan tidak setiap saat agamawan melakukan ”politisasi agama” dalam bentuk fatwa-fatwa politis atau lainnya. Harus jujur diakui, masih terdapat sekian agamawan yang turun ke kancah politik dengan niat tulus-ikhlas dan membawa tujuan perjuangan murni. Namun, agamawan seperti ini tampak sangat terbatas.
Natal adalah momen penting yang bisa digunakan oleh kaum agamawan untuk menyampaikan sabda perdamaian, kasih sayang, dan menghormati perbedaan keagamaan. Silaturahim antaragamawan dapat dilakukan dalam momen-momen keagamaan seperti Natal ini. Hingga umat beragama terbiasa dalam menghormati perbedaan dan perayaan hari besar agama lain.
Hasibullah Satrawi Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir; Aktivis Moderate Muslim Society, Jakarta
Opini Kompas 19 Desember 2009