Oleh: Muhammad Qorib
(Staf Pengajar FAI UMSU Medan)
Pada empat belas abad yang lalu, telah terjadi sebuah peristiwa besar, yaitu hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Momen tersebut dinilai sebagai tonggak kebangkitan Islam dan eksistensi agama ini dalam bingkai sejarah baru. Telah banyak kajian yang dilakukan berkenaan dengan peristiwa penting ini.
Tujuannya untuk mengungkap rahasia dan hikmah (wisdom ) yang dapat dijadikan ibrah (pelajaran dan pengalaman) oleh umat Islam dalam upaya meraih kembali kejayaan dan peradaban. Disadari bersama bahwa bereuforia dengan zaman keemasan dan kejayaan masa lalu hanya merupakan pelipur keterpurukan dan penabur mimpi saja bila hal itu tidak disertai dengan upaya melestarikan spirit hijrah.
Oleh karena itu, dalam memperingati, mengenang, dan mengkaji peristiwa ini, hendaklah perhatian setiap Muslim tertuju dan terfokus kepada hikmah dan spirit yang tersirat. Sebisa mungkin, perayaan yang hanya sebatas seremonial formal perlu dihindari.
Hijrah Nabi SAW itu merupakan peristiwa sangat heroik dan fenomenal. Dalam hijrah, Nabi SAW yang ditemani sahabatnya, Abu Bakar, tampil sebagai pemimpin yang sukses menciptakan strategi pemikiran dalam memecahkan situasi yang sangat sulit.
Bahkan, Muhammad Husain Haikal dalam bukunya Hayatu Muhammad melihat hijrah sebagai kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya demi kebenaran dan keyakinan. Adegan demi adegan yang dilakoni Nabi SAW dan Abu Bakar menyiratkan sebuah kosmopolitanisme peradaban yang sedang diletakkan Nabi SAW di Semenanjung Arabia.
Kosmopolitanisme tersebut dipoles dengan nilai-nilai universal yang tertancap dalam seluruh ajaran Islam. Peristiwa hijrah, yang oleh Umar bin Khattab dijadikan sebagai titik awal tahun Islam, telah melompatkan ruang kesadaran umat Islam dalam menciptakan peradaban agung.
Kalau di Makkah Nabi SAW lebih banyak disibukkan oleh berbagai konflik dengan kaum Quraisy Makkah; di Madinah Nabi SAW memulai babakan kehidupan baru dalam menata kehidupan sosial, politik, dan kenegaraan. Nabi SAW membuat persaudaraan antarumat Islam, mencipta Piagam Madinah ( Miytsaq al-Madinah ) untuk membangun harmoni sosial dengan seluruh suku dan agama di Madinah, dan mengubah nama Yatsrib (agraris) menjadi Madinah (peradaban).
Seluruh adegan sejarah yang dijalankan Nabi SAW mencerminkan sebuah kosmopolitanisme peradaban tercanggih yang oleh Robert N Bellah dalam bukunya Beyond Belief dikatakan modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah waktu itu.
Kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad.
Dalam konteks inilah, warisan Nabi SAW dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam. Pernyataan Bellah yang menyebut Madinah sebagai kota modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zaman waktu itu, karena kondisi sosiologis-geografis waktu itu, struktur Timur Tengah belum mampu menopang struktur kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Nabi Muhammad.
Tak salah juga kalau sejarawan agung Arnold J Toynbee menyebut peradaban Islam kala itu sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, lanjut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Jejak kosmopolitanisme peradaban Islam dalam membentuk pencerahan di Timur Tengah menjadi jejak utama lahirnya pencerahan di Barat kemudian.
Watak-watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman umat manusia menjadi ciri utama umat Islam dalam merumuskan sebuah peradaban agung. Lahirlah para arsitek masa depan Islam yang menciptakan ragam keilmuan yang terbentang lebar: ada fisikawan, astronom, dokter, filosof, dan sebagainya.
Uniknya, di samping mereka menguasai ragam keilmuan yang terbentang luas, para inteligensia Muslim juga menjadi agamawan yang hafal Alquran dan hadis, ahli tafsir, ahli fikih, dan bahkan ahli tasawuf, seperti al-Ghazali, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, dan sebagainya. Perkawinan kuat antara tradisi ilmuwan dan ulama melahirkan para sosok cerdas yang selalu mencerahkan.
Kontekstualisasi semangat hijrah
Jalan kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan Nabi Muhammad dan para pemikir Islam harus diteruskan sepanjang masa dan di mana saja, termasuk di Indonesia. Umat Islam Indonesia harus berperan aktif mewujudkan jejak kosmopolit tersebut, yakni dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban.
Dalam spirit inilah, akan lahir sebuah pemahaman baru yang kritis, progresif, dan visioner. Spirit tersebut dapat menjadi energi positif bagi bangsa ini untuk perbaikan menuju negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghofuur . Belajar dari kasus pembangunan masyarakat Madinah oleh Nabi Muhammad, kita pun dapat mencontohnya untuk memperbaiki bangsa dan negara ini di masa mendatang. Setidaknya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama.
Pertama, usai reformasi, dengan tumbuhnya sistem politik multipartai, ada fenomena yang harus diwaspadai, yaitu retaknya rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa dan negara. Ini karena semangat berpartai yang eksesif akan mengarah pada lahirnya virus primordialisme dan sikap partisan.
Jika kecenderungan ini terus menguat, kita akan sulit untuk fokus dan bersatu menghadapi problem bangsa yang lebih besar. Kedua, timbulnya sikap keberagamaan yang eksklusif. Dalam konteks ini, agama tidak bisa menjadi instrumen perekat persaudaraan, apalagi mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Karena, sikap seperti ini menganggap agama lain adalah rival, bukan sahabat di dalam proses pembangunan.
Ketiga, tumbuhnya sikap-sikap kedaerahan atau sukuisme. Kita melihat, suasana otonomi daerah (otda) seperti sekarang ini justru bisa menjadi kendala tersendiri bagi terciptanya persatuan bangsa dan negara ini. Sikap-sikap seperti ini juga menimbulkan tumbuhnya KKN dan beragam deviasi sosial lainnya.
Untuk itu, selayaknya semangat otda yang berlebihan ini mulai ditinjau ulang atau mungkin sudah dianggap cukup, terutama untuk pemekaran daerah. Keempat, solidaritas sosial. Masyarakat yang dibangun Nabi SAW di Madinah mencerminkan perhatian yang begitu besar terhadap nasib rakyatnya.
Tanpa pandang bulu, Nabi SAW memberikan santunan secara fisik material dan mental spiritual kepada setiap penganut agama dan etnik Madinah. Dalam konteks kehidupan kita, semangat ini perlu untuk kita pertahankan, di mana kebijakan-kebijakan yang ada harus berpihak kepada wong cilik , dalam bahasa Murtadha Muthahhari disebut kaum Mustadh'afini .
Spirit kosmopolitanisme peradaban yang ditancapkan Nabi SAW di Madinah harus kita jadikan modal penting dalam mencipta babak baru kebudayaan dan peradaban di Indonesia. Karena, Indonesia sekarang sedang kehilangan jangkar nilai yang dapat dijadikan sandaran dalam penciptaan kreasi kebudayaan dan peradaban sehingga bangsa Indonesia mampu menapaki jalan pencerahan di masa depan. Dengan demikian, Indonesia diharapkan bisa bersaing dan sejajar dengan negara-negara modern di dunia. Wallahualam .
Opini Kompas 19 Desember 2009
18 Desember 2009
Spirit Kosmopolitanisme
Thank You!